Menjadi ASN Dalam Tekanan : Tanggungjawab Konstitusional dan Etika Negara
Oleh: Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M. Pd. CPIM
Jamaluddin Malik “Kita yang bergabung menjadi Aparatur Sipil Negara harus siap bekerja dalam tekanan”
Pendahuluan
WARTA-NUSANTARA.COM:-OPINI:– Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan kerangka dasar birokrasi pemerintah, yang dipercayakan dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam aplikasi praktis, ASN tidak hanya diamanatkan untuk menunjukkan profesionalisme tetapi juga harus menunjukkan kesiapan untuk beroperasi di bawah berbagai tekanan, baik itu bersifat politik, sosial, atau birokrasi.
Tekanan semacam itu tidak mewakili pelanggaran hak-hak individu melainkan berasal dari peran ASN sebagai pegawai negeri dalam kerangka hukum kepatuhan (Riora, Kencana, dan Budianto 2020). Akibatnya, sangat penting untuk mengevaluasi kesiapsiagaan ASN melalui lensa filosofi hukum kenegaraan, yang menggarisbawahi akuntabilitas konstitusional, perilaku etis dalam pelayanan publik, dan legitimasi otoritas.
Arahan Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Lembata dalam apel kesadaran 17 September 2025 tersebut menggambarkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) memang memiliki peran krusial sebagai tulang punggung birokrasi pemerintah, yang menuntut keseimbangan antara profesionalisme dan kemampuan beradaptasi dengan tekanan politik, sosial, dan birokrasi.
Dalam konteks filosofi hukum kenegaraan, kesiapsiagaan ASN harus dilihat dari tiga pilar utama: pertama akuntabilitas konstitusional menggambarkan setiap individu ASN wajib menjalankan tugas sesuai amanat konstitusi, yang menempatkan mereka sebagai pelaksana kebijakan publik yang netral dan berorientasi pada kepentingan negara. Tekanan yang dihadapi, seperti intervensi politik atau dinamika sosial, bukanlah pelanggaran hak, melainkan bagian dari tanggung jawab untuk tetap setia pada kerangka hukum. Di ranah ini menuntut ASN memiliki pemahaman mendalam tentang hukum dan regulasi agar dapat bertindak secara konsisten dan transparan.
Kedua adalah perilaku etis dalam pelayanan public, hal ini berkaitan erat dengan etika menjadi inti dari kinerja ASN, terutama dalam menjaga integritas di tengah tekanan eksternal. ASN harus mampu mengelola dilema etis, seperti konflik kepentingan atau godaan korupsi, dengan berpegang pada prinsip keadilan, independensi, dan pelayanan yang berorientasi pada masyarakat. Pendidikan etika dan pelatihan berkelanjutan menjadi penting untuk memperkuat karakter moral ASN, terutama Aparatur Sipil Negara berlogokan Ikhlas.
Ketiga adalah legitimasi otoritas di mana kesiapsiagaan ASN juga tercermin dari kemampuan mereka mempertahankan legitimasi sebagai pelayan publik. Yang berarti ASN harus mampu menjalankan otoritas yang diberikan negara dengan cara yang mendapatkan kepercayaan masyarakat. Legitimasi ini diperkuat melalui profesionalisme, responsivitas terhadap kebutuhan publik, dan kemampuan beradaptasi dengan dinamika sosial tanpa mengorbankan netralitas.
Kementerian Agama secara terus menerus, berkelanjutan mengevaluasi kesiapsiagaan ASN melalui lensa filosofi hukum kenegaraan yang menunjukkan bahwa mereka tidak hanya perlu kompetensi teknis, tetapi juga ketahanan mental, integritas moral, dan pemahaman mendalam tentang tanggung jawab konstitusional. Dengan demikian, penguatan kapasitas ASN melalui bimbingan, pelatihan, pengawasan, dan budaya organisasi yang mendukung etika publik menjadi esensial untuk memastikan mereka mampu menghadapi tekanan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kenegaraan.
