Analisa Yuridis Terkait Relasi Kelembagaan Bupati dan DPRD Kabupaten Ende
Oleh : RD. Emanuel Natalis, S.Fil., S.H., M.H. (Penulis adalah rohaniwan Katolik di Ende, dan dosen di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula – Ende)
WARTA-NUSANTARA.COM:-OPINI– ETMC 2025 akhirnya kembali ke Ende. Kabupaten Ende tetap menjadi tuan rumah ajang bola se-NTT setelah sempat dibatalkan. Di Bulan Juli 2025, ASPROF PSSI NTT membatalkannya dan menujuk Kota Kupang sebagai tuan rumah ETMC 2025. Saat itu, salah satu alasan pembatalan adalah klaim bahwa situasi Kabupaten Ende yang lagi tidak kondusif. Tentu hal ini ditentang keras. Bupati Jos Badeoda dengan tegas membantah klaim tersebut dan sekaligus menyayangkan klaim tidak berdasar dari ASPROF PSSI NTT. Menurutnya, Kabupaten Ende baik baik saja, dan sebenarnya sangat siap untuk menyelenggarakan pesta bola milik warga NTT tersebut.
Di Juli Agustus 2025 itu, rumor bertempel hoaks di atas merebak luas. Ibarat kasur dari bantal yang terbang ke segala penjuru angin. Hal mana diperkuat oleh obrolan warung kopi ataupun postingan serta analisa sosial dari para pemerhati sosial-politik yang mungkin mengetahui “isi perut” Kabupaten Ende. Di dalamnya, dicari penyebab bahwa situasi tidak kondusif itu dikarenakan hubungan yang tidak harmonis antara dua lembaga, yakni Bupati Ende dan DPRD Kabupaten Ende. Dalam salah satu media masa online bahkan tertulis demikian : “kunci suksesnya justru ada di harmonisasi antara pemerintah dan DPRD. Kalau itu tidak dipintal dengan baik, jangan salahkan PSSI atau Askab, salahkan dulu koordinasi internal Pemkab Ende.” (www.TribunFlores.com, 28 Juli 2025).
Tentu perlu kajian akademis, sekaligus keterbukaan hati untuk menyikapi situasi yang katanya tidak harmonis ini. Karenanya, untuk mencari tahu lebih dalam terkait harmonisasi hubungan kelembagaan antara dua cabang kekuasaan di Kabupaten Ende ini, maka pisau yuridis dengan analisanya, dapat menjadi salah satu jalan keluar.
KONSTITUSI INDONESIA MEMBACA RELASI BUPATI DAN DPRD DI ENDE
Ide pokok konstitusionalisme adalah pembatasan kekuasaan. Lord Acton menulis : “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”, yang artinya, kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, namum kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan. Sejarah dunia salah satu berkisah tentang banyaknya pemimpin negara yang berkuasa secara absolut. Idi Amin di Uganda, Qadafi di Libya, adalah dua contoh nyata. Di Indonesia juga tidak kurang. Sukarno, di masa akhir kekuasaanya memerintah Indonesia dengan kekuasaan yang berpusat pada dirinya. Demikian pula Suharto. Berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Bahkan seorang tukang kayu yang menjadi Presiden, yakni Jokowi, disebut-sebut sebagai Raja Jawa, yang mau berkuasa selama 3 periode. Ketika ambisinya tersebut tidak kesampaian, maka anaknya yang dimajukan sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo.
Pembatasan kekuasaan ini hanya dapat dilakukan melalui hukum dasar, yang disebut dengan nama Konstitusi. Konstitusi adalah bersifat supremasi, karena di satu sisi, dari padanya lahir berbagai macam norma hukum, namun di sisi lain, setiap orang dan lembaga negara wajib tunduk dan taat kepada konstitusi. Karena itu, setiap norma hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, sehingga adalah batal demi hukum, jika salah satu lembaga negara mengeluarkan produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi.
