• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Sabtu, November 22, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Agama

PENGANTAR PEMBACA ” WHAT DID JESUS REALLY SAY ?”  

by WartaNusantara
November 20, 2025
in Agama
0
Muhammad Qosim, Putra NTT Dirikan Yayasan Darul Ullum Umar Faruq di Aceh : Pendidikan Berakhlak Bantu Yatim Piatu
0
SHARES
123
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

PENGANTAR PEMBACA ” WHAT DID JESUS REALLY SAY ?”  

Oleh : Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor : adalah seorang Pendidik, Peneliti, dan Penerjemah karya-karya teologis lintas tradisi yang berdedikasi untuk menjembatani dialog antara iman, ilmu, dan kemanusiaan.

                                      Muhammad Qosim

PENGANTAR AKADEMIK

RelatedPosts

Paus Leo Angkat Romo Yohanes Hans Monteiro Uskup Larantuka

Paus Leo Angkat Romo Yohanes Hans Monteiro Uskup Larantuka

 Wagub Johni Asadoma Ajak Umat Jaga Kemajemukan di NTT

 Wagub Johni Asadoma Ajak Umat Jaga Kemajemukan di NTT

Load More

1. Menghadirkan Suara Yesus dalam Dunia Modern

Proyek penerjemahan dan kajian ini lahir dari satu kerinduan yang sama yang menggerakkan para sarjana The Jesus Seminar:
mendengar kembali suara otentik Yesus dari Nazaret, bukan hanya melalui gema tradisi keagamaan, melainkan melalui penelitian historis yang jujur dan ilmiah.

Dalam arus sejarah panjang Kekristenan, suara Yesus telah diwartakan, ditafsirkan, diulangi, bahkan dilapisi oleh berbagai bentuk teologi, liturgi, dan dogma. Namun, di bawah semua lapisan itu, terdapat suara manusia sederhana yang berbicara tentang kasih, keadilan, pengampunan, dan kebijaksanaan.
Suara itu adalah suara seorang guru dari Galilea, seorang nabi yang mengumandangkan kabar baik tentang Kerajaan Allah yang hadir di tengah manusia.

Buku ini berupaya menghadirkan kembali suara itu — dengan pendekatan akademik yang terbuka, disiplin ilmiah yang ketat, dan niat spiritual yang jernih.

2. Tentang The Jesus Seminar dan The Five Gospels

The Jesus Seminar merupakan sebuah komunitas ilmiah independen yang berdiri pada tahun 1985 di bawah pimpinan Robert W. Funk (Westar Institute, California).
Kelompok ini menghimpun lebih dari 200 sarjana biblika dan teolog internasional dari berbagai universitas — di antaranya John Dominic Crossan, Marcus Borg, Walter Wink, Harold Attridge, dan Stephen Patterson.

Tujuan utama mereka bukanlah membangun dogma baru, tetapi menyelidiki Injil secara historis untuk menjawab satu pertanyaan yang amat mendasar:

> “Apa sebenarnya yang dikatakan dan dilakukan Yesus dari Nazaret?”

Hasil penelitian kolaboratif ini dituangkan dalam karya besar mereka berjudul
The Five Gospels: The Search for the Authentic Words of Jesus (1993),
yang memuat lima Injil — Markus, Matius, Lukas, Yohanes, dan Injil Tomas (The Gospel of Thomas) — dalam satu edisi kritik teks dengan sistem penilaian warna:

🔴 Merah: Yesus hampir pasti mengatakannya.

🌸 Merah muda: Yesus kemungkinan besar mengatakannya.

⚫ Abu-abu: Tradisi mungkin berasal dari murid atau komunitas-Nya.

⚫ Hitam: Tidak berasal dari Yesus, melainkan dari penulis atau tradisi gerejawi kemudian.

Metode ini dikenal sebagai “historical-critical method” atau kritik historis terhadap teks,
yakni usaha untuk menyingkap Yesus yang historis (the historical Jesus) dari balik lapisan Yesus iman (the Christ of faith).

3. Relevansi Akademik dan Spiritualitas

Kajian ini bukanlah upaya untuk “merendahkan” nilai rohani teks Injil,
melainkan menghormatinya dengan cara yang ilmiah.
Dengan membaca Injil secara kritis dan jujur, kita justru semakin memahami betapa mendalamnya kebijaksanaan Yesus dan pesan universalnya.

Di sisi lain, proyek ini membuka ruang dialog dengan dunia Islam dan tradisi keilmuan tafsir Al-Qur’an.
Dalam Islam, sosok ʿĪsā ibn Maryam (Yesus Putra Maria) dikenal sebagai nabi dan rasul besar, pembawa kalimat Allah, yang mengajarkan kasih, ketaatan, dan keesaan Tuhan.
Dengan demikian, mempelajari The Five Gospels bukanlah sekadar membaca teks Kristen,
tetapi juga mendalami bagian dari sejarah spiritual umat manusia —
suatu warisan moral dan kenabian yang juga diakui oleh Islam.

Buku ini diharapkan menjadi jembatan antara dua tradisi besar:

Tradisi teologi dan tafsir Kristen yang berkembang melalui kritik ilmiah terhadap teks, dan

Tradisi Islam yang menafsirkan wahyu melalui ilmu bahasa, sanad, dan kontekstualisasi sejarah kenabian.

4. Tujuan Buku Ini

Buku ini disusun untuk dua kalangan utama:

1. Mahasiswa Seminari dan Calon Pewarta Kabar Gembira
Agar memahami Injil secara mendalam — bukan hanya secara devosional, tetapi juga historis, linguistik, dan sosiokultural.
Dengan demikian, pewartaan mereka menjadi lebih berakar pada kebenaran yang jujur dan kontekstual.

2. Pelajar Madrasah, Santri, dan Akademisi Muslim
Agar mengenal bagaimana dunia Kristen modern meneliti teks sucinya, sehingga dapat membuka jalan bagi kajian perbandingan agama yang rasional, terbuka, dan damai.

Dengan membaca The Five Gospels, para pelajar dan peneliti diharapkan memahami bahwa iman dan ilmu tidak harus bertentangan.
Keduanya dapat berdampingan dalam mencari hikmah ilahi di dalam sejarah manusia.

5. Metode dan Struktur Buku

Bagian-bagian dalam buku ini disusun untuk memudahkan pembaca lintas disiplin:

Bagian I–II menjelaskan latar metodologis dan teks Injil.

Bagian III–IV memuat daftar sarjana dan bacaan lanjutan.

Bagian V–VI menyajikan kamus istilah dan indeks ucapan Yesus.

Bagian VII menawarkan refleksi lintas agama — membandingkan Injil Yesus dan ajaran Isa dalam Al-Qur’an.

Setiap bagian diusahakan tetap netral, faktual, dan terbuka bagi semua pembaca.

6. Harapan dan Visi

Semoga buku ini menjadi ruang dialog — bukan perdebatan.
Bahwa di balik perbedaan teologi dan sejarah, terdapat satu panggilan yang sama: menjadi pembawa kabar gembira dan perdamaian, sebagaimana yang diajarkan oleh semua nabi.

Kebenaran tidak perlu ditakuti, karena kebenaran sejati selalu berasal dari Tuhan.
Dan bila kita mencari dengan hati yang jujur, maka di setiap kitab, di setiap bahasa, dan di setiap zaman,
kita akan mendengar gema yang sama:

> “Kasihilah Tuhan, dan kasihilah sesamamu manusia.”

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

📖 PENDAHULUAN BUKU

1. Asal-Usul The Jesus Seminar

Pada tahun 1985, di kota Berkeley, California, sebuah kelompok sarjana biblika dari berbagai universitas di Amerika Utara dan Eropa berkumpul di bawah pimpinan Dr. Robert W. Funk, pendiri Westar Institute.
Pertemuan itu melahirkan sebuah gerakan penelitian baru yang dikenal sebagai The Jesus Seminar, dengan tujuan sederhana namun sangat mendalam:

> “Menemukan kembali kata-kata dan tindakan otentik Yesus dari Nazaret sebagaimana yang mungkin benar-benar terjadi dalam sejarah.”

Para peserta Jesus Seminar bukanlah kelompok keagamaan baru, melainkan komunitas ilmiah yang terdiri dari teolog, sejarawan, ahli bahasa Yunani dan Aram, arkeolog, dan peneliti teks kuno.
Mereka bekerja dalam semangat akademik, dengan keyakinan bahwa iman yang sejati tidak takut pada penyelidikan ilmiah.

Hasil riset mereka kemudian diterbitkan pada tahun 1993 dalam buku monumental berjudul:

> The Five Gospels: The Search for the Authentic Words of Jesus
(Lima Injil: Pencarian Kata-Kata Otentik Yesus)

Edisi ini menandai momen bersejarah: untuk pertama kalinya dalam dunia akademik modern, Injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes, dan Tomas disatukan dan dianalisis secara sejajar — dengan tujuan mengungkap suara Yesus yang historis dari lapisan teologi dan redaksi yang menutupinya selama dua milenium.

2. Mengapa Lima Injil, Bukan Empat?

Empat Injil dalam Perjanjian Baru — Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes — telah lama diakui oleh Gereja sebagai “kanonik”.
Namun, The Jesus Seminar menambahkan satu Injil lagi, yaitu Injil Tomas (The Gospel of Thomas), sebuah teks yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir Hulu, pada tahun 1945.

Injil Tomas terdiri dari 114 logion (perkataan Yesus) tanpa narasi mukjizat atau kebangkitan, dan karena gaya bahasanya yang sederhana dan penuh kebijaksanaan, banyak sarjana menilai bahwa beberapa logion di dalamnya bahkan lebih tua daripada sumber Injil Sinoptik.

Dengan memasukkan Injil Tomas, para peneliti ingin memperluas cakrawala pencarian mereka terhadap suara Yesus yang mungkin terlupakan oleh tradisi gereja arus utama.

Sebagaimana dijelaskan oleh Marcus Borg, salah satu tokoh utama Jesus Seminar:

> “Kami menambahkan Injil Tomas bukan untuk menambah kitab suci baru, tetapi untuk mendengarkan gema suara Yesus dari tradisi yang pernah hilang.”

3. Metode Kritik Historis: Membedakan Yesus Sejarah dan Yesus Iman

Penelitian ini berangkat dari satu prinsip dasar ilmu sejarah:
bahwa teks-teks kuno harus dibaca dalam konteks sosial, politik, dan budaya zamannya.

Yesus hidup di Palestina abad pertama, di bawah penjajahan Romawi, di tengah masyarakat Yahudi yang terpecah antara Farisi, Saduki, dan kaum Zelot.
Suara dan ajaran-Nya harus dipahami dalam realitas itu, bukan semata melalui tafsir teologis yang muncul berabad-abad kemudian.

Untuk itu, The Jesus Seminar menerapkan serangkaian kriteria historis dalam menganalisis ucapan-ucapan Yesus, antara lain:

1. Criterion of Multiple Attestation (Bukti Ganda)
– Ucapan yang muncul di lebih dari satu sumber (misal: Markus dan Q) dianggap lebih mungkin autentik.

2. Criterion of Dissimilarity (Kekhasan)
– Ucapan yang berbeda dari tradisi Yahudi maupun Gereja awal dianggap lebih mungkin berasal dari Yesus sendiri.

3. Criterion of Embarrassment (Keterkejutan)
– Pernyataan yang memalukan atau sulit bagi Gereja awal cenderung dianggap lebih asli (misal: Yesus dibaptis oleh Yohanes).

4. Criterion of Coherence (Konsistensi)
– Ucapan yang selaras dengan ajaran lain yang telah terbukti autentik diperhitungkan sebagai asli.

Dengan pendekatan ini, setiap kalimat dan perumpamaan Yesus dianalisis, didiskusikan, lalu dipilih melalui sistem pemungutan suara berwarna.

4. Sistem Pemungutan Suara: Bahasa Warna dalam Injil

Untuk menyampaikan hasil penilaian mereka secara visual dan mudah dipahami, para anggota Jesus Seminar menggunakan kode warna empat tingkat:

WarnaArtiMakna Akademik

🔴 MerahYesus hampir pasti mengatakannyaKeotentikan tinggi
🌸 Merah mudaYesus mungkin mengatakannya atau ajarannya miripKeotentikan menengah
⚫ Abu-abuUcapan berasal dari murid atau tradisi komunitasTradisi sekunder
⚫ HitamUcapan ditambahkan oleh penulis Injil atau Gereja kemudianTradisi teologis pasca-Yesus

Setiap sarjana memberi suaranya, dan hasilnya dihitung dengan sistem weighted average (rata-rata tertimbang).
Dengan demikian, setiap keputusan bukan hasil tafsir pribadi, melainkan konsensus ilmiah berbasis data dan argumen.

5. Hasil dan Dampak Akademik

Karya The Five Gospels segera menimbulkan gelombang diskusi luas di dunia teologi.
Sebagian memujinya sebagai tonggak keterbukaan ilmiah dalam studi Kristen, sementara sebagian lainnya menganggapnya terlalu “radikal” karena menantang pandangan tradisional.

Namun, di balik kontroversi itu, satu hal pasti:
buku ini membuka kembali ruang dialog antara iman dan akal,
antara spiritualitas dan penelitian ilmiah, dan antara teologi Barat dan tradisi ilmiah Timur.

The Jesus Seminar tidak bermaksud menggantikan Injil gereja, melainkan mengajak pembaca untuk mendengar Yesus berbicara sendiri — tanpa jubah dogma, tanpa tafsir institusional.

