Menjadi Orang Baik Bagi Semua Orang
WARTA-NUSANTARA.COM– Tuhan menyebutkan dalam perumpamaan: ada orang sangat kaya. Ia digambarkan selalu berpakaian jubah ungu dan halus. Para ahli menjelaskan bahwa kain ungu sangatlah mahal di zaman itu. Nilainya sama dengan upah seorang pekerja selama dua tahun.
Masa itu, kain ungu yang halus adalah sebuah kemewahan tak terbayangkan karena hanya kaum bangsawan yang bisa membeli kain semacam itu.



Di rumah-rumah orang sangat kaya, mereka akan membersihkan tangan dan menyekanya pada roti yang kemudian dibuang. Ini adalah potongan roti yang diterima dan menjadi makanan Lazarus.
Lazarus adalah kata Latin dari kata Ibrani ‘Eleazar’ yang berarti “Tuhan adalah pertolongan saya.” Tampaknya, ia tidak banyak mendapatkan bantuan dari Tuhan semasa hidupnya di dunia.
Ia seorang pengemis, hidup dengan kebersihan yang buruk dan penyakit kulit datang menghancurkan tubuhnya. Bahkan anjing-anjing itu menjilati luka-lukanya, Namun Tuhan adil dan memberikan bantuan-Nya kepada Lazarus dalam kematiannya.
Ia diantar ke pangkuan Abraham. Istilah “pangkuan Abraham” mengacu kepada suatu tempat atau keadaan “yang ke dalamnya jiwa-jiwa orang benar diterima, sebelum kedatangan Kristus Tuhan, dan dimana tanpa mengalami kesakitan, tetapi ditopang oleh pengharapan akan penebusan, mereka menikmati istirahat yang damai.
Untuk membebaskan jiwa-jiwa orang benar inilah, yang di pangkuan Abraham mengharapkan kedatangan Sang Penyelamat, Kristus Tuhan turun ke tempat penantian” (St. Pius V, Catechism I, 6,3). Sedangkan orang kaya terlempar ke neraka.
Menurut catatan Injil, orang kaya mati dan dikubur. Tidka ada penjelasan lanjutan.
Kisah ini menginsafkan kita bahwa apatisme, sikap masa bodoh, mengantar kita menuju neraka. Orang kaya punya harta melimpah tapi dia kehilangan kepekaan kepada saudaranya yang miskin. Akar sikap apatis adalah egoisme.
Kita hanya peduli pada diri kita sendiri. Kita lihat dalam Injil, bagaimana orang kaya itu hanya berpikir untuk memuaskan dahaga egoismenya sendiri. Dia sudah di neraka pun tetap berpikir tentang diri dan kebutuhan sendiri.
Dia kemudian mendadak teringat pada saudara-saudaranya sendiri yang mungkin saja tengah berpesta pora seperti kebiasaannya semasa hidup. Orang ini tanpa risih dan sadar konteks, masih menyuruh Lazarus melalui Abraham agar mengingtkan saudara-saudaranya di rumah. Tampak sedikit empati tapi justru menandakan keegoisan yang lebih mendalam.
Dia hanya ingin orang-orang dekatnya selamat. Masih terasa sisa-sisa keangkuhan duniawinya karena kekayaaan.
Melalui perumpamaan ini, kita sadar bahwa Yesus tidak sedang bicara tentang kekayaan versus kemiskinan. Tapi tentang sikap hati. Orang kaya masuk neraka bukan karena dia kaya tetapi ia menjadikan kekayaannya sebagai tujuan hidup sehingga ia menjadi tamak, serakah dan egois.
Alkitab mencatat bahwa ketamakan adalah akar segala kejahatan. Kekayaan itu berkat Tuhan yang mesti kita salurkan kepada orang miskin dan kecil.
Tuhan membenci sikap apatis karena bertentangan dengan belas kasihan. Kata “belas kasihan” dalam bahasa Latin adalah misericordia yang berarti “hati kepada orang lain yang menderita.”
Dalam Alkitab, satu hal yang menggerakkan Tuhan adalah ketika seseorang memohon belas kasihan. Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa Tuhan itu belas kasihan dan Dia tidak bisa tidak berbelas kasih. Maka, apatis berarti menolak dan melawan Tuhan.
Hati manusia begitu berliku dan penuh tipu (Yer 17:9) sehingga sebagian besar dari kita ini, walau pun kita hidup di tengah dunia komunikasi yang serba cepat dan canggih, kita sedikit saja atau sama sekali tidak memperhatikan keberadaan banyak orang kelaparan di depan pintu rumah kita sendiri (Luk 16:20).
Kita telah membuat hati kita sendiri begitu mengeras sehingga, seandainya pun ada orang mati bangkit kembali untuk memperingatkan kitapun, kita tak akan bertobat (Luk 16:31).
Perikop orang kaya dan Lazarus harus hadir di ingatan kita dan harus membentuk hati nurani kita.
Kristus menuntut keterbukaan kepada saudara-saudari kita yang membutuhkan pertolongan. Keterbukaan dari para orang kaya, mereka yang berkelimpahan, yang secara ekonomi beruntung dan keterbukaan kepada yang miskin, kepada mereka yang tidak berkembang dan mereka yang tidak beruntung.
Kristus menuntut keterbukaan yang lebih dari sekadar perhatian yang lemah lembut, lebih dari pemberian tanda hadiah atau usaha-usaha setengah hati yang menjadikan kaum miskin sebagai kaum yang tertinggal/terbuang sebagaimana sebelumnya atau bahkan lebih parah lagi.
“Kita tidak dapat berdiam diri, menikmati kekayaan dan kebebasan kita, jika di suatu tempat yang lain, ada Lazarus di abad ke duapuluh ini yang berdiri di depan pintu kita. Di dalam terang perumpamaan Kristus, kekayaan dan kebebasan maksudnya adalah tanggung jawab istimewa. Kekayaan dan kebebasan menciptakan kewajiban yang istimewa.
Dan di dalam nama solidaritas yang mengikat kita semua bersama dalam kemanusiaan yang sama, saya kembali mewartakan martabat setiap orang: baik orang kaya maupun Lazarus adalah manusia, keduanya sama-sama ditebus oleh Kristus dengan harga yang mahal, harga “darah Kristus yang berharga” (Paus Yohanes Paulus II, Homily in Yankee Stadium, 2 October, 1979).
Kita tentu saja tidak akan pernah menjadi solusi dari semua permasalahan di tengah dunia. Kita juga tidak harus menjadi manusia super kaya di dunia agar bisa memberi perhatian kepada sesama. Kita hanya perlu melihat keluar dari diri kita sendiri, di luar gadget kita, di luar media sosial kita, di luar tempat dan orang-orang yang memberi kita kenyamanan.
Boleh jadi anak-anak kita membutuhkan seorang teman yang bisa diajak bicara, seseorang yang dapat mendengarkan tanpa menghakimi.
Mungkin sahabat kita di samping mengalami hari yang buruk dan hanya seulas senyum kecil kita menerbitkan harapan terus berjalan. Bunda Teresa dari Kalkuta pernah berkata, bagaimana pun “Kita tidak akan pernah tahu semua kebaikan yang dapat dilakukan dengan sebuah senyum sederhana.”
Kita mesti menjadi orang baik bagi semua orang dalam hidup kita. “Kata-kata yang baik bisa singkat dan mudah untuk diucapkan tapi gema mereka benar-benar tak ada habisnya,” kata Muder Teresa.***