Lembata yang ‘Baik Aja’ (Evaluasi atas Jagung Titi dan Festival Lamaholot)
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM– Festival Lamaholot (07-10 Oktober) yang melibatkan 3 kabupaten: Flores Timur, Alor, dan Lembata telah usai. Rangkaian kegiatan yang menampilkan tenun lamaholot, karnaval dan pentas budaya, talk show masyarakat adat, dan pameran UMKM telah usai.
Namun pertanyaan penting, apakah penyelenggaraan festival yang merupakan bagian dari Karisma Event Nusantara (KEN) 2025 telah sukses menjadikan Lembata bisa dijuluki kabupaten baik sekali atau sekadar baik saja(aja)? Apakah inovasi dan kreativitas yang ditampilkan tidak lepas dari upaya menempatkan aneka kegiatan setelah membaca postur APBD Lembata yang lebih dari 95% merupakan transferan dari pemerintah pusat dan transfer antar-daerah?
Jelas, jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan rancangan aktivitas yang secara ekonomi dapat semakin memberikan kontribusi terhadap pengembangan ekonomi. Lebih lagi karena Festival Lamaholot misalnya dilakukan sebagai bagian dari Kharisma Event Nusantara (KEN) yang tentu diharapkan dapat menggerakan ekonomi Lembata.
Tidak hanya itu. Festival Lamaholot bagi Lembata semestinya dilakukan dalam satu paket HUT Otonomi Daerah mengingat pada 12 Oktober, Lembata telah memasuki usia ke-26. Dengan demikan kedua event in tidak bisa dipisahlepaskan.
Miskin (Botak) Ide
Lantas bagaimana perayaan HUT Otda lembata dan Festival Lamaholot ini telah (dan semestinya) didisain? Dilihat dari rangkaian kegiatan, khusus selama Festival Lamaholot, maka kegiatan bisa dianggap ‘lumayanlah’. Ada tenun ikat, pentas budaya, dan talkshow. Tetapi dari segi pengembangan ekonomi maka kita tentu bisa meneropong kegiatan UMKM. Di antara banyak kegiatan, kita tentu bisa menyoroti lomba Titi Jagung (selain lomba mengetik) yang dilakukan oleh Pemda.
Bahwa titi jagung itu baik tentu kita sepakat bahwa hal itu baik. Malah bila kita tanyakan kepada orang Lembata hebat (kalau masih hidup) seperti Goris Keraf (bidang linguistik), Sonny Keraf (Filsuf Etika), Anton Enga Tifaona, Alo Liliweri (pakar komunikasi), Sulaeman L Hamzah (politisi), Yapi Taum (sastrawan), sejarawan Thomas Ataladjar (sejarawan), tentu mereka akan memilih makan jagung titi daripada hamburger atau Spaghetti, tentu mereka milih jagung titi.
Tetapi apakah event besar tersebut hanya menampilkan seorang bupati (Kanis Tuaq) yang rela berpanasan di samping bara api dan membiarkan jemarinya sedikit melepuh saat mengambil biji jagung yang panas dari periuk tanah? Sebagai sebuah show tentu baik. Tetapi bagaimana kegiatan tersebut berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi rakyat? Bagaimana produk jagung titi dapat merambah pasaran yang lebih luas oleh modifikasi?
Tentu saja tidak. Yang ditampilkan adalah pola meniti jagung seperti yang dari dulu. Itu pula yang ditampilkan bupati Lembata dan OPD yang barangkali ikut kegiatan hanya asal tidak dianggap berbeda dengan bupati. Lalu bagaimana kontribusi jagung titi yang dititi seperti dari ‘sediakala’ terhadap postur APBD Lembata?
Pertanyaan ini tentu tidak dengan serta merta mengkritik atau merendahakn posisi jagung titi. Tentu saja tidak. Tetapi sebuah peemerintahan dengan perangkat yang sangat lengkap dikepalai seorang bupati yang meski terpilih dengan kekuatan hanya 20an% dari total masyarakat tetapi mestinya menghasilkan program yang lebih ‘menggigit’. Nyatanya?