6. Kontribusi Bagi Dunia Akademik dan Dialog Lintas Iman

Dalam konteks Indonesia dan dunia Islam, pendekatan semacam ini sangat berharga.
Para mahasiswa seminari dapat belajar bagaimana teks-teks suci diuji secara metodologis,
sementara pelajar madrasah dapat melihat bahwa iman umat lain juga memiliki tradisi ilmiah yang serius.

Kajian ini mengajarkan bahwa kebenaran religius dan kebenaran historis tidak harus saling meniadakan, tetapi dapat memperkaya satu sama lain.
Dalam semangat itu, buku ini diterjemahkan dan disusun:
untuk menginspirasi generasi akademisi lintas iman agar berani membaca kitab suci dengan akal yang jernih dan hati yang berserah.

7. Tujuan Akhir: Yesus yang Ditemukan Kembali

Pada akhirnya, The Five Gospels bukan sekadar karya kritik teks,
melainkan pencarian spiritual:
mendengarkan kembali suara Yesus di tengah dunia modern yang bising,
dan menemukan pesan yang tetap relevan melampaui agama, bahasa, dan zaman:

> “Kasihilah musuhmu, berilah kepada yang meminta, dan jangan balas kejahatan dengan kejahatan.”

Suara ini — sederhana, jernih, dan penuh kasih — adalah warisan universal bagi semua manusia yang mencari Tuhan.

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

BAB I – YESUS HISTORIS DAN DUNIA PALESTINA ABAD PERTAMA

1. Mengapa Kita Mencari Yesus yang Historis

Ketika orang berbicara tentang Yesus, mereka biasanya berbicara tentang sosok yang diimani — Kristus dalam gereja, Tuhan dalam ibadah, atau Guru Agung dalam doa.
Namun dalam penelitian ilmiah, kita bertanya sesuatu yang berbeda:

> “Siapakah Yesus dari Nazaret dalam kenyataan sejarahnya?”

Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan iman, tetapi untuk memahami akar manusiawi dari pesan ilahi.
Sebagaimana dijelaskan oleh teolog Albert Schweitzer (1906):

> “Setiap zaman berusaha menemukan Yesus dalam citranya sendiri. Tetapi Yesus sejarah, setelah segala upaya manusia, tetap berdiri di sana — sebagai Pribadi yang unik, jauh di depan kita.”

Yesus yang historis adalah Yesus dari tanah Palestina, seorang Yahudi Galilea yang hidup di bawah kekuasaan Romawi.
Ia berbicara dalam bahasa Aram, mengajar di sinagoga, bergaul dengan orang miskin dan sakit, dan berbicara tentang Kerajaan Allah — bukan sebagai kekuasaan politik, melainkan pembalikan nilai-nilai dunia: yang terakhir menjadi yang pertama, dan yang kecil menjadi besar.

2. Palestina Abad Pertama: Dunia yang Bergejolak

Palestina pada abad pertama adalah wilayah yang penuh ketegangan politik dan religius.
Kekaisaran Romawi, di bawah pemerintahan Kaisar Tiberius (14–37 M), menguasai tanah ini melalui gubernur militer seperti Pontius Pilatus di Yudea, sementara daerah Galilea diperintah oleh Herodes Antipas, anak Raja Herodes Agung.
Penduduk Yahudi Palestina terbagi ke dalam beberapa kelompok besar:

1. Kaum Farisi – Guru hukum dan penjaga tradisi Taurat. Mereka dihormati karena kesalehan, namun dikritik Yesus karena legalisme mereka.

2. Kaum Saduki – Elit imam Bait Allah di Yerusalem, kolaborator dengan Romawi, lebih konservatif secara teologis.

3. Kaum Eseni – Komunitas religius yang hidup menyendiri di padang gurun (seperti Qumran), menantikan Mesias dengan hidup suci dan asketik.

4. Kaum Zelot – Gerakan revolusioner yang menolak dominasi Romawi dan siap melakukan kekerasan demi kemerdekaan.

5. Rakyat kecil – Petani, nelayan, pengrajin, dan orang miskin yang menjadi mayoritas masyarakat Galilea dan Yudea.

Dari kalangan inilah Yesus lahir, bertumbuh, dan berkarya.
Ia bukan bagian dari elit politik atau imam, melainkan seorang pengkhotbah rakyat dari Nazaret,
yang berbicara dengan bahasa sederhana namun menyentuh nurani bangsa yang tertindas.

3. Bahasa, Budaya, dan Spiritualitas Zaman Yesus

Yesus berbicara dalam bahasa Aram, dialek Semitik yang digunakan sehari-hari oleh rakyat Palestina.
Namun Ia juga mengenal Ibrani (bahasa liturgi sinagoga) dan kemungkinan memahami Yunani Koine, bahasa perdagangan dan komunikasi umum di wilayah Timur Romawi.

Budaya Palestina merupakan perpaduan antara tradisi Yahudi kuno dan pengaruh Helenistik yang datang melalui penaklukan Aleksander Agung.
Dengan demikian, Yesus hidup di tengah benturan dua dunia:

Dunia Ibrani, dengan keyakinan monoteistik yang kuat dan tradisi Taurat;
Dunia Yunani-Romawi, dengan rasionalitas, politik kekuasaan, dan gagasan universalitas.

Dalam ketegangan dua dunia itu, Yesus tampil dengan pesan yang menyejukkan sekaligus mengguncang:

> “Berbahagialah orang miskin, karena kamulah yang memiliki Kerajaan Allah.”

Ungkapan ini adalah bentuk protes spiritual terhadap ketidakadilan sosial — sekaligus ajakan untuk membangun dunia baru yang berpusat pada kasih dan belas kasihan.

4. Struktur Sosial dan Ketimpangan Ekonomi

Penindasan sosial di Palestina abad pertama sangat berat.
Tanah-tanah pertanian banyak dimiliki oleh tuan tanah kaya yang bekerja sama dengan pejabat Romawi dan para imam.
Sementara itu, rakyat kecil harus membayar pajak tinggi kepada tiga pihak sekaligus:

1. Kaisar Romawi,

2. Herodes dan pejabat lokal,

3. Bait Allah di Yerusalem.

Akibatnya, banyak petani kehilangan tanahnya dan hidup sebagai penggarap atau pengemis.
Yesus hidup di tengah masyarakat yang kelelahan secara ekonomi dan haus akan keadilan.
Maka tidak mengherankan jika Ia berbicara tentang pembalikan tatanan dunia: yang lapar akan dikenyangkan, yang kaya akan dikosongkan tangannya (Lukas 1:53).

5. Dunia Religius: Dari Bait Allah ke Sinagoga

Dalam tradisi Yahudi, pusat kehidupan religius adalah Bait Allah di Yerusalem, tempat imam mempersembahkan korban binatang dan menyalakan dupa setiap hari. Namun bagi rakyat di luar Yerusalem, sinagoga-sinagoga kecil di desa menjadi tempat utama untuk membaca Kitab Suci dan berdoa.

Yesus lebih dekat dengan kehidupan sinagoga daripada sistem korban di Bait Allah.
Ia dikenal sebagai rabi keliling, bukan imam. Ia mengajar bukan dengan ritual, melainkan dengan perumpamaan, yang diambil dari kehidupan sehari-hari: ladang, ikan, benih, uang, dan pesta.

Dalam konteks inilah Yesus menjadi suara profetik — menyerukan pertobatan, pengampunan, dan kasih tanpa batas.

6. Situasi Politik dan Lahirnya Gerakan Mesianik

Dalam dunia yang penuh penindasan, kerinduan akan Mesias (Yang Diurapi) tumbuh kuat.
Banyak orang menantikan seorang pemimpin yang akan membebaskan bangsa Israel dari penjajahan.
Namun Yesus tampil berbeda: Ia tidak memimpin pemberontakan bersenjata, melainkan revolusi batin dan moral.

Yesus mengajarkan bahwa Kerajaan Allah bukan kekuasaan politik,
melainkan pemerintahan kasih dan keadilan yang dimulai dalam hati manusia.
Pesan inilah yang membuat-Nya dicintai rakyat kecil, tetapi sekaligus dicurigai oleh penguasa.
Bagi Romawi, Ia dianggap pengacau; bagi para imam, Ia dianggap penghujat.

Akhirnya, Ia disalibkan di luar tembok Yerusalem — cara eksekusi khas Romawi untuk para pemberontak.
Namun kisah-Nya tidak berakhir di salib.
Bagi para murid, kehidupan dan sabda-Nya menimbulkan kesadaran baru tentang kehadiran Allah di dunia.

7. Kesimpulan: Yesus dalam Sejarah dan Iman

Yesus dari Nazaret hidup sebagai seorang Yahudi Galilea abad pertama, berbicara tentang kasih Allah di tengah dunia yang penuh ketidakadilan.
Ia bukan tokoh mitologis, melainkan figur historis nyata, yang pesannya kemudian melampaui batas sejarah dan agama.

Memahami Yesus historis bukan berarti meniadakan Yesus iman,
tetapi menyingkap bagaimana iman itu lahir dari pengalaman sejarah yang konkret.

Dalam terang sejarah, kita melihat bahwa:

Ajaran Yesus berakar pada tradisi Yahudi, namun melampauinya dengan cinta universal.

Kabar gembira yang Ia wartakan tidak hanya untuk Israel, tetapi untuk seluruh umat manusia.

Dan bahwa suara-Nya — yang diwartakan kembali dalam The Five Gospels — masih berbicara dengan daya hidup yang sama: mengajak dunia untuk berjalan dalam kasih, keadilan, dan pengampunan.

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

BAB II — METODOLOGI KRITIK TEKS DAN PENILAIAN HISTORIS DALAM THE FIVE GOSPELS

1. Tujuan Kajian Historis: Menemukan Suara Yesus di Balik Tradisi

Setiap teks suci adalah hasil perjalanan panjang tradisi: diceritakan, dihafalkan, ditulis, lalu disunting.
Dalam proses itu, kata-kata Yesus yang otentik sering bercampur dengan tafsiran para murid, tradisi komunitas, dan penyusunan teologis gereja.

The Jesus Seminar berusaha memisahkan lapisan-lapisan itu,
agar suara asli Yesus dapat terdengar kembali.

Robert W. Funk menggambarkan misi mereka dengan kalimat yang sederhana:

> “Kami ingin mendengarkan Yesus berbicara sendiri — bukan Yesus yang dipinjamkan oleh gereja.”

Namun mendengarkan “suara asli” itu memerlukan metode ilmiah yang ketat, karena teks-teks Injil bukan catatan langsung dari Yesus,
melainkan produk komunitas iman yang lahir puluhan tahun setelah kematian-Nya.

2. Prinsip Dasar: Kritik Historis (Historical-Critical Method)

Metode historical-critical adalah kerangka ilmiah utama yang digunakan oleh The Jesus Seminar.
Prinsip dasarnya: teks Alkitab harus dianalisis seperti dokumen sejarah lain, dengan memperhatikan konteks sosial, budaya, bahasa, dan teologinya.

Metode ini mencakup beberapa cabang utama:

1. Kritik Sumber (Source Criticism)
Menganalisis dari mana para penulis Injil memperoleh bahan mereka.
Misalnya: Markus menjadi sumber bagi Matius dan Lukas; sedangkan Sayings Gospel Q adalah sumber bersama Matius–Lukas.

2. Kritik Bentuk (Form Criticism)
Meneliti bentuk sastra ucapan Yesus — perumpamaan, aforisme, perdebatan, doa, dan sebagainya.
Setiap bentuk mencerminkan konteks sosial di mana tradisi itu beredar secara lisan.

3. Kritik Redaksi (Redaction Criticism)
Mengkaji bagaimana masing-masing penginjil menyunting dan mengubah sumber-sumbernya.
Perubahan itu mengungkap pandangan teologis dan pesan khas dari setiap Injil.

4. Kritik Tradisi (Tradition History)
Melacak bagaimana ucapan-ucapan Yesus berkembang dari satu komunitas ke komunitas lain sebelum akhirnya ditulis.

5. Kritik Teks (Textual Criticism)
Membandingkan ribuan naskah Yunani, Koptik, Latin, dan Siria untuk menemukan bentuk teks tertua dan paling dapat dipercaya.

6. Kritik Historis Sosial (Social-Historical Criticism)
Menempatkan kata dan tindakan Yesus dalam konteks politik, ekonomi, dan keagamaan Palestina abad pertama.

Dengan memadukan semua pendekatan ini, para sarjana berusaha merekonstruksi Yesus bukan sebagai tokoh mitologis,
tetapi sebagai figur manusia yang hidup, berbicara, dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya.

3. Kriteria Historis: Menilai Keaslian Sabda Yesus

Dalam penelitian ini, tidak semua perkataan Yesus dalam Injil dianggap autentik secara otomatis.
Untuk menentukan mana yang paling mungkin berasal dari Yesus sendiri, The Jesus Seminar menggunakan empat kriteria utama:

a. Criterion of Multiple Attestation (Kesaksian Ganda)

Jika suatu ucapan Yesus muncul dalam beberapa sumber independen (misalnya Markus dan Q), maka kemungkinan besar ucapan itu memang berasal dari Yesus historis.

