Deteksi Dini Bunuh Diri Remaja
Oleh : Robert Bala
Awal September, publik NTT dikejutkan dengan kasus bunuh diri remaja di Ende. Pelakunya seroang remaja putri yang tengah duduk di bangku kelas 12. Kisah ini hanya menambah panjang kasus bunuh diri (mayoritasnya) remaja di NTT.
Secara umum, menurut Badan Pusat Statistik NTT, sejak 2018, 2021, dan 2024, terjadi peningkatan signifikan. Tahun 2018 tedapat 158 kasus dan terbanyak terjadi di Flotim (18), Sikka (16), dan Sumba Barat Daya (16). Tiga kabupaten lain: Kupang (14), Sumba Timur (13), dan Timor Tengah Selatan (13).
Tahun 2021, terjadi 145 kasus dengan angka tertinggi tetap dipegang Flotim (21), Sumba Barat Daya (20), dan Sikka (16). Tiga kabupten lain Ende (12), Timor Tengah Selatan (11) dan Manggarai Timur juga 11 kasus.
Tahun 2024, terjadi ‘lompatan besar’. Ada 226 kasus dimana Sumba Barat Daya (29), Sumba Timur (23), Sikka (16). Tiga kabupaten lain yang mengikuti adalah: Timor Tengah Selatan (15), Flotim (14), Manggarai Timur (13).
Tingginya angka kematian akibat bunuh diri, memunculkan pertanyaan yang sengaja dikerucutkan untuk remaja. Mengapa orang begitu mudah memutuskan untuk mengakhiri hidup? Mengapa kematian menjadi begitu sering terjadi di daerah seperti NTT?
Kesehatan Mental
Kematian akibat bunuh diri yang terjadi di NTT, mengingatkan bahwa kesehatan mental sedang terganggu orang (terutama remaja). Kesehatan mental itu dapat terlihat dalam situasi cemas, stres, dan depresi yang akhirnya berujung pada tindakan bunuh diri.
Secara umum, kondisi kesehatan mental bisa disebabkan dari faktor keturunan atau genetika dan biologis, sebab psikologis dan sosial. Faktor genetik / turunan diartikan sebagai penurunan serotinin yang dapat menyebabkan individu mengalami depresi yang bisa memunculkan tindakan bunuh diri. Neotransmitter dan hormon ini bisa diturunkan kepada anak dan cucu.
Bagi remaja, perubahan secara fisik yang sudah dirasakan saat memasuki usia remaja awal (10-13 tahun) menjadi faktor dengan dorongan yang dahsyat. Dorongan itu akan semakin besar seirama dengan pertumbuhan fisik dalam masa remaja madia (14-17 tahun) dan terutama memasuki tahapan remaja akhir (18-21 tahun). Perubahan biologis yang menyebabkan remaja kegoncangan dari dalam. Kegoncangan itu akan kian menjadi-jadi ketika secara sosial-kekeluargaan, remaja merasa kurang dipahami dan diterima.
Hal yang lebih mengkuatirkan ketika disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial-digital. Faktor psikologis berupa stress, depresi, dan kekuatiran berlebihan merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Itu berarti secara ke dalam sudah terjadi goncangan psikis dan karenanya sekecil apapun pemicunya bisa ditanggapi secara negatif. Persoalannya, banyak orang yang segera mengaitkan faktor pemicu sebagai sebab utama. Dalam kenyataannya, pemicu hanyalah hal kecil yang hadir secara bertepatan dengan kondisi kesehatan mental yang menurun hingga sampai pada titik nadir terendah.
Kondisi kesehatan mental yang menurun pada sisi lain diikuti dengan pengaruh media sosial. Media yang sangat terbuka disertai daya literasi yang rendah dari remaja atau orang yang mengalami kegoncangan mental bisa ditanggapi secara negatif melalui tindakan bunuh diri.
Lalu bagaimana kesehatan mental itu diekrepsikan sehingga bisa dideteksi tentang adanya gejala awal yang bisa mengarah kepada tindakan bunuh diri? Ia biasanya diawali dengan ungkapan lepas seperti: ‘saya ingin mati’, ‘tidak mau hidup lagi’, ‘banyak orang pasti senang kalau saya tidak ada’, ‘lebih baik saya tidak pernah lahir’.
Ungkapan ini kemudian terlihat seseorang cemas dan gelisah. Bila seorang pelajar maka akan diikuti dnegan penurunan performa yang drastis di sekolah atau pekerjaan. Bagi pelajar, bisa diekspresikan dengan keinginan untuk tidak mau sekolah lagi. Bila diungkapkan oleh seorang pealajar yang berada di tingkat akhir sebuah institusi, maka itu sebuah tanda yang perlu diwaspadai. Tanda lain seperti terjadi perubahan suasana hati yang drastis dari rasa senang kemudian menrun kepada susana yang sangat sedih.
Tanda-tanda inilah yang perlu dideteksi secara dini. Peranan sekolah, masyarakat, lingkungan pertemanan perlu secara dini diajarkan untuk saling ‘menjaga’ satu sama lain. Ekspresi verbal mesti menjadi tanda awal yang perlu ditanggapi secara baik.
Tidak Mau Mati
Adanya perubahan drastis sebagai ekspresi kesehatan mental yang menurun, maka kejadian bunuh diri sebenarnya bukan sebuah keputusan di tengah kondisi mental yang tidak baik. Artinya, bila seseorang bisa berhasil ditolong secara tepat, ia akan menyadari dan menyesali kemudian atas rencana (ideasi) bunuh diri yang pernah dialami saat itu.
Pengalaman John Kevin Hines yang melompat dari jembatan Golden Gate Bridge di San Francisco, AS bisa menjadi inspirasi. Ia melompat dari jembatan dengan ketinggian 227 m. Beruntung dia disambut seeker singa laut yang tepat berada di bawahnya. Ia tertolong. Setelah tertolong dan kesehatan mentalnya dipulihkan, ia malah kini menjadi pembicara hebat. Ia berulangkali ungkapkan bahwa tidak ada yang datang ke jembatan itu untuk bunuh diri. Hines (dan banya korban yang tidak terselamatkan) sebenarnya hanya ingin tahu bahwa seseorang peduli dengan mereka.
Hal inilah yang perlu menjadi catatan bagi orang yang berada dekat dengan remaja: orang tua, keluarga, guru, teman-teman. Mereka perlu saling menjaga dan mengetahui tentang tanda-tanda sebelum bunuh diri yang bisa terungkap secara verbal maupun terekspresi melalui kecemasan, stress, dan kekuatiran berlebihan. Mereka perlu ditolong karena kematian yang diungkapkan hanyalah ekspresi dari seseorang yang tertanggu kesehatan mentalnya. Dengan kata lain, bia ia sadar dan sehat maka ia tidak akan mengungkapkan hal serupa.
Selain itu, upaya menghindarkan remaja atau siapapun yang berada dalam kondisi kesehatan mental tertanggu sangat penting. Pergaulan yang baik dan sehat, pendidikan yang membuka ruang bagi remaja untuk mengekspresikan diri, dan keluarga yang dialogis, merupakan kondisi yang bisa sangat membantu remaja memiliki kesehatan mental yang baik.
Robert Bala. Penulis buku SEBELUM BUNUH DIRI: Fakta, Deteksi, dan Pencegahan Bunuh Diri Remaja (Penerbit Ledalero, Mei 2025)