Dalam arti ini kita perlu jujur, kegiatan yang ditampilkan menggambarkan minim atau miskinnya ide. Kalau ide itu bisa digambarkan sebanyak jumlah helai rambut maka ide minim malah tidak ada ibarat orang yang berkepala botak oleh karena absennya rambut ide. Analogi ini pun tidak bermaksud mengidentikkan dengan Bupati. Sang Bupati malah lebih dari sekali dalam sambutannya membanggakan kepalanya yang botak (yang disebutnya bagai cahaya untuk menerangi semua). Botak juga dianggap sebagai pembeda dari calon bupati lain yang memubatnya terpilih. Tetapi kebanggan yang tentunya semu itu mestinya diikuti dengan ide kreatif hal mana sangat dinantikan masayrakat.
Merangsang Kreativitas
Bila terrpaksa jagung titi bisa diangkat dalam rangka Festival Lamaholot dan HUT-Otonomi Daerah maka hal itu mestinya bisa digagas secara lain. Beberapa alternatif berikut mestinya dapat dilakukan.
Terbayang, melalui riset mendalam, jagung titi bisa memperoleh jamahan inovasi yang selanjutnya bisa dibuat jagung titi modern snack series. Terbayang aka nada jagung titi rasa keju, balado, rumput laut, cokelat, dan kopi flores. Jagung titi juga bisa dicampur dengan kacang, madu, buah kering dan dijual sebagai healthy snack. Ide lain seperti jagung titi instant bowl yang dikemas seperti sereal, tinggal tuang susu hangat dan cocok untuk pasar urban.
Agar sampai pada produk seperti ini maka yang mestinya dilakukan oleh Pemda adalah melakuakn riset medalam, dan kemudian bisa menjaring para ibu yang selama ini sudah hidup dari meniti jagung. Mereka menjadi pemasok utama dan meniti jagung seperti biasanya sementara pemda memprosesnya dengan aneka rasa seperti dikemukakan di atas. Kalau demikian maka sebuah rantai ekonomi akan dibangun dan secara gradual akan meningkatkan ekonomi rakyat. Festival seperti Lamaholot pun bisa dikemas menjadi ajang kompetisi olahan Jagung Titi. Di sini aneka ide kreatif bisa ditampilkan.
Yang terjadi justru pemda menurunkan ‘derajatnya’ untuk ikut titi jagung. Artinya kalau semua sukses meniti jagung maka terjadi autoproduction yang secara tidak langsung akan mematikan sumber penghasilan bagi para ibu yang selama ini mengandalkan hidupnya dari meniti jagung dengan pola tradicional.
Pola inovasi seperti ini bila sukses dilakukan maka Festival setara Lamaholot akan menajadi ajang mempromosikan. Bisa saja dibuat Teater Jagung Titi dengan cerita dari Ladang ke Piring. Di sini ada edukasi budaya, penghormatan terhadap kearifan lokal, selain menarik hadirnya wisatawan. Selain itu para seniman Lembata yang terkenal sangat kreatif bisa didorong menciptakan ritme batu panas sebagai musik tradisonal dari proses meniti jagung Terbayang bunyi ritmis saat meniti jagung di atas batu panas bisa dijadikan pertunjukkan musik yang bisa diberi nama: Corn Beat Lembata.
Ini sekadar lemparan ide yang belum tentu disambut positif. Namun rangkaian ide sekadar ditampilkan untuk menghadirkan alternatif menjadikan Lembata sebagai terbaik. Sebaliknya kalau melakuakn sesuatu tanpa ide kreatif, dan kita ajukan dalam pertanyaan kepada masyarakat apakah hal yang dilakukan untuk HUT Otda Lembata ke-26 dan Festival Lamaholot membuat Lembata dijuluki Baik Sekali atau Baik Aja? Jawabannya tentu bisa ditebak. ***
Robert Bala. Putera Lembata. Penulis buku CREATIVE TEACHING, Mengajar Mengikuti Kemautan Otak, Cetakan ke-4 dengan kategori Best Seller Gramedia.