Contoh:
Ucapan tentang “Kasihilah musuhmu” muncul dalam Matius 5:44, Lukas 6:27, dan Injil Tomas 25 — maka dianggap memiliki dasar historis yang kuat (warna 🔴 merah).

b. Criterion of Dissimilarity (Kekhasan)

Ucapan yang berbeda dari tradisi Yahudi sezamannya dan juga dari ajaran gereja awal dianggap lebih mungkin berasal dari Yesus sendiri.
Contohnya: “Berilah kepada Kaisar apa yang milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang milik Allah.”
Pernyataan ini unik dan tidak menguntungkan pihak mana pun — tanda kuat keasliannya.

c. Criterion of Embarrassment (Keterkejutan)

Jika suatu kisah memalukan atau menyulitkan bagi gereja awal,
misalnya Yesus dibaptis oleh Yohanes (Markus 1:9–11),
maka hal itu justru dianggap lebih historis, karena kecil kemungkinan diciptakan untuk meninggikan Yesus.

d. Criterion of Coherence (Konsistensi)

Ucapan-ucapan lain yang sejalan dengan perkataan Yesus yang telah diverifikasi keasliannya dapat dianggap mungkin juga berasal dari Yesus.

4. Sistem Warna: Bahasa Visual Keotentikan

The Jesus Seminar memperkenalkan sistem warna empat tingkat untuk menilai keaslian setiap perkataan dan tindakan Yesus.

WarnaPenjelasanNilai Rata-rataMakna Akademik

🔴 MerahYesus hampir pasti mengatakannya3.00–2.50Otentik
🌸 Merah mudaYesus kemungkinan besar mengatakannya, atau sesuai dengan ajarannya2.49–1.50Cukup autentik
⚫ Abu-abuMungkin berasal dari murid atau komunitas awal, bukan Yesus langsung1.49–0.50Tradisi komunitas
⚫ HitamTidak berasal dari Yesus, hasil redaksi penginjil atau Gereja awal0.49–0.00Tradisi sekunder

Pemungutan suara dilakukan dalam pertemuan formal.
Setiap peserta menjatuhkan manik berwarna (red bead, pink bead, gray bead, black bead) ke dalam wadah,
dan hasilnya dihitung dengan sistem weighted average (rata-rata tertimbang).
Warna akhir pada teks mencerminkan hasil kolektif dari seluruh suara sarjana.

5. Pentingnya Injil Tomas dan Sumber Q

Selain empat Injil kanonik, The Jesus Seminar menempatkan Injil Tomas dan Sumber Q (Quelle) sebagai dua saksi penting dalam menelusuri suara Yesus.

Sumber Q adalah kumpulan ucapan Yesus (sayings) yang digunakan bersama oleh Matius dan Lukas, tetapi tidak terdapat dalam Markus.
Materi ini meliputi Sabda Bahagia, Kasihilah musuhmu, dan Doa Bapa Kami.

Injil Tomas, ditemukan di Nag Hammadi (Mesir) tahun 1945, berisi logion Yesus tanpa narasi mukjizat atau kebangkitan.
Sebagian besar ucapan di dalamnya memiliki kemiripan dengan Q, bahkan mungkin berasal dari tradisi yang sama atau lebih tua.

Karena kedua sumber ini tidak mengandung teologi kebangkitan atau penggambaran Yesus sebagai tokoh ilahi, mereka menjadi jendela penting menuju Yesus yang historis,
yakni guru hikmat yang berbicara dalam perumpamaan dan paradoks.

6. Kritik Redaksi: Membaca Penginjil sebagai Teolog

Dalam penelitian historis, para penginjil tidak dianggap sekadar “penulis kronik,” melainkan teolog yang menafsirkan pengalaman iman komunitasnya.

Contoh:

Markus menampilkan Yesus sebagai “Mesias yang menderita.”

Matius menulis untuk komunitas Yahudi, menonjolkan Yesus sebagai “Musa baru.”

Lukas menulis bagi dunia Yunani, menggambarkan Yesus sebagai “Juru Selamat universal.”

Yohanes menafsirkan Yesus sebagai “Firman yang menjadi manusia.”

Dengan memahami sudut pandang teologis masing-masing penulis,
kita bisa mengenali perbedaan antara suara Yesus dan suara gereja.

7. Mengapa Metode Ini Penting

Bagi banyak orang beriman, pendekatan ilmiah terhadap kitab suci mungkin terasa “dingin” atau “berjarak.”
Namun sebenarnya, metode ini justru meneguhkan keotentikan pesan Yesus dengan cara yang jujur dan terbuka. Ia melatih kita membedakan antara kebenaran iman dan fakta sejarah, tanpa meniadakan keduanya.

Ia mengajarkan bahwa keindahan Injil tidak terletak pada keajaiban,
melainkan pada kebijaksanaan moral dan kemanusiaan universal yang diwahyukan Yesus.

Dalam konteks pendidikan seminari dan madrasah, pendekatan ini dapat memperluas wawasan:
membaca kitab suci bukan hanya dengan hati yang percaya, tetapi juga dengan akal yang meneliti dan menghormati fakta.

8. Kritik dan Respons terhadap The Jesus Seminar

Tidak semua kalangan setuju dengan metode dan kesimpulan The Jesus Seminar.
Sebagian teolog konservatif menilai bahwa proyek ini terlalu “skeptis,”
karena terlalu mengandalkan sejarah dan menolak elemen mukjizat atau kebangkitan.

Namun para sarjana Jesus Seminar menjawab dengan tenang:

> “Kami tidak mencari Yesus yang lebih kecil dari yang diimani,
kami hanya ingin mengenal Yesus yang benar-benar pernah berjalan di Galilea.”

Di sisi lain, banyak akademisi dan komunitas lintas iman memuji pendekatan ini sebagai titik temu antara iman dan sains,
antara kitab dan sejarah,
antara agama dan kebebasan berpikir.

9. Kesimpulan: Kebenaran yang Disaring oleh Sejarah

Melalui The Five Gospels, kita belajar bahwa:

Keimanan yang matang berani berdialog dengan bukti.

Kritik teks bukan ancaman bagi iman, tetapi sarana untuk memurnikannya.
Suara Yesus tetap dapat didengar dengan jernih di antara lapisan tradisi yang menutupi-Nya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Robert W. Funk dalam kata penutupnya:

> “Kami membuka Injil bukan untuk menurunkan Yesus dari sorga,
tetapi untuk menempatkan-Nya kembali di bumi —
di tengah manusia, tempat Ia pertama kali berbicara.”

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

BAB III – STRUKTUR DAN ISI THE FIVE GOSPELS

1. Apa Itu The Five Gospels

Buku The Five Gospels (1993), disusun oleh Robert W. Funk, Roy W. Hoover, dan The Jesus Seminar, adalah proyek ilmiah untuk menilai secara historis ucapan-ucapan Yesus dalam lima Injil:
Markus, Matius, Lukas, Yohanes, dan Tomas.

Tujuan utama penyusunan karya ini bukan menambah “kitab suci” baru,
melainkan menyajikan hasil penelitian kritis tentang Injil dengan transparansi penuh — sehingga pembaca dapat melihat lapisan sejarah, teologi, dan tradisi yang membentuk teks Injil yang kita miliki sekarang.

Dengan menyatukan kelima Injil dalam satu edisi sejajar,
para sarjana Jesus Seminar ingin membantu kita mendengar gema berbagai suara Yesus yang berkembang dalam komunitas Kristen awal:

Yesus sebagai guru hikmat (dalam Tomas),

Yesus sebagai nabi apokaliptik (dalam Markus),

Yesus sebagai pembaharu moral Yahudi (dalam Matius dan Lukas),

dan Yesus sebagai Firman Ilahi (dalam Yohanes).

2. Mengapa Ada Lima Injil

Secara tradisional, gereja mengakui empat Injil kanonik, tetapi penelitian modern menunjukkan bahwa sejak awal Kekristenan ada beragam Injil dan tradisi lisan yang beredar.
Sumber-sumber seperti Sayings Gospel Q, Injil Petrus, Injil Mesir, dan terutama Injil Tomas, merupakan bagian dari warisan kekristenan awal sebelum kanon resmi terbentuk.

Dari semua Injil non-kanonik itu, Injil Tomas dianggap paling penting karena:

1. Berisi hanya perkataan Yesus (logia) tanpa narasi mukjizat,

2. Tidak menampilkan teologi kebangkitan atau penebusan,

3. Mengandung paralel yang sangat dekat dengan ucapan Yesus di Q dan Lukas,

4. Kemungkinan berasal dari tradisi yang sangat awal (sekitar tahun 50–60 M).

Karena alasan inilah, The Jesus Seminar memutuskan untuk menyertakan Injil Tomas sebagai “Injil kelima” yang setara nilainya untuk dianalisis secara historis.

Dengan lima Injil ini, pembaca diajak memahami bahwa gambaran tentang Yesus dalam sejarah gereja adalah hasil gabungan dari berbagai sumber dan komunitas iman.

3. Urutan dan Struktur dalam Buku

Struktur The Five Gospels mengikuti pendekatan kronologis dan tematik.
Setiap Injil disusun dalam urutan seperti berikut:

I. Injil Markus

Injil tertua dan sumber utama bagi Matius dan Lukas.

Fokus pada Yesus sebagai Mesias yang menderita.

Menggambarkan pelayanan Yesus di Galilea, perjalanan ke Yerusalem, dan penyaliban.

Berakhir secara mendadak di Markus 16:8 (wanita-wanita yang takut dan melarikan diri dari kubur).

Markus menekankan kerahasiaan mesianik dan kegagalan murid-murid memahami Yesus.

II. Injil Matius

Disusun sekitar tahun 80–90 M oleh penulis Yahudi-Kristen.

Menggunakan Markus dan Sumber Q sebagai bahan utama.

Menampilkan Yesus sebagai “Musa baru”, guru yang mengajarkan hukum rohani Kerajaan Allah.

Menyertakan khotbah besar seperti Khotbah di Bukit (pasal 5–7).

Ditulis untuk komunitas Yahudi yang sedang beralih menjadi komunitas Kristen.

III. Injil Lukas

Ditulis sekitar tahun 90 M untuk pembaca non-Yahudi (Yunani).

Menggunakan Markus dan Q sebagai dasar, ditambah sumber khas Lukas (disebut L).

Menonjolkan belas kasih Allah, peran perempuan, dan perhatian pada kaum miskin.

Memiliki volume lanjutan yaitu Kisah Para Rasul (Acts).

Lukas menggambarkan Yesus sebagai Juru Selamat universal yang membawa sukacita bagi seluruh dunia.

IV. Injil Yohanes

Ditulis sekitar tahun 100–110 M oleh komunitas teologis yang telah matang.

Berbeda dari tiga Injil sinoptik (Markus, Matius, Lukas).

Menggunakan bahasa simbolik dan metaforis: “Aku adalah roti hidup”, “Aku adalah terang dunia”.

Menggambarkan Yesus sebagai Firman (Logos) yang menjadi manusia — fokusnya lebih pada makna teologis ketimbang sejarah.

Yesus Yohanes berbicara panjang, bukan dengan perumpamaan, melainkan diskursus rohani.

V. Injil Tomas

Kumpulan 114 ucapan Yesus (tanpa narasi).

Ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, dalam bahasa Koptik pada tahun 1945.

Tidak membahas mukjizat, salib, atau kebangkitan.

Menampilkan Yesus sebagai guru hikmat yang mengungkap rahasia batin manusia.

Banyak ucapan di dalamnya paralel dengan Q dan Lukas, menunjukkan akar tradisi yang sama.

4. Cara Membaca Teks Berwarna
Setiap ucapan atau bagian dalam The Five Gospels ditandai dengan warna tinta untuk menunjukkan tingkat keotentikannya.

WarnaMaknaPenafsiran

🔴 MerahYesus hampir pasti mengatakannya.Suara Yesus historis yang paling otentik.
🌸 Merah mudaMungkin diucapkan Yesus, atau sesuai ajarannya.Tradisi yang dekat dengan Yesus.
⚫ Abu-abuDidasarkan pada gagasan komunitas, bukan Yesus langsung.Tradisi murid atau gereja awal.
⚫ HitamTidak berasal dari Yesus.Tambahan teologis atau liturgis kemudian.

Para pembaca dapat melihat langsung proses penilaian ilmiah:
kalimat Yesus yang sederhana sering berwarna merah atau pink,
sementara narasi mukjizat dan pengakuan iman biasanya berwarna abu-abu atau hitam.

Contohnya:

> 🔴 “Kasihilah musuhmu, dan doakanlah orang yang menganiayamu.” (Matius 5:44)
🌸 “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran.” (Lukas 6:21)
⚫ “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” (Yohanes 14:6)

Dengan sistem ini, pembaca dapat membedakan antara suara Yesus dan tafsir komunitas, tanpa harus kehilangan nilai rohaninya.

5. Unsur Tambahan dalam Buku

Selain teks Injil, The Five Gospels juga menyertakan beberapa elemen pendukung penting yang diterjemahkan dalam edisi ini:

1. Rosters of the Fellows of the Jesus Seminar
Daftar lengkap para anggota Jesus Seminar beserta afiliasi akademik mereka (hal. 533–537).

2. Dictionary of Terms & Sources
Kamus istilah ilmiah, teologis, dan historis yang menjelaskan konsep seperti canon, apocalypticism, docetism, Sophia, parousia, dan lainnya (hal. 542–548).

3. Index of Red & Pink Letter Sayings
Daftar ucapan Yesus yang paling otentik beserta peringkat hasil pemungutan suara ilmiah (hal. 549–551).

4. Suggestions for Further Study
Panduan bacaan lanjutan untuk mahasiswa dan peneliti, termasuk karya para sarjana seperti Marcus Borg, Crossan, dan Bultmann.