Konstitusi di Indonesia sekarang adalah UUD 1945, dengan empat amandemennya. Menarik di dalamnya adalah yang berkaitan dengan Pasal 18 UUD 1945. Pasal 18 ayat 1 berbunyi : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan dareah provinsi itu dibagi atas kabuoaten dan kota, yang tiap-tipa provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 UUD 1945 ini memberikan dasar hukum yang sangat kuat terkait pelaksaan otonomi daerah di Indonesia. Jadi diatur di dalamnya tentang pembagian wilayah, pemerintahan daerah, hubungan pusat dan daerah, dengan tujuan peningkatan partisipasi rakyat di daerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Konstitusi mencatat pembagian wilayah negara menjadi daerah provinsi dan daerah kabupaten, dengan pemerintahan dareah, yang memiliki otonomi berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Juga terdapat badan perwakilan di dalam pemerintahan daaerah yang dipilih melalui pemilihan umum, untuk duduk di DPRD tingkat provinsi, atau DPRD tingkat Kabupaten/kota. Di Indonesia, terdapat tiga tingkat kepala daerah, yakni pemimpin daerah kabupaten alias bupati, pemimpin daerah kota madya alias walikota, serta pemimpin provinsi alias gubernur. Ketiga-tiganya terpilih dan menjabat berdasarkan hasil pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung lewat tahapan pemilihan umum. Demikian pula untuk anggota DPRD, baik DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau Kota. Mereka terpilih dan menjadi anggota DPRD berdasarkan hasil pemilihan umum yang bersifat langsung.
Ketika berbicara tentang relasi kelembagaan di antara Bupati Kabupaten Ende dan DPRD Kabupaten Ende, maka masih dalam semangat konstitusi, dapat dicermati pemikiran Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des lois (Jiwa Undang Undang) : 1748). Montesquieu menyatakan perlunya keterpisahan di antara ketiga jenis kekuasaan, baik mengenai fungsi (tugas) maupun alat perlengkapan (organ/badan/lembaga) yang melaksanakan. Pemisahan ini mengandung arti bahwa Kekuasaan Legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang, akan dilaksanakan oleh organ/badan/lembaga yang bernama parlemen/perwakilan rakyat yang di kabupaten Ende adalah DPRD Kabupaten Ende. Kekuasaan eksekutif yang berfungsi untuk melaksanakan undang-undang, akan dilaksanakan oleh organ/badan/lembaga yang bernama pemerintah/presiden atau raja bersama para menteri atau kabinet, yang dik Kabupaten Ende adalah Bupati Kabupaten Ende. Kekuasaan yudikatif yang berfungsi untuk mengadili, akan dilaksanakan oleh organ/badan/lembaga bernama peradilan, yang adalah Pengadilan Negeri Ende.
Harmonisasi hanya dapat terjadi jika pertama-tama kedua lembaga ini mengenal dan mengetahui tugas pokok dan fungsinya, serta menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara baik dan benar. Bupati Ende menjalankan roda pemerintahan di kabupaten Ende, sebaliknya DPRD Kabupaten Ende menjalankan fungsi pengawasan dan budgeting/anggaran secara baik dan benar pula. Kedua, harmonisasi juga berarti tidak terjadi tumpang tinggi kewenangan, serta kongkalikong di antara kedua kembaga ini. Bupati Ende tidak menjadi DPRD yang tugasnya adalah berbicara atas nama rakyat, sebaliknya DPRD Ende tidak berbuat seolah-olah menjadi “Bupati Bayangan” di Kabupaten Ende. Lebih parah lagi, misalnya jika terjadi persekongkolan jahat antara keduanya. Hal mana yang tentu saja akan menyengsarakan rakyat di Kabupaten Ende.
BIROKRASI DI ENDE MEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN
Kata kunci untuk mengetahui hakekat keberadaan lembaga-lembaga pemerintahan daerah adalah pelayanan. Lebih tepatnya demi pendekatan pelayanan. Dalam arti ini, Kelembagaan Bupati dan juga DPRD adalah demi rakyat yang dilayani. Tentu saja ada perbedaan dimensi pelayanan. Bupati dan jajaran di bawahnya melayani dengan cara mengeksekusi atau melaksanakan kebijakan dan program. Sebaliknya DPRD melayani dengan bersuara, menyetujui anggaran dan mengawasi kinerja Bupati agar on the track. Misalnya, DPRD Ende tidak bisa meminta agar Bupati memberikan sejumlah uang kepada masing-masing anggota DPRD guna kepentingan pembangunan di wilayah daerah pemilihannya (DAPIL). Atau pula, Bupati Ende tidak boleh hanya bersuara bahwa dia dan jajarannya akan segera membangun suatu proyek jalan, tanpa pernah menganggarkannya dengan DPRD Ende. Jadi, meski sama-sama melayani, namun tugas pelayanan tersebut mula-mula disematkan kepada Bupati dan jajarannya, meski dalam pengawasan DPRD.
