Hermeneutik ‘Titi Jagung’ dan Wajah Otonomi yang Membumi
Oleh : Anselmus DW Atasoge, Stipar Ende
WARTA-NUSANTARA.COM– Perayaan Hari Ulang Tahun Otonomi Daerah ke-26 di Kabupaten Lembata tahun ini menghadirkan sesuatu yang berbeda. Di tengah semarak seremoni dan pidato resmi, hadir lomba Titi Jagung yang diikuti oleh para Aparatur Sipil Negara. Kegiatan ini berlangsung hangat dan penuh semangat. Di balik tawa dan tepuk tangan, tersimpan pesan sosial yang kuat. Pesan itu terpatri di balik aktivitas lombanya. Sejatinya, titi jagung merupakan ‘cerminan cara hidup masyarakat agraris yang menjunjung tinggi kerja sama dan kebersamaan’.
Bagi masyarakat Lamaholot pada umumnya, jagung tidak hadir sebatas sebagai ‘bahan pangan’. Jagung adalah simbol identitas lokal masyarakat Lamaholot termasuk Lembata.
Dalam tradisi titi jagung, warga berkumpul, saling membantu, dan berbagi cerita. Proses ini membentuk ruang sosial yang memperkuat ikatan antarindividu. Ketika ASN ikut serta dalam kegiatan ini, mereka hadir sebagai bagian dari komunitas. Mereka menunjukkan bahwa birokrasi bisa menyatu dengan budaya masyarakat pada umumnya. Toh, mereka juga datang dari budaya itu.
Kegiatan Titi Jagung memperlihatkan wajah otonomi daerah yang membumi. Otonomi di sini tidak ‘berkutat’ seputar kewenangan administratif. Ia adalah ruang untuk merawat nilai-nilai lokal. Ketika jagung dipipil bersama, ketika tawa bergema di antara barisan ASN dan warga, saat itulah ‘otonomi menemukan maknanya’. Di sini hadir titik hermeneutiknya. Pemerintah hadir bukan sebagai pengatur dari atas, tetapi sebagai mitra yang ikut duduk di tikar, ikut memegang tongkol, ikut merasakan denyut kehidupan masyarakat.
Lomba Titi Jagung juga menjadi ruang dialog sosial. Peserta saling menyemangati. Warga dan ASN tertawa bersama. Hubungan formal menjadi cair. Interaksi menjadi lebih manusiawi. Dalam suasana sederhana, tercipta kepercayaan. Solidaritas tumbuh. Pemerintah tidak lagi dipandang jauh, tetapi dekat dan akrab. Inilah bentuk kohesi sosial yang dibutuhkan dalam pembangunan.
Ketika otonomi daerah memberi ruang bagi budaya lokal untuk tampil, masyarakat merasa dihargai. Mereka merasa dilibatkan. Mereka merasa bahwa pembangunan tidak hanya soal jalan dan gedung, tetapi juga tentang jagung, tentang cerita, tentang kebersamaan. Di sinilah pesan moral dan sosial terpatri. Bahwasanya, melalui Titi Jagung, masyarakat Lembata menyampaikan pesan bahwa ‘pembangunan harus berjalan bersama tradisi’. Dan, pemerintah harus hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, tidak hanya ‘bergelimpangan AC di ruang-ruang rapat’.
Di titik ini, perayaan otonomi daerah di Lembata menemukan wajahnya. Wajah yang sederhana, tetapi kuat. Wajah yang tidak dibentuk oleh angka dan grafik, tetapi oleh tawa, kerja bersama, dan semangat lokal. Titi Jagung adalah bukti bahwa ketika budaya lokal diberi ruang, pembangunan menjadi lebih bermakna. Lebih manusiawi. Lebih Lembata.***