5. Appendix: Historical Maps & Timelines
(Tambahan dalam edisi terjemahan ini) – peta Palestina abad pertama, garis waktu penulisan Injil, serta bagan hubungan antar sumber (Q, M, L, Markus).

6. Ciri Unik Pendekatan The Five Gospels

Beberapa hal membedakan The Five Gospels dari terjemahan Injil tradisional:

Menggunakan bahasa Inggris kontemporer (Scholars Version) yang netral dan non-liturgis.

Menghapus istilah keagamaan yang terlalu doktrinal dan menggantinya dengan istilah historis.
Misalnya:

“Kingdom of God” diterjemahkan menjadi “God’s Imperial Rule” (Pemerintahan Allah).

“Blessed are the poor” menjadi “Congratulations, you poor!”

Menghadirkan Yesus yang berbicara sebagai manusia, bukan figur metafisis.

Menggambarkan Yesus sebagai guru kebijaksanaan yang menantang sistem sosial dan religius.

Pendekatan ini menegaskan bahwa Injil dapat dibaca bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai dokumen sejarah dan karya sastra religius yang tumbuh dalam kehidupan nyata komunitas awal Kristen.

7. Fungsi Akademik dan Spiritualitas Buku Ini

Struktur The Five Gospels memungkinkan pembaca:

mempelajari perkembangan teologi Yesus dari masa ke masa,

mengenali perbedaan antara narasi iman dan tradisi historis,

dan memetik hikmah universal dari sabda Yesus yang mengatasi sekat agama.

Dalam konteks Indonesia, buku ini dapat menjadi alat pendidikan lintas iman, yang mempertemukan mahasiswa teologi, santri, dan peneliti sejarah agama dalam satu ruang dialog ilmiah.

Sebab, seperti dikatakan Marcus Borg:

> “Kita tidak kehilangan Yesus dengan mempelajarinya secara historis — justru kita menemukan-Nya kembali sebagai guru kehidupan yang sejati.”

8. Penutup

Struktur lima Injil dalam buku ini bukanlah bentuk baru dari kanon suci,
melainkan peta ilmiah untuk memahami warisan Yesus dari berbagai jalur tradisi.

Setiap Injil berbicara dari sudut pandangnya sendiri, namun bila dibaca bersama, kelimanya menyingkap satu suara yang sama:
suara cinta kasih yang melampaui batas agama dan zaman.

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

BAB V — PERUMPAMAAN DAN AFORISME: BAHASA PUISI YESUS

1. Bahasa yang Menggugah, Bukan Memerintah

Ketika membaca sabda Yesus dalam The Five Gospels, kita segera menemukan bahwa Ia tidak berbicara seperti pengkhotbah atau penguasa agama.
Ia berbicara seperti penyair jalanan — dengan kisah-kisah sederhana, humor, kejutan, dan paradoks.

Ia tidak memberi “hukum baru,” melainkan cara baru untuk melihat hidup. Dan dalam hal itu, gaya bahasanya adalah puisi spiritual —
bukan puisi dalam bentuk sajak, tetapi puisi dalam makna terdalamnya: bahasa yang membuka hati dan menembus logika.

> “Yesus bukan menjelaskan dunia. Ia menyalakan imajinasi tentang dunia yang lain.”
— Robert W. Funk, The Five Gospels, hlm. 32.

Perumpamaan dan aforisme adalah dua alat utama pengajaran Yesus,
dan keduanya adalah bentuk ekspresi khas guru hikmat Timur:
singkat, penuh makna, terbuka untuk ditafsir ulang.

2. Perumpamaan (Parables): Cermin Kehidupan yang Dibalikkan

a. Makna Dasar Perumpamaan

Kata parabole (Yunani) berarti “menyandingkan dua hal” — yakni meletakkan realitas sehari-hari di samping realitas ilahi agar keduanya saling menjelaskan.

Perumpamaan Yesus bukan alegori yang kaku. Ia tidak “menyimbolkan” sesuatu dengan rumit, tetapi menyenggol hati dan pikiran pendengar dengan cara tak terduga.

Perumpamaan Yesus sering:

Mematahkan ekspektasi moral,

Mengguncang sistem sosial,

Menyingkap wajah Allah (Pencipta) yang penuh belas kasih,

Dan menantang pendengar untuk bertobat — dalam arti mengubah cara pandang, bukan sekadar menyesali dosa.

b. Struktur Umum Perumpamaan Yesus

Sebagian besar perumpamaan Yesus mengikuti pola sederhana:

1. Konteks umum — situasi kehidupan sehari-hari (seorang petani, ibu rumah tangga, tuan rumah, atau nelayan).

2. Keadaan yang membingungkan — sesuatu yang tidak lazim terjadi.

3. Kejutan moral — pembalikan nilai atau pesan yang menantang logika dunia.

4. Undangan untuk berpikir ulang — pendengar diminta menarik kesimpulan sendiri.

c. Contoh Perumpamaan Autentik (Merah & Merah Muda)

Menurut The Jesus Seminar, berikut beberapa perumpamaan yang sangat mungkin (🔴) atau mungkin besar (🌸) berasal langsung dari Yesus:

Judul PerumpamaanSumberWarnaPesan Utama

Orang Samaria yang Baik HatiLukas 10:30–35🔴Kasih melampaui batas suku dan agama.
Anak yang HilangLukas 15:11–32🌸Allah seperti ayah yang mengampuni tanpa syarat.
Domba yang HilangLukas 15:4–6 / Matius 18:12–13🌸Nilai seorang manusia tidak tergantikan.
Perjamuan BesarLukas 14:16–23 / Tomas 64🌸Undangan Allah terbuka bagi semua, termasuk yang hina.
Biji SesawiMarkus 4:30–32 / Tomas 20🔴Kerajaan Allah tumbuh dari yang kecil menjadi besar.
Ragi di TepungMatius 13:33 / Lukas 13:20–21
🔴Kuasa Allah bekerja diam-diam dalam kehidupan.
Pengurus LicikLukas 16:1–8🔴Hikmat duniawi bisa menjadi pelajaran rohani.
Hakim yang Tak AdilLukas 18:2–5🌸Keadilan datang bagi yang sabar dan gigih.

Perumpamaan-perumpamaan ini memperlihatkan betapa Allah (Pencipta) yang diwartakan Yesus bukan hakim yang menghukum, melainkan Bapa yang membebaskan.

d. Ciri-Ciri Khas Perumpamaan Yesus

1. Bersifat terbuka dan tanpa kesimpulan pasti
– Pendengar harus menafsirkan sendiri maknanya.
(Misalnya: Perumpamaan tentang “Pekerja di Kebun Anggur” – siapa sebenarnya yang adil?)

2. Mengandung unsur paradoks dan kejutan
– Misalnya: orang Samaria yang dianggap sesat justru menjadi contoh kasih.

3. Berpusat pada kasih dan pengampunan – Allah (Pencipta) digambarkan bukan sebagai penguasa jauh, melainkan sebagai Ayah yang penuh cinta.

4. Mengguncang norma sosial dan agama – Perumpamaan Yesus sering “membalikkan tatanan moral masyarakat Yahudi” dengan menampilkan orang berdosa, perempuan, dan orang asing sebagai model iman.

3. Aforisme (Sayings): Kebijaksanaan dalam Kalimat Pendek

Selain perumpamaan, Yesus juga dikenal melalui aforisme — ucapan singkat dan tajam yang mudah diingat. Bentuk ini mirip pepatah, tetapi sarat makna spiritual.

> “Berilah kepada yang meminta kepadamu.”
“Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan.”
“Jangan menghakimi, agar kamu tidak dihakimi.”

Aforisme Yesus bekerja seperti benih pikiran — tidak menjelaskan, tetapi tumbuh perlahan di dalam kesadaran pendengarnya.

Para sarjana Jesus Seminar menilai bentuk ini paling mudah dilacak ke Yesus historis, karena gaya ini sesuai dengan tradisi lisan masyarakat Galilea abad pertama.

a. Ciri Umum Aforisme Yesus

1. Singkat dan memikat secara retoris.
Setiap kalimat bisa diucapkan dengan satu napas — tanda bahwa ia mudah diingat dan diulang.

2. Mengandung paradoks.
Ia menyentuh kebenaran rohani melalui kontradiksi:

“Yang terakhir akan menjadi yang pertama.”

“Yang kehilangan hidupnya justru menemukannya.”

3. Berisi kebijaksanaan praktis (sapiential wisdom).
Aforisme Yesus bukan dogma, tetapi panduan hidup.
Ia mengajarkan “bagaimana menjadi manusia,” bukan sekadar “apa yang harus dipercaya.”

4. Terbuka bagi interpretasi lintas agama.
Nilainya universal — bisa diterima dalam konteks Islam, Buddha, Hindu, atau filsafat moral mana pun.

b. Contoh Aforisme yang Dinilai Otentik

AforismeSumberWarnaMakna
“Kasihilah musuhmu.”Lukas 6:27🔴Inti revolusi moral Yesus.
“Berilah kepada Kaisar yang milik Kaisar.”Markus 12:17🔴Batas antara iman dan kekuasaan.
“Yang terakhir akan menjadi yang pertama.”Markus 10:31🌸Pembalikan nilai duniawi.
“Biji sesawi adalah yang terkecil namun tumbuh besar.”Markus 4:31🔴Kuasa kecil yang menghasilkan perubahan besar.
“Yang mempunyai akan diberi, yang tidak mempunyai akan diambil darinya.”Markus 4:25🌸Hukum rohani pertumbuhan batin.
“Tidak ada nabi dihormati di kampungnya sendiri.”Markus 6:4 / Tomas 31🔴Realitas penolakan terhadap kebenaran.

4. Perbandingan: Perumpamaan vs. Aforisme

AspekPerumpamaanAforisme

BentukCerita pendek, naratifKalimat pendek, pernyataan tunggal
FungsiMenggugah melalui gambaran hidupMengguncang melalui paradoks
TujuanMenyingkap wajah AllahMengubah cara berpikir manusia
KekuatanImajinatif dan emosionalRasional dan reflektif
ContohOrang Samaria, Domba HilangKasihilah musuhmu, Yang terakhir akan menjadi pertama

Keduanya merupakan bahasa revolusi batin — cara Yesus menanamkan kebijaksanaan secara lisan agar bisa diingat, diulang, dan direnungkan oleh siapa pun.

5. Fungsi Perumpamaan dan Aforisme dalam Pendidikan Iman

Bagi para pewarta, teolog, atau pendidik lintas iman, perumpamaan dan aforisme Yesus dapat digunakan untuk:

Membangun refleksi moral melalui cerita dan dialog.

Mengajar etika universal yang menekankan kasih, kejujuran, dan kerendahan hati.

Mendorong dialog lintas iman dengan menampilkan Yesus sebagai guru kebijaksanaan universal.

Dalam dunia pendidikan modern, metode Yesus ini sangat relevan:
Ia tidak memaksa pikiran, tetapi memancing hati untuk berpikir.
Itulah sebabnya, sabda-sabda-Nya tetap hidup dua ribu tahun kemudian.
6. Kesimpulan: Bahasa Yesus Adalah Bahasa Kehidupan

Perumpamaan dan aforisme Yesus bukanlah teori teologis, melainkan bahasa pengalaman manusia.
Ia berbicara tentang:

petani dan biji,

perempuan dan ragi,

gembala dan domba,

koin yang hilang,

meja makan dan pesta besar —
semua hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Melalui hal-hal sederhana itu, Yesus mengungkap hikmah surgawi dalam kehidupan duniawi.
Ia tidak memisahkan langit dan bumi, iman dan tindakan,
melainkan menjahit keduanya menjadi satu kain utuh bernama kasih.

> “Perumpamaan Yesus adalah cermin.
Barangsiapa berani menatapnya, akan melihat dirinya dan Allah dalam satu pantulan.”
— Marcus Borg, Jesus: A New Vision

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

📗 BAB VI — YESUS DAN KERAJAAN ALLAH: REVOLUSI SPIRITUAL DAN SOSIAL

1. Tema Sentral dalam Sabda Yesus

Hampir semua ucapan Yesus yang dinilai otentik oleh The Jesus Seminar berpusat pada satu gagasan:

> Kerajaan Allah — Basileia tou Theou (Yunani), atau Malkuta d’Alaha (Aram).

Ungkapan ini bukan ciptaan gereja kemudian, melainkan inti pewartaan Yesus sendiri sejak awal pelayanan-Nya di Galilea.

> 🔴 “Kerajaan Allah sudah dekat; bertobatlah dan percayalah kepada kabar gembira.”
— Markus 1:15

Yesus tidak datang membawa agama baru, tetapi menyerukan dunia baru: sebuah tatanan kehidupan yang dibentuk bukan oleh kekuasaan, melainkan oleh kasih dan keadilan.

2. Makna Historis: “Kerajaan” sebagai Kritik Sosial

Dalam dunia Yahudi abad pertama, kata “kerajaan” (basileia) memiliki muatan politik yang sangat kuat.
Palestina hidup di bawah penjajahan Roma, dan rakyat menantikan seorang Mesias pembebas yang akan menegakkan kerajaan Allah di bumi.

Namun Yesus menolak pemahaman politik itu.  Kerajaan Allah yang Ia wartakan tidak datang dengan pedang, melainkan dengan perubahan hati.