Komentar Para Ahli
Dalam filsafat hukum ketatanegaraan, beberapa pemikiran penting dapat dijadikan landasan:
Hans Kelsen: Dalam teori hukum murninya, dia menekankan bahwa norma hukum tertinggi adalah konstitusi. ASN Kementerian Agama sebagai pelaksana norma hukum harus tunduk pada hierarki hukum dan bertindak sesuai dengan norma konstitusional, meskipun dalam tekanan.
Lebih lanjut John Rawls menekankan pentingnya keadilan sebagai fairness. ASN harus mampu menjaga prinsip keadilan dalam pelayanan publik, meskipun berada dalam situasi yang tidak ideal atau penuh tekanan. Hal senada diungkap Montesquieu dalam teori pemisahan kekuasaan, ASN berada dalam ranah eksekutif yang harus bekerja secara independen namun tetap dalam koridor hukum. Tekanan dari legislatif atau politik tidak boleh mengganggu integritas birokrasi.
Soepomo memberikan penjelasan bahwa dalam konteks Indonesia, menekankan negara integralistik, di mana ASN adalah bagian dari struktur negara yang menyatu dengan rakyat. Tekanan yang dihadapi ASN adalah bagian dari dinamika hubungan antara negara dan masyarakat.
Penjelasan
Tekanan dalam birokrasi bukan hanya berasal dari atasan atau sistem, tetapi juga dari ekspektasi masyarakat. ASN adalah representasi negara yang harus menjaga kepercayaan publik. Dalam filsafat hukum ketatanegaraan, tekanan ini adalah bagian dari tanggung jawab jabatan yang melekat pada posisi ASN. Menjadi ASN, terutama dalam lingkup Kementrian Agama bukan sekadar pekerja administratif, tetapi juga aktor konstitusional yang harus menjaga stabilitas hukum dan keadilan sosial.
Kesiapan bekerja dalam tekanan berarti kesiapan untuk menjaga integritas meskipun ada intervensi politik. Bertindak sesuai hukum meskipun ada desakan pragmatis dan melayani publik dengan adil meskipun dalam keterbatasan
Rekomendasi
Mengakhiri tulisan ini, mungkin beberapa catatan saya, adalah pertama pentingnya endidikan etika dan hukum: ASN perlu dibekali dengan pendidikan filsafat hukum dan etika jabatan agar mampu memahami tekanan sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusional. Kedua adalah sistem perlindungan ASN dalam hal ini negara harus menyediakan mekanisme perlindungan bagi ASN yang bekerja dalam tekanan, seperti whistleblower protection dan sistem merit.
Ketiga yaitu kepemimpinan transformative, yaitu pemimpin birokrasi harus mampu menciptakan budaya kerja yang resilien dan berbasis nilai hukum. Keempat mengevaluasi Kinerja Berbasis Konstitusi yaitu penilaian ASN tidak hanya berdasarkan output, tetapi juga pada kepatuhan terhadap prinsip hukum dan etika.
Kesimpulan
Menjadi ASN Kementerian Agama berarti siap bekerja dalam tekanan sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusional dan etika negara. Dalam perspektif filsafat hukum ketatanegaraan, tekanan bukanlah beban semata, tetapi ujian integritas dan legitimasi birokrasi. ASN Kementerian Agama harus mampu menjadikan tekanan sebagai motivasi untuk menjaga hukum, melayani publik, dan memperkuat negara hukum yang demokratis.
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh beberapa gelar non akademik, salah satunya Certified Planning and Inventory Management (CPIM). Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (TBSIq), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi” Menulis beberapa artikel pengabdian masyarakat, beberapa buku antologi Cerpen dan Puisi sejak tahun 2021 sampai dengan sekarang. Buku Solo “Mendidik dengan Cinta.” Sedang menunggu percetakan. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin ***