Tiba di Lembata : Puisi Linus Lusi Untuk Muro
LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM– Sejak tiba di Lewoleba, Kabupaten Lembata pada 22 Agustus 2025, Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan, Linus Lusi, S.Pd., M.Pd., hadir mewakili Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, untuk meresmikan prosesi adat Muro I di Desa Kolontobo,Kecamatan Ileape, Jumat–Sabtu, 22–23 Agustus 2025.
Linus Lusi, Mantan Penjabat Bupati Nagekeo dan Walikota Kupang itu diterima secara adat sesuai tradisi setempat, mulai dari ritual tuang tuak hingga menyaksikan sesajian untuk para leluhur di pantai Eppo pada malam hari. Esoknya ia kembali mengikuti puncak acara bersama rombongan DPRD Provinsi NTT yang juga hadir.
Saat senja tiba, ia perlahan menyusuri pantai Eppo, memandangi lautan, menyaksikan masyarakat menangkap ikan dengan wajah berseri. Pemandangan itu menginspirasi hatinya, hingga lahir untaian kata sederhana Puisi Linus Lusi :
Di teluk yang tenang, laut menyimpan rahasia kesabaran.
Muro berdiri,
sebagai pagar adat,
menjaga ikan, menjaga kehidupan.
Bukan hanya laut yang bernafas,
tetapi manusia belajar
bahwa rakus adalah luka,
dan sabar adalah berkat”.
Di setiap simpul doa leluhur,
ada garis panloka yang digaris tegas,
agar tangan manusia tahu batas,
agar laut tetap melahirkan kehidupan.
Saat Muro dibuka,
ombak berteriak gembira,
ikan melompat seperti persembahan,
dan wajah-wajah kampung tersenyum,
karena rezeki datang
tanpa merusak rumahnya sendiri.
Muro adalah sekolah alam,
mengajarkan harmoni,
mengikat adat dengan ekologi,
dan membuka pintu ekonomi.
Selama adat berdiri,
selama laut berdenyut,
Muro adalah ingatan kolektif
bahwa kita hanyalah tamu
di rumah besar yang bernama alam.
Dalam percakapan dengan Warta-Nusantara, Jumat, 22 Agustus 2025, Linus Lusi menegaskan bahwa Muro/Muru adalah sebuah karembang (aturan adat) yang diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas adat Lowa Hala, Atta Watu, Lowa Tolok, dan Kapulu. Tradisi ini merupakan kearifan lokal untuk menjaga ekosistem perairan dan keberlanjutan perikanan.
Untuk melestarikan tradisi tersebut, Pemerintah Desa Kolontobo bersama desa-desa pemilik Teluk Muro lainnya menetapkan garis panloka (zona larangan tangkap). Aturan ini mencerminkan harmonisasi antara manusia dan alam, dengan pesan moral agar manusia tidak serakah dalam mengambil hasil laut.
Muro hanya dibuka pada periode tertentu setelah melewati satu siklus waktu. Aturan ini mengajarkan kesabaran dalam mengelola sumber daya. Hasilnya terlihat nyata: saat Muro dibuka, masyarakat memperoleh tangkapan ikan yang melimpah.
Lebih jauh, tradisi ini juga memberi dampak positif bagi ekonomi masyarakat. Mekanisme adat ini membuka peluang ekonomi tanpa biaya besar, karena hasil tangkapan dapat langsung dimanfaatkan.
Pemerintah Provinsi NTT melalui Gubernur dan Wakil Gubernur, Bapak Melki dan Bapak Jhoni, menilai Muro relevan dengan perkembangan ekonomi global. Karena itu diperlukan pembagian peran yang jelas antara pemerintah desa, kabupaten, dan provinsi dalam mendukung usaha masyarakat berbasis kearifan lokal.
Muro juga sejalan dengan program “Satu Desa, Satu Produk” (One Village One Product) yang menekankan pengembangan produk berbasis potensi lokal. Pemerintah Provinsi mengapresiasi langkah Desa Kolontobo yang mengintegrasikan Muro dengan program OVOP.
Apresiasi itu ditunjukkan melalui kehadiran tokoh-tokoh masyarakat seperti Pak Wiktor Mado Watun, Pak Alex Ofong, Ibu Asri, dan Pak Leo Lelo, beserta jajarannya yang datang langsung menyaksikan.
“Langkah ini adalah kemajuan dan wujud komitmen Pemerintah Provinsi mendukung inisiatif lokal yang mampu menciptakan peluang ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan,” tutur Linus Lusi, putra kelahiran Ile Apin Tawan ini.
Karena Gubernur berhalangan hadir akibat agenda penting lainnya, beliau menugaskan saya untuk datang meresmikan Muro di Desa Kolontobo, tendas Linus Lusi
*** (Bedos Making/WN)