> 🌸 “Kerajaan Allah tidak datang dengan tanda-tanda lahiriah, sebab Kerajaan Allah ada di antara kamu.”
— Lukas 17:20–21

Bagi Yesus, “kerajaan” bukan sistem pemerintahan atau wilayah,
tetapi tatanan baru relasi manusia di mana: tidak ada dominasi,
tidak ada penindasan, dan setiap orang diperlakukan sebagai anak-anak Allah (hamba yang beriman kepada Allah).

Dalam konteks sosial-politik Roma, pesan ini sangat subversif.
Ia menantang sistem kekuasaan dunia yang berdasarkan status, kekayaan, dan kekuatan.
Yesus menggantikannya dengan pemerintahan kasih dan solidaritas.

3. Makna Spiritual: Pemerintahan Allah di Dalam Diri

Bagi Yesus historis, Kerajaan Allah bukan sekadar utopia masa depan.
Ia adalah pengalaman batin yang hadir di sini dan sekarang bagi mereka yang membuka diri terhadap kasih Allah.

> 🔴 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena kamulah yang memiliki Kerajaan itu.”
— Lukas 6:20

Kemiskinan di sini bukan hanya kondisi ekonomi, tetapi sikap hati yang terbuka dan bergantung sepenuhnya pada kasih ilahi.

Yesus mengajak pendengarnya untuk merasakan kuasa Allah di dalam hati — bukan menguasai orang lain, tetapi menguasai diri sendiri dengan kasih.

Kerajaan itu bukan di langit,
tetapi dalam cara manusia hidup, makan, berbagi, dan mengampuni.

4. Unsur Revolusi Sosial dalam Pewartaan Yesus

a. Pembalikan Struktur Sosial

Dalam Kerajaan Allah versi Yesus, nilai-nilai dunia dibalikkan:

Yang miskin disebut bahagia.

Yang lemah disebut diberkati.

Yang sombong direndahkan.

Yang berdosa diampuni tanpa syarat.

> 🔴 “Yang terakhir akan menjadi yang pertama.” — Markus 10:31
Ini adalah revolusi sosial non-kekerasan, di mana kasih menggantikan hukum balas dendam dan hierarki sosial digantikan oleh kesetaraan rohani.

b. Kerajaan sebagai Komunitas Terbuka

Perjamuan besar (Lukas 14:16–24) menggambarkan Kerajaan Allah sebagai pesta tanpa syarat, di mana orang-orang miskin, cacat, dan terbuang diundang untuk duduk bersama di meja yang sama.

> 🌸 “Paksalah orang-orang itu masuk, agar rumahku penuh.”

Yesus melawan eksklusivitas agama. Ia membuka ruang bagi setiap manusia untuk mengalami kasih Allah tanpa syarat.
Inilah radikalisme kasih yang mengguncang baik kekuasaan Romawi maupun sistem keimaman Yahudi.

5. Kerajaan Allah vs. Kerajaan Roma

Dalam konteks sejarah, pewartaan Yesus secara tak langsung merupakan protes terhadap ideologi kekaisaran Roma.
Kaisar Agustus sering disebut “Putra Allah,” dan Pax Romana dianggap sebagai “kerajaan damai dunia.”

Namun Yesus mengumumkan kerajaan lain — sebuah anti-imperium spiritual, di mana damai dan keadilan lahir bukan dari kekuatan militer, melainkan dari kerendahan hati dan pelayanan.

> 🔴 “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” — Markus 10:43

Bagi dunia yang diperintah oleh kekerasan, Yesus menawarkan visi pemerintahan tanpa kekuasaan,
kuasa yang lahir dari kasih dan pengampunan.

6. Dimensi Etis: Hidup sebagai Warga Kerajaan Allah

Masuk ke dalam Kerajaan Allah berarti mengubah orientasi hidup.
Tidak ada ritual baru yang diperintahkan Yesus,
tetapi ada cara hidup baru:

1. Kasih sebagai hukum utama.

> “Segala hukum dan nabi tergantung pada dua ini: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.” — Matius 22:40
2. Mengampuni tanpa batas.

> “Ampunilah tujuh puluh kali tujuh kali.” — Matius 18:22

3. Berbagi dengan yang miskin.

> “Jika engkau mempunyai dua pakaian, berilah salah satu kepada yang tidak punya.” — Lukas 3:11

4. Tidak menghakimi.

> “Jangan menghakimi, agar kamu tidak dihakimi.” — Lukas 6:37

5. Membalas kejahatan dengan kebaikan.

> “Jika seseorang menampar pipimu yang kanan, berikan juga yang kiri.” — Matius 5:39

Nilai-nilai ini bukan aturan moral, melainkan jalan menuju kebebasan batin. Yesus mengajarkan bahwa Kerajaan Allah hadir ketika manusia hidup dengan kasih tanpa syarat.

7. Tafsir Historis dan Teologis Modern

Para sarjana The Jesus Seminar dan teolog modern seperti Marcus Borg, John Dominic Crossan, dan Walter Wink menafsirkan Kerajaan Allah bukan sebagai akhir dunia,
melainkan sebagai metafora revolusi non-kekerasan.

Crossan menyebutnya “proyek sosial Allah” (God’s Great Clean-up): pembalikan tatanan yang menindas.

Borg menyebutnya “visi dunia alternatif”: realitas sosial baru yang muncul melalui kasih.

Wink melihatnya sebagai “metafora kekuasaan Allah yang mengalahkan sistem dominasi.”

Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah proyek historis dan spiritual sekaligus: ia menuntut transformasi hati sekaligus perubahan struktur sosial.

8. Perbandingan Lintas Iman: “Kerajaan Allah” dan “Khilafah Allah”

Dalam tradisi Islam, terdapat konsep yang sepadan, yakni “Khilafah” (perwakilan manusia atas bumi). Seperti Kerajaan Allah, khilafah bukan semata kekuasaan politik, melainkan tanggung jawab moral manusia sebagai wakil Tuhan.

Yesus menyerukan Kerajaan Allah bukan untuk menaklukkan dunia,
tetapi untuk menundukkan hati manusia di hadapan kasih Tuhan.
Demikian pula Islam menegaskan:

> “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” (QS. Al-Baqarah 2:30)

Kedua tradisi itu beririsan dalam visi yang sama: bahwa pemerintahan sejati bukan milik manusia,
melainkan milik Tuhan yang dihayati dalam keadilan dan kasih.

9. Kesimpulan: Kerajaan Allah Adalah Kehadiran Kasih

Yesus tidak mendirikan kerajaan dengan pasukan, tetapi menanamkan benih kerajaan itu di hati manusia. Kerajaan Allah tidak menunggu masa depan, karena ia sudah mulai setiap kali seseorang mengasihi tanpa pamrih, mengampuni tanpa syarat,
dan berbagi tanpa mengharap balasan.

> 🔴 “Kerajaan Allah itu seperti ragi yang diadukkan ke dalam tepung sampai semuanya mengembang.” — Lukas 13:21

Kerajaan Allah bukan tempat, melainkan kesadaran baru.
Ia adalah dunia yang dilihat melalui mata kasih.

> “Kerajaan Allah adalah keinginan Allah tentang dunia yang diperbarui oleh kasih manusia.”
— Marcus Borg, Jesus: A New Vision

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

BAB VII. YESUS DAN KASIH TANPA BATAS

Kita sekarang tiba di Bab VII – Yesus dan Kasih Tanpa Batas,
bagian yang paling lembut, paling dalam, dan mungkin paling universal dari seluruh pesan The Five Gospels.

Bab ini akan menyoroti kasih (agápē) sebagai pusat spiritualitas Yesus historis —
bukan hanya sebagai ajaran moral, melainkan sebagai cara hidup dan kesadaran batin yang melampaui batas agama, suku, dan zaman.

1. Kasih sebagai Inti Seluruh Ajaran Yesus

Jika The Five Gospels hendak disimpulkan dalam satu kata, kata itu adalah kasih.
Seluruh ajaran Yesus — tentang Kerajaan Allah, pengampunan, dan keadilan — berpangkal pada satu prinsip:

> “Kasihilah Tuhan Allahmu… dan kasihilah sesamamu manusia.”
— Matius 22:37–39

Inilah hukum yang melampaui segala hukum.
Kasih bukan sekadar perasaan lembut, tetapi gaya hidup yang menolak kebencian dan dominasi.
Dalam bahasa Yunani, kasih yang Yesus maksud disebut agápē —
bukan eros (cinta romantis) atau philia (persahabatan),
melainkan kasih yang memberi tanpa mengharap balasan.

> 🔴 “Kasihilah musuhmu, dan berbuatlah baik kepada mereka yang membencimu.”
— Lukas 6:27

Bagi The Jesus Seminar, sabda ini merupakan ucapan Yesus yang paling autentik,
karena memiliki ciri khas: radikal, paradoksal, dan bertentangan dengan hukum dunia.

2. Kasih yang Melampaui Batas Identitas

Kasih Yesus tidak mengenal “kita” dan “mereka.”
Ia menyentuh semua orang — orang Yahudi dan bukan Yahudi, laki-laki dan perempuan, orang suci dan berdosa.

Yesus makan bersama pemungut cukai, berbicara dengan perempuan Samaria, menyentuh orang kusta, dan memuji iman seorang perwira Romawi.
Bagi dunia Yahudi abad pertama, tindakan-tindakan ini adalah pelanggaran sosial dan religius.

Namun bagi Yesus, itulah wajah nyata Kerajaan Allah:
sebuah komunitas tanpa tembok, tanpa hierarki, dan tanpa prasangka.

> 🌸 “Kasih tidak mengenal batas; bahkan musuh pun adalah sesama.”

3. Kasih sebagai Revolusi Spiritual

Yesus menempatkan kasih bukan di pinggiran, tetapi di pusat kehidupan beragama. Ia menggantikan hukum balas dendam (mata ganti mata) dengan jalan kasih yang memutus rantai kekerasan.

> 🔴 “Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan.”
— Matius 5:39

Kasih, dalam pengajaran Yesus, adalah tindakan aktif, bukan sekadar emosi.
Ia menuntut keberanian, pengorbanan, dan kerendahan hati.
Kasih adalah revolusi batin — cara Yesus mengubah dunia tanpa kekerasan.
John Dominic Crossan menyebutnya:

> “Program Yesus adalah proyek sosial tanpa kekuasaan,
di mana cinta menjadi senjata yang tidak bisa dikalahkan oleh kekerasan.”

4. Kasih dan Pengampunan: Dua Sisi dari Rahmat

Dalam pandangan Yesus, kasih sejati tidak bisa dipisahkan dari pengampunan.
Mengampuni berarti menolak logika dunia yang menuntut balasan setimpal.
Pengampunan bukan kelemahan, melainkan tindakan paling kuat dari kasih.

> 🔴 “Ampunilah, maka kamu akan diampuni.”
— Lukas 6:37

> 🌸 “Jangan menghakimi, agar kamu tidak dihakimi.”
— Q-source, Matius 7:1 / Lukas 6:37

Yesus mengajarkan bahwa pengampunan adalah cara manusia meniru hati Allah.
Sebagaimana Allah menurunkan hujan kepada orang baik dan jahat,
manusia juga dipanggil untuk mengasihi tanpa membeda-bedakan.

> 🔴 “Kasihilah musuhmu, agar kamu menjadi anak-anak Allah.”
— Lukas 6:35

5. Kasih Sebagai Jalan Menuju Kebebasan

Kasih yang Yesus ajarkan membebaskan manusia dari dua belenggu terbesar:

belenggu ketakutan, dan

belenggu kebencian.

Orang yang mengasihi tidak lagi dikuasai rasa takut atau dendam,
karena ia hidup dalam keutuhan batin.

Yesus berkata:

> “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” — Markus 10:43

Dengan kata lain, kasih bukan sekadar hukum moral,
tetapi cara baru untuk memahami kekuasaan —
kuasa yang dinyatakan dalam pelayanan.

Marcus Borg menulis:

> “Yesus tidak hanya mengajarkan kasih, Ia menghidupinya sebagai pola eksistensi.”

6. Kasih sebagai Pengalaman Ilahi

Yesus berbicara tentang kasih bukan sebagai perintah etis,
melainkan sebagai pengalaman akan kehadiran Allah.
Ia menyebut Allah sebagai “Abba” — kata Aram yang penuh keakraban, berarti “Bapa” atau “Ayah tercinta.”

Dalam hubungan itu, Yesus mengajarkan bahwa kasih kepada sesama adalah pantulan kasih Allah.
Kasih tidak hanya dari manusia kepada manusia, tetapi dari Allah yang mengasihi melalui manusia.

> 🔴 “Bapa yang di surga membuat matahari terbit bagi orang jahat dan orang baik.” — Matius 5:45

Kasih yang sejati adalah refleksi dari kasih Ilahi —
ketika manusia menjadi cermin bagi cinta Allah yang tak terbatas.

7. Kasih dan Spiritualitas Lintas Iman
Dalam Islam, konsep kasih ini menemukan padanannya dalam istilah rahmah (kasih sayang) —
sifat utama Allah sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Yesus dan Al-Qur’an berbagi pandangan yang serupa:
bahwa kasih dan pengampunan adalah ciri utama Tuhan dan panggilan bagi manusia.

> “Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (rahmah).”
— QS. Al-An‘am 6:54

Sama seperti Yesus mengajarkan agar mengasihi musuh,
Al-Qur’an juga menyeru:

> “Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik,
maka orang yang bermusuhan denganmu akan menjadi seperti sahabat karib.”
— QS. Fussilat 41:34

Dengan demikian, kasih yang diajarkan Yesus bukan monopoli iman tertentu,
melainkan kebenaran universal yang menyatukan semua manusia yang mencari Tuhan.

