Dinas P3A Lembata Gelar Dialog-“Tobo Baung”: Apa Kata Masyarakat Adat Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dalam Tradisi Lamaholot
“Tobo Baung di Kolontoba: Adat dan Cinta Perempuan dalam Bingkai Pelindung Anak Lembata”
LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM– Dinas Peemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Lembata bekerjasama denga Forum Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Kabupaten Lembata mengelar Dialog (Tobo Baung) di Desa Kolontobo, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, Kamis, 6 November 2025.



Acara Tobo Baung tersebut melibatkan sejumlah desa di Kecamatan Ile Ape dalam 3 kelompok fokus grup diskusi berdasarkan wilayah adat (Lewulun, Lewohala dan Lewotolok) dengan unsur peserta Kepala Desa, Lembaga Adat dan Tokoh Perempuan.

Dialog tersebut bertajuk : “Dialog (Tobo Baung) Tentang Pandangan Masyarakat Adat Terhadap Perempuan dan Anak Dalam Tradisi Lamaholot”, menampilkan sejumlah Narasumber antara lain, Kadis P3A Kabupaten Lembata, Maria Anastasia Bara Baje, S.STP.,M.Si dan Drs. Ambrosius W. Leyn, MM. Sedangkan Sekretaris Dinas P3A, Nataliasia Buyanaya membawakan materi gambaran umum tentang kegiatan Forum Puspa. Acara Tobo Baung itu dibuka secara resmi oleh Camat Ile Ape, Lorens Manuk.
Tampil sebagai Master of Ceremony (MC) adalah Sekretaris Forum Puspa Kabupaten Lembata, Hans Keraf, dan Ben Assan, Wakil Ketua Forum Puspa. Sedangkan Moderator Utama Diskusi, Linus Beseng, Sang Tokoh dan Pemerhati Adat yang tahun banyak hal tentang pelbagai hal pendekatan budaya-tradisi adat Perlindungan Perempuan dan anak baik masih dalam kandungan, lahir, balita, dewasa dan hingga meninggal dunia.
Sekretaris Dinas P3A, Natalisia Buyanaya mewakili Kepala Dinas P3A Kabupaten Lembata, menggambagrkan latar belakang digelarnya kegiatan tersebut. Dijelaskan, Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Forum PUSPA) Lembata adalah forum yang dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mensejahterakan perempuan dan Anak di Kabupaten Lembata.
Forum ini dibentuk Pemerintah Kabupaten Lembata dengan SK Bupati Lembata Nomor 727 Tahun 2024 dan menghimpun segenap stakeholder yang bekerja untuk Kesetaraan Gender, Perlindungan Hak Perempuan, Pemenuhan Hak Anak, dan Perlindungan khusus bagi anak dan Perempuan serta kaum disabilitas yang mengalami segala bentuk tindakan kekerasan.
Melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kabupaten Lembata, Forum PUSPA berusaha membangun kerja sama kolaboratif dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam hal pencegahan, pendampingan dan penanganan segala bentuk kasus kekerasat terhadap anak dan Perempuan.
Semua upaya yang telah dijalakan oleh multi-stakeholder tersebut, menujukan bahwa persoalan kekerasan terhadap anak dan Perempuan menjadi issu yang stratgis dan penting. Selain itu Secara nasional data kekerasan pada tahun 2024 sebesar 31.947 kasus yang terdiri dari 6.894 korban laki-laki dan 27.658 korban perempuan (sumber simfoni PPA).
Sementara itu, di Kabupaten Lembata pada tahun 2023 terdapat 101 kasus kekerasan, dan pada tahun 2024 terdapat 63 kasus kekerasan. Sampai dengan Juni 2025 tercatat 36 kasus kekerasan. Data ini menunjukan adanya tren penurunan kasus kekerasan terhadap anak dan Perempuan, namum yang menjadi potret buram yakni jenis kekerasan, korban dan pelaku tindakan kekerasan sudah semakin beragam dan hamper sering terjadi setiap tahun.
Berdasarkan data dan fakta di atas, Forum Puspa berinisiatif membuat kegiatan yang relevan dan edukatif untuk memastikan semakin banyak orang yang melek dan pekah terkait issu kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dengan peningkatan pengtahuan dan pemahaman terkait issu perlindungan anak dan perempuan diharapkan dapat berkontribusi mencegah dan menurunkan angka kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan di kabupaten Lembata.
Oleh karena itu forum Puspa juga mendorong partisipasi dan pelibatan masyarakat adat (tokoh adat – LPM) sebagai jejeraing dalam implementasi kegiatan untuk memastikan perlindungan anak dan permpuan bisa berjalan sesuai dengan konteks kearifan lokal yang ada diwilayah tersebut.
Menurut Natalisia Buyanaya, selain itu akan ada kegiatan Kampanya dan promosi melalui media Foto boath yang akan membangkitkan kesadaran setiap orang akan pentingnya partisipasi bersama untuk saling melindungi keluarga, tetangga dan masyarkat disekitar kita. Semua rangkaian kegiatan ini akan dilaksanakan selama periode bulan Oktober – November 2025.
Kegiatan ini bertujuan untuk:
- Untuk menyebarluaskan informasi dan memberikan pengetahuan serta pemahaman kepada Masyarakat terkait issu pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak dalam rangka mencegah segala bentuk tidakan kekerasan.
- Meningkatkan partisipasi Masyarakat terkait Upaya Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
- Membangun kemitraan yang strategis dengan beberapa komponen stakeholder di desa seperti Lembaga Adat dan Pemdes dalam upaya pencegahan, pendampingan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
- Untuk mendukung kerja-kerja pemberdayan perempuan dan perlindungan anak yang berkelanjutan dan tersistem.
