Renungan Hari Minggu Misi, 19 Oktober 2025: Bertekun dalam Iman
Orang-orang tak berdaya secara ekonomi dan politik seperti para anak yatim, janda, dan orang asing, justru mendapat perhatian khusus dari Tuhan. Pemazmur menyebut Allah sebagai Bapa bagi anak yatim dan pelindung para janda.
Mereka adalah orang yang tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya. Mungkin karena alasan itu, maka Tuhan menjadi satu-satunya sandaran hidup.
Di kalangan bangsa Yahudi, janda adalah gambaran pribadi yang miskin, lemah, dan tidak diperhitungkan nasib hidupnya. Setelah suami meninggal dan ia tidak memiliki anak laki-laki, maka dipastikan tidak ada orang yang mengurus hidupnya.
Kita akhirnya dapat mengerti ketika Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada Yohanes, murid-Nya di bawah kaki salib Golgotha. Yesus masih memikirkan nasib Maria, ibu-Nya, agar ada orang yang menjamin kehidupannya.
Kita baca dalam perumpamaan: janda ini hanya mengandalkan kesetiaan dan ketekunan mendatangi hakim untuk membela haknya. Intensitas kedatangan janda menggambarkan bahwa perkara yang ia hadapi sangat menentukan nasib hidupnya.
Posisi janda yang rendah dalam struktur sosial Yahudi rupanya menjadi alasan bagi sang hakim untuk mengabaikan permintaannya. Janda tidak mempunyai uang untuk membayar jasa hakim. Apalagi punya uang lebih untuk menyuap.
Orang-orang kecil dan miskin tidak mendapatkan ruang yang adil dalam proses hukum duniawi. Hanya orang kaya dan yang memiliki afiliasi dengan aparat penegak hukum yang bisa mengais remah-remah keadilan dari meja hukum.
Apalagi tipe hakim yang Yesus lukiskan “…tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun” (Luk 18: 2). Lukisan Yesus ini sesungguhnya sangat berbeda dengan keberadaan hakim dalam konteks Yudaisme: hakim itu wakil Allah untuk menyatakan kebenaran dan keadilan bagi yang tertindas.
Maka hakim mesti berpegang pada hukum Musa sebagai dasar kebenaran. Budaya Yahudi jutru meniscayakan hakim secara mutlak takut akan Allah. Ketika Yesus mengatakan bahwa hakim itu tidak takut akan Allah dan tidak menghormati siapa pun, Dia sesungguhnya menunjukkan betapa hakim itu buruk karena hidup tidak sesuai hukum Taurat.
Kondisi hakim model ini membawa akibat: keadilan hukum itu rasanya melayang di langit mimpi. Namun janda yang tidak bosan datang, tidak malu dicuekin, mengganggu ketenangan, justru berdaya mengubah hatinya.
Hakim luluh hatinya di hadapan kemurnian hati dan keteguhan komitmen perjuangan janda itu. Bisa jadi hakim mengabulkan permintaan janda demi kenyamanan dan kepentingan pribadi. Tapi di sisi lain, ada pesan berharga: jika seseorang berjuang dengan gigih melalui cara-cara yang baik, ia akan mendapatkan apa yang diharapkannya. Seperti Musa yang setia mengangkat tangan, simbol doa dan penyerahan kepada Tuhan, dan Israel mengalahkan musuh.
Yesus mengontraskan sang hakim yang tidak mengenal Tuhan dan angkuh itu dengan Bapa-Nya. Bapa lebih dari hakim lalim itu. “Allah akan membenarkan orang-orang pilihan yang-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya” (Luk 18: 7).
Tuhan adalah sumber kebijaksanaan yang terlampau jauh melebihi kelaliman seorang hakim. Dia terlalu murah hati melebihi kebaikan siapa pun di dunia ini. Tapi Tuhan butuh tindakan konkret manusia untuk memastikan kesungguhan, keseriusan dan ketekunan dalam doa permohonan dan kesetiaan menjalani hidup.
Berdoa dengan tidak jemu-jemu mengungkapkan iman kita kepada Allah. Iman itu bukan semata kekuatan batin menakjubkan, melainkan kesediaan melaksanakan kehendak Bapa dengan penuh pengabdian seperti diteladankan Yesus.
Doa menjadi tanda kita hidup. Santo Irenius dari Lyon menulis, “Kemuliaan Allah akan memancar pada wajah manusia yang hidup.” Doa mampu mengubah sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia menjadi niscaya di mata Allah.
Doa yang tekun mengubah hati yang penuh dosa menjadi belas kasih. Hal ini sejalan dengan pesan Paus Leo XIV pada Minggu Misi sedunia hari ini: Menjadi misionaris harapan yang menghadirkan wajah Kristus penuh belas kasih bagi semua orang. ***