8. Kasih sebagai Tanda Kerajaan Allah
Yesus tidak pernah memisahkan kasih dari visi Kerajaan Allah.
Kerajaan itu hadir setiap kali kasih diwujudkan di tengah dunia.

> 🌸 “Kerajaan Allah itu seperti ragi yang mengembang di dalam adonan.” — Lukas 13:20–21

Setiap tindakan kasih, sekecil apa pun,
adalah benih kerajaan itu yang sedang bertumbuh.
Setiap kali seseorang mengampuni, menolong, atau berbagi tanpa pamrih,
Kerajaan Allah menjadi nyata di bumi.
Kasih bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju kehadiran Allah di dunia ini.

9. Kasih dan Salib: Simbol Kasih yang Tak Dapat Dikalahkan

Dalam pandangan historis, penyaliban Yesus adalah konsekuensi logis dari ajarannya.
Ia menentang sistem kekuasaan dan kekerasan dengan kasih,
dan sistem itu membalasnya dengan kematian.

Namun bahkan di kayu salib, Yesus tetap menghidupi kasih tanpa batas:

> “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” — Lukas 23:34

Inilah puncak dari seluruh pesan Yesus historis —
kasih yang tidak berhenti bahkan di hadapan penderitaan.
Kasih yang menaklukkan kebencian bukan dengan senjata,
melainkan dengan pengampunan yang lembut dan teguh.

10. Kesimpulan: Kasih sebagai Wajah Allah

Kasih dalam ajaran Yesus bukan sekadar ajaran moral,
melainkan wajah Allah sendiri yang hadir di dunia.
Dalam kasih, manusia mengenal kebenaran, kedamaian, dan kebebasan sejati.

Yesus menunjukkan bahwa Allah bukan kekuatan yang menakutkan,
melainkan hati yang mencintai tanpa syarat.

> “Allah adalah kasih.” — 1 Yohanes 4:8
(dan Yesuslah cermin yang memantulkan kasih itu ke dunia.)

Kasih tanpa batas adalah inti Kerajaan Allah,
inti kemanusiaan, dan inti dari segala pencarian spiritual sejati.

> “Kasih adalah hukum tertinggi alam semesta.
Di mana kasih dijalankan, di situ Allah bersemayam.”
— Marcus Borg, Meeting Jesus Again for the First Time

Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

 BAB VIII — YESUS DAN PARA MURID: KOMUNITAS KASIH DAN PEMBELAJARAN

1. Yesus sebagai Guru (Didaskalos), Bukan Raja

Yesus dari Nazaret dikenal bukan sebagai imam, ahli hukum, atau pejabat negara, melainkan sebagai guru keliling (didaskalos) yang berjalan dari desa ke desa di Galilea,
mengajar dengan perumpamaan, berbicara di rumah-rumah, di tepi danau, bahkan di jalanan.
Ia tidak membangun institusi atau kuil, tetapi membangun komunitas belajar dan hidup — sebuah lingkaran kecil orang-orang yang Ia ajak untuk memahami kasih Allah melalui pengalaman nyata.

> 🌸 “Marilah, ikutlah Aku, dan Aku akan menjadikan kamu penjala manusia.”
— Markus 1:17

Ungkapan ini bukan panggilan untuk bergabung dalam organisasi,
melainkan undangan untuk bertransformasi — meninggalkan pola hidup lama dan belajar melihat dunia dengan mata kasih.

2. Murid-Murid Sebagai Komunitas, Bukan Sekte

Yesus memanggil dua belas orang murid, simbol dari dua belas suku Israel — tanda bahwa Ia ingin membangun kembali umat Allah
bukan dengan kekerasan, melainkan dengan cinta dan pengajaran.

Namun, komunitas Yesus tidak bersifat eksklusif. Ia juga memiliki pengikut perempuan, seperti Maria Magdalena, Yohana, dan Susana (Lukas 8:1–3).
Dalam dunia patriarkal abad pertama, kehadiran mereka adalah revolusi sosial yang tenang.

> 🌸 “Setiap orang yang melakukan kehendak Bapa-Ku, dialah saudara-Ku, saudari-Ku, dan ibu-Ku.” — Markus 3:35

Bagi Yesus, keluarga sejati bukan didasarkan pada darah atau suku,
melainkan pada kasih dan komitmen spiritual.

3. Komunitas sebagai Sekolah Kehidupan

Para murid Yesus tidak hanya belajar dengan telinga, tetapi dengan hidup bersama-Nya.
Mereka menyaksikan bagaimana Ia menyembuhkan, memaafkan, tertawa, menangis, dan berdoa dengan kedekatan yang tulus kepada Allah (“Abba”).

Yesus tidak menuntut kesempurnaan dari murid-muridnya — Ia menuntut kesediaan untuk belajar dan berubah. Ia membentuk mereka bukan dengan doktrin, tetapi melalui pengalaman langsung kasih dan pengampunan.

> 🔴 “Belajarlah dari-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati.”
— Matius 11:29

Itulah model pendidikan rohani: belajar bukan untuk tahu, tetapi untuk menjadi — menjadi seperti Sang Guru yang hidup dalam kasih.

4. Relasi Yesus dan Murid: Antara Persahabatan dan Pembentukan

Dalam Injil-injil, Yesus tidak memperlakukan murid-murid-Nya sebagai bawahan, tetapi sebagai teman-teman.

> 🌸 “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba… Aku menyebut kamu sahabat.”
— Yohanes 15:15

Sebagai sahabat, Ia membagikan rahasia Kerajaan Allah,
menanggung kekecewaan mereka, dan bahkan mengampuni pengkhianatan mereka.

Ketika Petrus menyangkal-Nya, Yesus tidak menghukum,
melainkan memulihkannya dengan kasih:

> “Apakah engkau mengasihi Aku?” — Yohanes 21:15

Bagi The Five Gospels, inilah bukti kuat bahwa Yesus membangun komunitas kasih, bukan komunitas kekuasaan. Ia menolak hirarki dan mengajarkan kepemimpinan yang melayani.

5. Komunitas Yesus: Tanpa Pusat Kekuasaan

Yesus tidak pernah mengangkat pemimpin tunggal.
Ia mengajarkan bahwa semua murid memiliki peran dan tanggung jawab yang setara di hadapan Allah.

> 🔴 “Kamu semua adalah saudara.
Barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”
— Matius 23:8, 11

Model ini disebut oleh Robert Funk sebagai “komunitas egaliter”,
di mana otoritas lahir bukan dari jabatan, tetapi dari keteladanan kasih dan kerendahan hati.

Dalam konteks ini, Yesus menciptakan struktur sosial baru yang melampaui sistem patriarki dan status.
Di tengah dunia yang diatur oleh kekuasaan, Ia membangun jaringan kasih dan pelayanan.

6. Kegagalan dan Pertumbuhan Para Murid
Para murid sering gagal memahami ajaran Yesus.
Mereka berebut siapa yang terbesar (Markus 9:33–35), takut ketika badai datang, dan lari saat Yesus ditangkap.

Namun kegagalan itu justru menjadi bagian dari proses belajar.
Yesus tidak mencela mereka,
melainkan tetap mempercayakan masa depan pesan-Nya kepada mereka yang lemah dan rapuh.

> 🌸 “Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” — Lukas 12:12

Inilah model pendidikan sejati:
bukan menjadikan murid sempurna, tetapi menumbuhkan keberanian dan kesadaran rohani.

7. Spiritualitas Komunitas: Cinta, Doa, dan Meja Makan

Komunitas Yesus dikenal karena keakraban dan kebersahajaan.
Mereka sering berkumpul untuk makan bersama, berdoa, dan berbagi. Makan bersama menjadi simbol kasih dan kesetaraan.

Dalam dunia Yahudi, meja makan adalah batas antara suci dan najis.
Namun Yesus menghapus batas itu:

> 🌸 “Manusia bukan dinajiskan oleh apa yang masuk ke dalam mulutnya, melainkan oleh apa yang keluar dari hatinya.” — Markus 7:15

Dengan duduk satu meja bersama pemungut cukai dan pelacur,
Yesus mengubah makan menjadi liturgi kasih, dan komunitas menjadi ruang inklusi, bukan eksklusi.

8. Murid-Murid Sebagai Penerus Misi Kasih

Setelah wafatnya Yesus, para murid menjadi pembawa pesan kasih itu ke seluruh dunia.
Mereka tidak mewarisi kekuasaan, melainkan tanggung jawab untuk meneruskan kasih.

> 🌸 “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” — Matius 28:19

Namun misi itu bukan penyebaran doktrin, melainkan pembentukan komunitas kasih di mana pun mereka berada.
Yesus tidak mendirikan agama, Ia memulai gerakan kemanusiaan spiritual.

9. Relevansi Bagi Seminari dan Madrasah

Model komunitas Yesus sangat relevan bagi pendidikan rohani masa kini:

1. Guru sebagai sahabat rohani, bukan otoritas yang menindas.

2. Murid sebagai peserta aktif, bukan penerima pasif.

3. Belajar melalui hidup bersama dan pelayanan.

4. Kepemimpinan yang melayani, bukan memerintah.

5. Kasih sebagai pusat pembentukan karakter.

Dengan model ini, lembaga pendidikan iman — seminari maupun madrasah — bisa menumbuhkan generasi pewarta dan ulama yang berilmu, berhati lembut, dan berpihak pada manusia.

10. Kesimpulan: Komunitas Kasih sebagai Wajah Allah di Dunia.

Yesus membangun komunitas yang sederhana namun revolusioner:
tanpa kuil, tanpa takhta, tanpa kekuasaan, tetapi dengan satu kekuatan: kasih yang menyatukan manusia dan Allah.

> 🔴 “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku,
di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” — Matius 18:20

Komunitas ini adalah benih Kerajaan Allah di dunia — sebuah masyarakat kecil yang menunjukkan bagaimana dunia bisa hidup dalam damai,
tanpa kekerasan, tanpa kesombongan, dan tanpa diskriminasi.

Seperti kata Marcus Borg:

> “Yesus memimpikan dunia di mana manusia saling memperlakukan satu sama lain
seperti Allah memperlakukan mereka — dengan kasih.”

Itulah komunitas kasih dan pembelajaran yang diwariskan Yesus kepada dunia:
sekolah tanpa dinding, gereja tanpa altar, tempat setiap manusia belajar mencintai dalam kehadiran Allah.

✍️
Tgk. Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor
Pulau Sumatra, 2025

BAB IX — YESUS DAN PEREMPUAN: MARTABAT, KESETARAAN, DAN KASIH DALAM GERAKAN YESUS

1. Dunia yang Dikuasai Laki-Laki

Palestina abad pertama adalah masyarakat patriarkal yang ketat.
Perempuan hidup di bawah otoritas laki-laki: ayah, suami, atau anak laki-laki tertua.
Mereka tidak memiliki hak waris yang penuh, tidak boleh belajar Kitab Taurat secara formal,
dan sering dipandang “tidak suci” dalam konteks hukum ritual.

Dalam dunia semacam ini, seorang guru laki-laki biasanya tidak berbicara langsung dengan perempuan di tempat umum,
apalagi menjadikan mereka bagian dari kelompok pengikutnya.

Namun, Yesus melanggar semua batas sosial itu —
dan di sinilah letak revolusi kasih yang Ia nyatakan.

2. Yesus dan Perempuan: Revolusi dalam Kesetaraan

Menurut The Five Gospels, salah satu ciri paling menonjol dari Yesus historis adalah sikap-Nya yang radikal terhadap perempuan.
Ia berinteraksi, menghargai, mengajar, dan melibatkan perempuan secara terbuka dalam pelayanan-Nya.

Beberapa contoh penting yang dinilai otentik atau sangat historis oleh The Jesus Seminar:

1. Perempuan Samaria di Sumur (Yohanes 4:7–26)

> 🌸 Yesus berbicara panjang lebar dengan seorang perempuan asing di tempat umum — tindakan yang melanggar norma sosial Yahudi.
Ia menegaskan bahwa penyembahan sejati bukan pada tempat, melainkan dalam roh dan kebenaran.

2. Maria dari Betania (Lukas 10:38–42)

> 🔴 Maria duduk di kaki Yesus untuk mendengarkan ajarannya — posisi seorang murid laki-laki di hadapan guru.
Yesus berkata, “Maria telah memilih bagian yang terbaik.”
Di sini Yesus menolak sistem yang melarang perempuan belajar teologi.

3. Perempuan yang Mengurapi Yesus (Markus 14:3–9)

> 🌸 Seorang perempuan memecahkan botol minyak dan mengurapi kepala Yesus — simbol kehormatan dan cinta.
Ketika murid-murid menegur, Yesus berkata:
“Biarkan dia! Ia telah melakukan hal yang indah bagi-Ku.”
Yesus menegaskan nilai kasih dan kelembutan melebihi aturan sosial atau ekonomi.

4. Perempuan Berdarah 12 Tahun (Markus 5:25–34)

> 🌸 Ia menyentuh jubah Yesus, dan bukannya ditegur, Yesus memanggilnya “putri-Ku.”
Dalam dunia Yahudi, perempuan dengan penyakit seperti itu dianggap najis.
Yesus mengembalikan martabat tubuh dan jiwanya.

3. Perempuan sebagai Pengikut dan Penopang Gerakan

Injil Lukas dengan jelas menyebut bahwa banyak perempuan mengikuti Yesus dan mendukung pelayanan-Nya secara materiil.