Masih terkait pelayanan kepada masyarakat ini, dikenal istilah birokrasi. Kata “birokrasi” secara leksikal mengandung pengertian Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Oleh Bintoro Tjokroamidjojo, birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi diitegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi disusun sebagai hirarki otoritas yang terelaborasi yang mengutamakan pembagian kerja secara terperinci yang dilakukan sistem administrasi, khususnya oleh aparatur pemerintah. Jadi, tindakan birokrasi yang paling aktif adalah melakukan tindakan langsung di tengah rakyat kebanyakan.
Tentu saja ketika bicara birokrasi di kabupaten Ende, maka wajah yang nampak adalah Bupati Jos Badeoda dan seluruh jajaran pemerintahan di bawahnya. DPRD Kabupaten Ende tidak merupakan representasi dari birokrasi kabupaten Ende. Dengannya, yang dapat dituntut untuk merealisasikan seluruh program kerja saat kontestasi Pilbub Ende 2024 adalah Bupati Jos Badeoda. Beliu memiliki kewenangan dan sumber daya untuk menggerakan biroraksi di kabupaten Ende, untuk mengintervensi kegiatan masyarakat, demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Hal ini merupakan keharusan mengingat konteks besar keberadaan Kabupaten Ende dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia merupakan negara hukum kesejahteraan. Disini, negara hadir dengan mempertegas fungsinya untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, termasuk menyelesaikan dan menanggulangi setiap permasalahan sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Di atas segala-galanya, setiap upaya kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan rakyat, dan pencapaian kemakmuran.
Untuk menilai sejauh mana daya tanggap birokrasi di Ende terhadap pelayanan demi kesejahteraan, maka dibutuhkan respon masyarakat sendiri. Hal mana terwujud dalam kepercayaan masyarakat kepada pemerintah terutama berupa respon mereka terhadap kebijakan publik yang dikeluarkan Bupati Jos Badeoda. Sebagai juru mudi pemerintahan di Ende, beliau dan jajarannya memiliki kewenangan dan sekaligus dapat mengeksekusi setiap pembuatan kebijaksanaan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu serta prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya di Kabupaten Ende. Hal ini jelas bukanlah bagian dari tupoksi kelembagaan DPRD Kabupaten Ende.
Memang tetap harus diakui bahwa dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) seperti partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha, dan sebagainya. DPRD Kabupaten Ende, baik sebagai kelembagaan, maupun para anggotanya, termasuk Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan juga para pemerhati sosial politik di Kabupaten Ende, dapat urun rembug untuk menghasilkan suatu kebijakan publik yang dianggap dapat semakin mensejahterakan rakyat Ende. Teristimewa pula fungsi pengawasan, agar DPRD Ende tetap bersuara dan mengawal jalannya roda birokrasi di Kabupaten Ende. Karena itu, suara-suara baik dari anggota DPRD maupun dari DPRD sebagai kelembagaan mempertegas eksistensi keberadaan mereka sebagai badan parlemen yang tugas pokoknya adalah untuk berbicara dan menyuarakan suara konstituennya.
PENUTUP
DPRD Kabupaten Ende, sebagaimana lembaga legislatif lainnya di Indonesia, memiliki 3 (tiga) tugas pokok, yakni tugas legislatif, untuk membuat dan menghasilkan peraturan daerah (Perda kabupaten Ende); tugas anggaran, untuk menetapkan anggaran pembiayaan dan belanja daerah (APBD kabupaten Ende), dan tugas pengawasan. Dari ketiga tugas di atas, tugas pengawasan menjadi kunci kinerja DPRD Kabupaten Ende, baik dalam tataran kelembagaan maupun keanggotannya masing-masing. Pengawasan DPRD kabupaten Ende terhadap kinerja Bupati dan setiap jajaran pemerintahan di Kabupaten Ende, pastinya akan menciptakan ruang tumbuh bagi hidup rakyat kebanyakan di Ende, yakni hidup yang semakin baik dan makmur. Di dalamnya, DPRD bersuara, bukan lagi untuk dirinya sendiri. Melainbkan bersuara atas dan untuk rakyat Kabupaten Ende, demi lahirnya “Ende Sare Lio Pawe.” ***