- Meningkatkan visibility Forum Puspa kabupaten Lembata terkait program dan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat kepada anak dan perempuan serta keluarga terdampak maupun tidak terdampak kasus kekerasan.
Hasil yang diharapkan terjadi dari kegiatan ini adalah:
- Adanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman serta kesadaran Masyarakat terlait pencegahan, pendampingan dan penanganan kasus kekerasan.
- Meningkatnya partisipasi Masyarakat terkait Upaya Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
- Penurunan angka kasus kekerasan terhadap anak dan Perempuan di kabupaten Lembata.
- Adanya inisiasi system penangan kasus yang sesuai konteks dan kearifan lokal yang ada di Kaupaten Lembata.
- Adanya jaringan kemitraan yang strategis dan berkesinambungan dalam merespon segala bentuk kasus kekerasan baik pada situasi pra kasus (Pencegahan) , saat kasus (Pendampingan) dan pasca kasus (reintegrasi sosial).
- Forum Puspa menjadi Forum yang dapat dipercaya dan akuntabel serta menjadi mitra strategis pemerintah daerah.
Tobo Baung Lewohala, Lewotolok, dan Lewoulun menjadi ruang bertemunya nilai adat dan nurani manusia. Tobo Baung di pante epo Ohe Kolontoba, Kamis (6/11/2023), difasilitasi oleh Forum Puspa bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lembata, menghadirkan pandangan masyarakat adat tentang perempuan dan anak dalam bingkai kearifan lokal.
Dari forum itu, terjalin benang merah antara adat dan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Adat bukan sekadar ritual, melainkan ruang moral yang menuntun cara manusia memperlakukan sesama dengan hormat dan kasih. Perempuan, dalam pandangan adat , bisa menjadi ibu, istri, opuwae, bine ana, dan ha ana — sosok yang berlapis peran dan tanggung jawab.
Pendekatan terhadap perempuan berstatus istri misalnya, digambarkan melalui mahar atau gading, dan dikenal sebagau simbol penghargaan dan martabat. Diskusi bertajuk “Peran Adat terhadap Perempuan dan Anak” itu menghasilkan satu pesan besar: etika dan perilaku menjadi dasar utama agar manusia hidup selaras dengan sopan santun sejak dari keluarga.
Kepala Desa Kolontoba, Lambertus Nuho Benimaking, dalam sambutan penutupnya menjeneralisir makna forum tersebut. “Kita semua harus berperilaku baik dengan tidak melanggar proses. Adat mengajarkan bahwa menghormati perempuan dan anak adalah menjaga keseimbangan hidup,” ujarnya.
Dialog itu juga memuat pesan spiritual adat yang dalam. Jika seorang istri suku (janda) menikah dengan laki-laki dari luar suku, maka witi tue bala bali aha kena woi lala — tanda peringatan adat akan batas-batas moral dan kesetiaan yang harus dijaga. Nilai ini menegaskan bahwa adat sejatinya tidak menindas, tetapi melindungi.
Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lembata Maria Anastasia Bara Baje pada kesempatan itu menuturkan bahwa diskusi seperti ini mengingatkan masyarakat adat akan nilai-nilai yang mulai pudar. “Banyak hal penting sudah mulai dilupakan. Misalnya, mengapa harus pakai air atau kelapa dalam prosesi adat? Semua itu punya makna filosofi. Kalau kita tidak ajarkan ke anak-anak, nilai itu akan hilang,” ujarnya.
Ia menambahkan, tradisi tidak hanya diwariskan lewat cerita lisan, tetapi bisa juga ditulis agar tidak hilang di zaman digital ini. “Budaya dibentuk oleh kesepakatan pertama dan perilaku pertama. Kalau kita tidak tulis, maka akan berhenti di generasi kita,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun kesepakatan adat baru untuk masa depan anak-anak. “Kita perlu seminar adat supaya anak-anak tahu bagaimana berjalan dalam tata cara yang benar. Anak-anak harus belajar berbicara sopan, berdiri dengan hormat, seperti yang diajarkan leluhur,” ungkapnya.
Forum itu, peserta juga menyoroti pentingnya pendidikan adat di sekolah. Muatan lokal dianggap perlu untuk menghidupkan kembali nilai budaya yang kini mulai ditinggalkan generasi muda. “Kalau anak-anak tidak diajar, maka mereka hanya tahu adat sebagai cerita, bukan sebagai jiwa,” tutur salah satu peserta perempuan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lembata juga menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan Tobo Baung. Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak boleh dilepaskan dari akar budaya. “Budaya justru memperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang melindungi perempuan dan anak,” katanya.
Ketua Forum Puspa Kabupaten Lembata, Ambros Lein, menyampaikan bahwa diskusi ini menjadi bagian penting dari gerakan sosial untuk mempertemukan nilai adat dan perlindungan hukum modern. “Adat bukan musuh perempuan, tapi penjaga harkatnya. Kita ingin agar pesan ini sampai ke seluruh kecamatan,” ujar Ambros.
Ia berharap agar kegiatan serupa bisa digelar di kecamatan lain, karena nilai-nilai luhur tidak boleh hanya berhenti di Kolontoba. “Tuhan berkenan bila adat digunakan untuk melindungi, bukan menindas. Dari sinilah kesejahteraan perempuan dan anak bisa bertumbuh,” tutupnya.
Tobo Baung Kolontoba tahun ini menoreh makna: adat bukan hanya warisan, tetapi napas moral yang menghidupi masyarakat. Sebab, seperti peribahasa Lembata, “Lawi blua ta’e bale, doan bala ta’e dena” — yang berarti, siapa yang menjaga akar budayanya, dialah yang akan berteduh di bawah pohon kesejahteraan. *** (Pewarta/Editor : Sabatani/Karolus Kia Burin)