> 🌸 “Beberapa perempuan yang telah disembuhkan dari roh jahat dan penyakit,
Maria yang disebut Magdalena, Yohana istri Khuza, Susana, dan banyak lainnya.
Mereka melayani Yesus dengan harta milik mereka.” — Lukas 8:2–3

Dalam tradisi Yahudi, guru rohani biasanya dibiayai oleh murid laki-laki.
Namun Yesus justru memungkinkan perempuan menjadi mitra dan penopang pelayanan-Nya.
Tindakan ini revolusioner, karena mengangkat perempuan dari peran domestik menuju peran publik dan spiritual.

4. Maria Magdalena: Rasul di Antara Para Rasul

Dari semua perempuan dalam gerakan Yesus, Maria Magdalena adalah yang paling menonjol.
Ia disebut dalam keempat Injil, dan dalam Injil Tomas serta Injil Maria (naskah non-kanonik)
dinyatakan sebagai murid terdekat Yesus — seseorang yang memahami ajaran-Nya secara mendalam.

Dalam kisah kebangkitan, Maria adalah orang pertama yang menyaksikan Yesus hidup (Markus 16:9; Yohanes 20:14–18).
Yesus memanggil namanya dengan lembut:

> “Maria!”
Dan ia menjawab, “Rabboni!” (Guru).

Momen ini memiliki makna spiritual yang dalam:
kasih mengenali kasih.
Yesus mempercayakan pewartaan kebangkitan pertama kepada seorang perempuan —
sebuah tindakan yang melampaui norma budaya Yahudi,
karena kesaksian perempuan tidak dianggap sah di pengadilan waktu itu.

Itulah sebabnya, para teolog awal menyebut Maria Magdalena sebagai

> “Apostola Apostolorum” – Rasul bagi para Rasul.

5. Kasih yang Menghapus Hierarki

Yesus tidak berbicara tentang kesetaraan dalam teori,
tetapi menghidupinya dalam tindakan.
Ia menyentuh, berbicara, dan menghormati perempuan sebagaimana laki-laki —
karena bagi-Nya, semua manusia setara di hadapan kasih Allah.

> 🔴 “Dalam Kerajaan Allah, yang terakhir akan menjadi yang pertama.”
— Markus 10:31

Kasih yang diajarkan Yesus tidak mengenal hierarki gender atau status sosial.
Ia tidak mengangkat laki-laki di atas perempuan,
melainkan mengundang semua menjadi anak-anak Allah yang hidup dalam kasih dan kebebasan batin.

6. Tafsir The Five Gospels: Kesetaraan Sebagai Jejak Yesus Historis

Menurut para sarjana The Jesus Seminar,
inilah salah satu bukti kuat Yesus sebagai guru sosial progresif:

Ia menolak diskriminasi gender.

Ia mengakui martabat spiritual perempuan.

Ia menantang kemurnian ritual yang menindas tubuh perempuan.

Ia memulihkan identitas perempuan sebagai citra Allah yang utuh.

John Dominic Crossan menulis:

> “Gerakan Yesus adalah revolusi egaliter —
ia menghapus garis pemisah antara suci dan najis, antara laki-laki dan perempuan,
antara orang kaya dan miskin.”

7. Spiritualitas Feminin dalam Ajaran Yesus

Beberapa perumpamaan Yesus juga menampilkan simbol-simbol feminin untuk menggambarkan Allah dan Kerajaan-Nya:

Perempuan yang mencari dirham yang hilang (Lukas 15:8–10)
– menggambarkan Allah yang sabar mencari manusia yang hilang.

Ragi di tepung (Lukas 13:20–21)
– gambaran lembut dari transformasi yang tersembunyi namun berdaya.

Dalam kedua perumpamaan ini, Yesus menggunakan citra perempuan untuk menggambarkan aktivitas Ilahi.
Ia menegaskan bahwa citra Allah tidak hanya maskulin, tetapi juga feminin.
Kasih Allah mencakup kelembutan ibu dan keteguhan ayah.

8. Perspektif Lintas Iman: Kasih dan Martabat Perempuan

Dalam tradisi Islam, penghargaan terhadap perempuan juga berakar pada kasih dan keadilan Ilahi.
Al-Qur’an menegaskan:

> “Dan Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu,
baik laki-laki maupun perempuan; kamu adalah sama satu dengan yang lain.”
— QS. Ali Imran 3:195

Pesan ini sejalan dengan semangat Yesus:
bahwa kasih Allah melampaui jenis kelamin, status, atau batas sosial.
Dalam kedua tradisi besar ini, perempuan bukan objek belas kasihan,
melainkan subjek kasih dan pembawa rahmat.

9. Relevansi bagi Dunia Modern

Dalam konteks pendidikan dan pewartaan masa kini,
sikap Yesus terhadap perempuan menjadi fondasi teologi kesetaraan dan pembebasan.

Di seminari, hal ini menegaskan bahwa kepemimpinan rohani tidak bergantung pada gender,
melainkan pada kasih dan panggilan ilahi.

Di madrasah dan pendidikan Islam, hal ini membuka ruang refleksi bahwa spiritualitas sejati
tidak terikat pada laki-laki atau perempuan,
melainkan pada iman dan akhlak.

Kasih Yesus mengajarkan bahwa martabat tidak diberikan oleh masyarakat,
tetapi berasal dari Allah yang menciptakan manusia setara.

10. Kesimpulan: Kasih yang Mengangkat dan Membebaskan

Yesus memandang perempuan bukan sebagai bayangan laki-laki,
melainkan sebagai gambar Allah yang sempurna.
Ia membangun komunitas di mana kasih menggantikan dominasi,
dan persaudaraan menggantikan hierarki.
Gerakan Yesus adalah gerakan kasih yang membebaskan,
di mana setiap manusia — laki-laki atau perempuan —
diundang untuk menjadi saksi kasih yang tak terbatas.

> 🔴 “Dalam Kerajaan Allah, tidak ada laki-laki atau perempuan,
sebab kamu semua adalah satu dalam kasih.”
(Parafrase dari Galatia 3:28, sesuai semangat ajaran Yesus historis)

> “Kasih Yesus adalah tangan yang mengangkat yang tertindas,
dan mata yang melihat keindahan Allah dalam diri setiap manusia.”
— Marcus Borg, Meeting Jesus Again for the First Time

Tgk. Muhammad Qosim

Jika bab-bab sebelumnya menyoroti kasih, pengampunan, dan komunitas kasih, maka bab ini menggambarkan wajah profetik Yesus — seorang guru yang berani menantang struktur kekuasaan, tetapi tanpa kekerasan.
Bab ini menunjukkan bahwa kasih Yesus bukan kasih pasif, melainkan cinta yang berani melawan ketidakadilan dengan kelembutan dan keberanian moral.

BAB X — YESUS DAN PARA PENINDAS: KEKUASAAN, KEKERASAN, DAN JALAN TANPA BALAS

1. Dunia yang Diperintah oleh Kekerasan

Palestina abad pertama hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan Romawi,
kekaisaran yang mengandalkan pajak, pasukan, dan penyaliban untuk menjaga “ketertiban.”
Di dalamnya, elite agama Yahudi — imam-imam Bait Allah dan kaum Saduki — bersekutu dengan penjajah untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Rakyat kecil menanggung beban tiga lapis penindasan:

1. Penindasan ekonomi – pajak berat dan perampasan tanah,

2. Penindasan politik – ketiadaan kebebasan,

3. Penindasan agama – aturan kemurnian yang menindas kaum miskin dan perempuan.

Di tengah sistem kekerasan inilah Yesus tampil — bukan dengan senjata,
tetapi dengan kata, kasih, dan keberanian moral.

2. Yesus Sebagai Nabi Pembongkar Kekuasaan

Yesus berdiri dalam tradisi panjang para nabi Israel: Amos, Yesaya, Yeremia —
mereka menegur penguasa yang menindas dan agama yang melupakan keadilan.

Namun Yesus melangkah lebih jauh.
Ia tidak hanya mengkritik; Ia membalikkan tatanan nilai kekuasaan dunia.

> 🔴 “Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi pelayanmu.”
— Markus 10:43

Dalam satu kalimat sederhana, Yesus meruntuhkan logika hirarki yang telah berakar dalam budaya manusia.
Bagi Yesus, kekuasaan sejati bukanlah kemampuan memerintah,
tetapi kemampuan melayani dengan kasih.

3. Kritik Yesus terhadap Kekuasaan Agama

Para sarjana The Jesus Seminar melihat bahwa sebagian besar konflik Yesus bukan dengan bangsa Romawi,
melainkan dengan pemimpin agama zamannya — para ahli Taurat, imam, dan Farisi.

Namun kritik Yesus bukan serangan terhadap iman Yahudi,
melainkan terhadap agama yang kehilangan kasih dan menjadi alat penindasan.

> 🔴 “Celakalah kamu, ahli Taurat dan Farisi munafik!
Kamu menyaring nyamuk tetapi menelan unta.”
— Matius 23:24

Ungkapan ini adalah sindiran moral yang tajam:
Yesus menegur mereka yang terlalu fokus pada aturan kecil, tetapi menutup mata terhadap ketidakadilan besar.

Ia menolak sistem keagamaan yang menciptakan pemisahan antara “suci” dan “najis”,
karena bagi-Nya, kesucian sejati lahir dari kasih, bukan ritual.

> 🌸 “Yang keluar dari hati itulah yang menajiskan manusia.”
— Markus 7:15

Dengan kata lain, Yesus menggantikan agama yang berbasis ketakutan dengan agama yang berbasis kasih.

4. Yesus dan Kekuasaan Politik

Walaupun Yesus hidup di bawah pemerintahan Romawi,
Ia tidak pernah memimpin pemberontakan bersenjata seperti kaum Zelot.
Namun, pesan-Nya sangat politis dalam makna moral dan sosial.

> 🔴 “Berilah kepada Kaisar yang milik Kaisar, dan kepada Allah yang milik Allah.”
— Markus 12:17

Kalimat ini bukan sekadar kompromi,
tetapi deklarasi kebebasan batin.
Yesus menolak tunduk pada absolutisme negara —
Kaisar boleh memiliki uang dan sistem,
tetapi hati manusia hanya milik Allah.

Ini adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap totalitarianisme,
cara halus untuk menegaskan bahwa iman tidak bisa dimiliki oleh kekuasaan dunia.

5. Jalan Tanpa Kekerasan: Etika Anti-Balas Dendam

Ketika menghadapi kekerasan, Yesus tidak melawan dengan kekerasan.
Ia memperkenalkan etika baru yang melampaui hukum pembalasan (lex talionis).

> 🔴 “Jangan membalas orang yang berbuat jahat kepadamu.
Jika seseorang menampar pipimu yang kanan, berikan juga yang kiri.”
— Matius 5:39

Ini bukan seruan pasifisme, tetapi strategi pembalikan kekuasaan moral.
Dengan memberi pipi kiri, seseorang menolak tunduk, namun tanpa melukai.
Ia mengubah dinamika kekerasan menjadi kesempatan untuk menunjukkan kemanusiaan dan keberanian spiritual.

Martin Luther King Jr. kemudian menafsirkan ajaran ini sebagai dasar teologi non-kekerasan:

> “Yesus tidak mengajarkan kelemahan, Ia mengajarkan kekuatan kasih yang tidak membalas kejahatan.”

6. Kasih Sebagai Perlawanan

Dalam dunia yang dibangun atas kekuasaan dan ketakutan,
kasih adalah bentuk perlawanan tertinggi.

Yesus tahu bahwa kebencian hanya melahirkan kebencian baru,
dan kekerasan hanya memperpanjang lingkaran penderitaan.

> 🌸 “Kasihilah musuhmu, dan doakanlah mereka yang menganiayamu.”
— Matius 5:44

Ucapan ini bukan utopia moral,
tetapi strategi nyata untuk memutus rantai kebencian sosial.
Kasih mengubah musuh menjadi manusia, dan korban menjadi pembawa damai.

Para sarjana The Jesus Seminar menilai sabda ini sebagai puncak spiritualitas Yesus historis —
ajaran yang lahir dari penderitaan, bukan kekuasaan.

7. Penyaliban: Kekerasan yang Diubah Menjadi Kasih

Penyaliban adalah simbol tertinggi kekerasan kekaisaran Roma.
Namun Yesus mengubah salib menjadi simbol kasih dan pengampunan.

> 🔴 “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
— Lukas 23:34

Kata-kata ini bukan sekadar doa pribadi,
melainkan manifesto etika universal:
bahwa pengampunan adalah satu-satunya kekuatan yang lebih besar daripada kekerasan.

Bagi The Five Gospels, inilah bukti historis bahwa Yesus benar-benar hidup dan mati dengan ajarannya sendiri —
Ia tidak hanya berkata tentang kasih,
Ia menjadi kasih itu sendiri.

8. Tafsir Historis: Gerakan Tanpa Kekerasan Yesus

Robert Funk dan John Dominic Crossan menggambarkan gerakan Yesus sebagai revolusi non-kekerasan yang egaliter.
Yesus membentuk komunitas alternatif yang hidup tanpa hierarki,
tanpa sistem pengorbanan, tanpa dendam, dan tanpa kekuasaan koersif.

Crossan menyebutnya “an open commensality movement” —
gerakan meja makan terbuka di mana semua orang diterima.
Melalui simbol makan bersama, Yesus melucuti kekuasaan sosial dan ritual
yang menindas orang miskin dan berdosa.

Dengan demikian, gerakan Yesus adalah politik kasih,
di mana perubahan sosial tidak datang dari kekuatan,
tetapi dari transformasi kesadaran dan relasi manusia.

9. Perbandingan Lintas Iman: Jihad Spiritual dan Kasih

Dalam Islam, konsep perlawanan tanpa kekerasan memiliki padanan dalam istilah “jihad akbar” —
yakni perjuangan melawan hawa nafsu, kebencian, dan keserakahan.

Seperti Yesus, Islam menegaskan bahwa kekuatan sejati bukan pada pedang,
melainkan pada penaklukan diri (mujahadah).

> “Perangilah mereka dengan cara yang lebih baik.” — QS. An-Nahl 16:125
“Barangsiapa menahan amarahnya dan memaafkan orang lain, Allah mencintainya.” — QS. Asy-Syura 42:37

Dengan demikian, kasih Yesus dan rahmah Islam bertemu dalam satu jalan rohani:
kemenangan sejati adalah kemenangan atas diri sendiri, bukan atas orang lain.

10. Kesimpulan: Kasih Melawan Kekerasan

Yesus menghadapi dunia kekerasan dengan cinta yang teguh.
Ia tidak membangun kekuasaan, tetapi menghancurkan ketakutan dengan belas kasih.
Ia tidak menuntut balasan, tetapi mengubah penderitaan menjadi pengampunan.

> 🔴 “Berbahagialah para pembawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
— Matius 5:9

Pesan ini tetap relevan di setiap zaman.
Di tengah kekerasan politik, agama, dan sosial masa kini,
jalan Yesus tetap sama:
melawan kejahatan dengan kasih, menaklukkan kekerasan dengan pengampunan,
dan menggantikan kuasa dengan pelayanan.

Itulah revolusi sejati — revolusi kasih yang tidak bisa ditaklukkan.

> “Yesus tidak menaklukkan dunia dengan pedang,
Ia menaklukkannya dengan kasih yang tidak pernah menyerah.”
— Marcus Borg, The Heart of Christianity

✍️
Tgk Muhammad Qosim

Bab XI – Yesus dan Jalan Salib: Penderitaan, Pengampunan, dan Kebangkitan Kesadaran,
bagian yang menjadi puncak refleksi spiritual dan historis dalam The Five Gospels.

Dalam bab ini, kita melihat bagaimana penyaliban Yesus dipahami bukan semata sebagai peristiwa teologis (penebusan dosa), melainkan sebagai peristiwa manusia dan sejarah, di mana kasih dan pengampunan mencapai bentuknya yang paling radikal.

Bab ini juga menafsirkan “kebangkitan” bukan sebagai keajaiban biologis, melainkan sebagai kebangkitan kesadaran kasih di dalam diri para murid — kesadaran yang terus hidup dalam sejarah kemanusiaan.

 BAB XI — YESUS DAN JALAN SALIB: PENDERITAAN, PENGAMPUNAN, DAN KEBANGKITAN KESADARAN

1. Salib dalam Dunia Kekaisaran Roma

Pada abad pertama, salib bukan simbol iman, melainkan alat teror negara.
Penyaliban adalah bentuk hukuman paling kejam yang dikhususkan bagi budak dan pemberontak politik.
Korban disiksa di depan umum untuk menimbulkan rasa takut dan tunduk pada kekuasaan Romawi.

Ketika Yesus disalibkan, Ia dianggap ancaman terhadap tatanan sosial dan agama.
Tulisan di atas kepala-Nya, “Raja orang Yahudi” (Markus 15:26),
bukan pernyataan iman, melainkan ejekan politik:
“Beginilah nasib siapa pun yang mengaku punya kerajaan selain Kaisar.”

Namun di balik alat kekerasan itu, Yesus mengubah maknanya:
dari lambang kekuasaan dunia, menjadi lambang kasih Allah yang tak terkalahkan.

2. Jalan Menuju Salib: Keteguhan tanpa Kekerasan

Yesus tahu konsekuensi dari pesan kasih dan keadilan yang Ia wartakan.
Ia menegur kemunafikan agama, menentang penyalahgunaan kuasa,
dan menolak tunduk kepada penguasa Roma.

Namun Ia memilih untuk tidak melawan dengan senjata,
melainkan menanggung akibatnya dengan keberanian dan kasih.

> 🔴 “Barangsiapa ingin mengikut Aku, ia harus memikul salibnya setiap hari.”
— Lukas 9:23

Salib, dalam konteks Yesus, bukan simbol penderitaan yang harus dicari,
melainkan komitmen untuk tetap setia pada kebenaran dan kasih,
meskipun dunia menolaknya.

Itulah makna terdalam dari “memikul salib”:
kesediaan untuk menanggung penderitaan demi kasih dan keadilan,
tanpa membalas kebencian dengan kebencian.

3. Pengampunan di Tengah Kekerasan

Saat digantung di kayu salib, Yesus mengucapkan kata yang mengubah sejarah:

> 🔴 “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
— Lukas 23:34

Ini bukan hanya doa pribadi, melainkan manifesto spiritual bagi seluruh umat manusia.
Ia menunjukkan bahwa pengampunan adalah bentuk tertinggi kekuatan.

Dalam saat ketika dunia memperlihatkan wajah terburuknya —
pengkhianatan, kekerasan, dan kebencian —
Yesus memperlihatkan wajah Allah: kasih yang tetap mengampuni.

Menurut The Jesus Seminar, perkataan ini sangat mungkin autentik,
karena mencerminkan seluruh konsistensi gaya Yesus:
kasih yang tanpa syarat, keberanian moral, dan paradoks kebenaran batin.

4. Salib sebagai Simbol Pembalikan Nilai Dunia

Dalam pandangan Marcus Borg dan Crossan,
salib adalah metafora dari pembalikan tatanan dunia:
yang lemah ternyata lebih kuat dari yang berkuasa,
yang mati ternyata membawa kehidupan,
yang dicemooh ternyata memancarkan kebenaran.

Yesus menanggung penderitaan bukan sebagai korban pasif,
tetapi sebagai pelaku cinta yang sadar.
Dengan menerima salib, Ia mengambil alih kendali moral dari penindasnya.

Robert Funk menyebut momen ini sebagai:

> “Saat ketika dunia membunuh kasih, dan kasih tidak membalas.
Karena itu, kasih menjadi kekuatan yang lebih besar dari maut.”

5. Kebangkitan: Dari Fakta ke Makna

Dalam The Five Gospels, kisah kebangkitan dipahami bukan terutama sebagai peristiwa biologis,
tetapi sebagai kebangkitan kesadaran di dalam komunitas para murid.

Setelah kematian Yesus, murid-murid yang ketakutan dan tercerai-berai
mengalami pengalaman batin yang mengubah mereka:
mereka “melihat” Yesus hidup — bukan dalam tubuh jasmani,
melainkan dalam kehadiran kasih dan semangat-Nya yang tak bisa dimatikan.

> 🌸 “Mengapa kamu mencari yang hidup di antara orang mati?”
— Lukas 24:5

Yesus “bangkit” bukan untuk kembali ke dunia lama,
tetapi untuk menyalakan kesadaran baru:
bahwa kasih tidak pernah gagal, dan pengampunan lebih kuat dari maut.

Kebangkitan adalah kemenangan kasih atas ketakutan,
bukan kemenangan agama atas sains.

6. Salib dan Kebangkitan Sebagai Satu Peristiwa

Dalam pandangan The Jesus Seminar,
salib dan kebangkitan bukan dua peristiwa terpisah,
melainkan dua sisi dari satu realitas kasih.

Di salib, kasih menghadapi kekerasan.

Dalam kebangkitan, kasih menunjukkan bahwa Ia tidak bisa dikalahkan.

Yesus tidak diselamatkan dari penderitaan,
tetapi melalui penderitaan Ia menyelamatkan kasih itu sendiri —
agar manusia tahu bahwa bahkan di tengah penderitaan,
kasih tetap mungkin dan tetap menang.

7. Salib Sebagai Jalan Spiritualitas Universal

Jalan salib bukan hanya milik Kristen.
Dalam tradisi Islam, konsep sabar dan tawakkal
memiliki kedalaman makna yang sejajar.

> “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan…
Tetapi sampaikan kabar gembira kepada orang yang sabar.”
— QS. Al-Baqarah 2:155

Sabar dalam Islam bukan pasrah pasif, melainkan keteguhan dalam kasih dan iman.
Demikian pula Yesus: Ia sabar bukan karena lemah,
tetapi karena yakin bahwa kebenaran Allah tidak dapat dikalahkan oleh kebencian.

Baik dalam Injil maupun Al-Qur’an, penderitaan menjadi ladang penyucian hati,
tempat di mana manusia belajar bahwa kasih sejati adalah menanggung luka tanpa membalas.

8. Kebangkitan Kesadaran: Dari Ketakutan ke Tindakan Kasih

Setelah pengalaman kebangkitan, para murid berubah dari orang yang takut
menjadi saksi kasih yang berani.
Mereka meneruskan ajaran Yesus dengan risiko ditolak, dipenjara, dan dibunuh.

Inilah bukti bahwa kebangkitan bukan sekadar kisah iman,
melainkan realitas psikologis dan sosial:
kasih yang pernah mereka lihat dalam diri Yesus
menjadi hidup di dalam diri mereka sendiri.

> 🌸 “Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara kepada kita di jalan?”
— Lukas 24:32
Inilah kebangkitan kesadaran —
kesadaran bahwa kasih tidak berakhir di salib,
tetapi terus berdenyut dalam setiap hati yang percaya kepada kebaikan.

9. Makna Salib bagi Dunia Modern

Di dunia modern yang sarat dengan kekerasan, dendam, dan perpecahan,
salib tetap berbicara — bukan tentang penderitaan semata,
tetapi tentang keberanian untuk mencintai dalam dunia yang keras.

Yesus di salib adalah ikon kemanusiaan universal:
Ia menderita bersama yang tertindas,
mengampuni mereka yang melukai,
dan memulihkan martabat manusia melalui kasih.

Salib tidak menuntut kultus penderitaan,
tetapi komitmen terhadap kemanusiaan yang berani mengasihi meski disakiti.

10. Kesimpulan: Kasih yang Mengalahkan Dunia

Jalan salib bukan akhir, melainkan awal dari dunia baru.
Dari penderitaan lahir kekuatan moral,
dari kematian lahir kehidupan batin,
dan dari kekalahan lahir kemenangan kasih.

> 🔴 “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menemukannya.”
— Markus 8:35

Yesus historis menempuh jalan kasih sampai akhir,
dan karena itu kasih-Nya melampaui waktu dan peradaban.
Ia tidak menebus dunia dengan darah, tetapi dengan keteguhan kasih yang tidak berhenti mencintai.

> “Salib bukan tentang kematian Yesus,
melainkan tentang bagaimana kasih mengubah penderitaan menjadi kebangkitan.”
— Marcus Borg, The Heart of Christianity

Tgk. Muhammad Qosim

✨
Bab XII: Yesus dan Kebangkitan Kasih:
Makna Spiritualitas yang Hidup.

Bab ini menutup The Five Gospels dengan nada lembut, reflektif, dan sekaligus profetik.
Ia bukan penutup dalam arti akhir, melainkan pintu terbuka bagi perjalanan spiritual yang terus berlangsung di hati setiap pembaca — baik di seminari, madrasah, universitas, maupun ruang hening manusia modern yang mencari kebenaran dan kasih.

🌅 BAB XII — YESUS DAN KEBANGKITAN KASIH: MAKNA SPIRITUALITAS YANG HIDUP

1. Dari Sejarah ke Kehidupan

Seluruh penelitian The Jesus Seminar berawal dari satu pertanyaan:

> Siapakah Yesus dalam sejarah?

Namun pada akhirnya, pertanyaan itu menuntun pada hal yang lebih dalam:

> Apa yang masih hidup dari Yesus di dalam diri manusia saat ini?

Setelah menelusuri kata-kata, perumpamaan, dan tindakan Yesus dalam The Five Gospels,
kita sampai pada kesimpulan bahwa warisan terbesar Yesus bukan dogma, tetapi kesadaran.

Ia tidak meninggalkan sistem teologi, melainkan cara melihat dunia.
Ia tidak membangun agama baru, melainkan menyalakan kesadaran tentang kasih sebagai dasar eksistensi.

2. Kebangkitan Bukan Peristiwa, Melainkan Kesadaran

Dalam pandangan The Five Gospels, kebangkitan bukan peristiwa jasmani yang dapat diverifikasi,
tetapi pengalaman spiritual yang mengguncang kesadaran komunitas murid.

Ketika mereka berkata, “Yesus hidup,” mereka tidak sedang berbicara tentang tubuh yang berjalan keluar dari kubur,
melainkan tentang cinta dan kebenaran yang tidak bisa dikuburkan oleh kematian.

> 🌸 “Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit.” — Markus 16:6

Mereka menemukan bahwa kasih yang telah mereka saksikan dalam hidup Yesus, masih terus hadir — dalam diri mereka, di antara mereka, dan dalam dunia yang mereka cintai.
Inilah kebangkitan kasih, kebangkitan kesadaran manusia bahwa Allah hidup di dalam cinta, bukan dalam kekuasaan.

3. Kasih yang Hidup di Tengah Dunia

Yesus tidak bangkit untuk meninggalkan dunia,
tetapi agar dunia dibangkitkan ke dalam kasih.

Kebangkitan berarti:

Dunia lama yang dibangun atas ketakutan digantikan oleh dunia baru yang dibangun atas kasih.

Ego yang menindas digantikan oleh kesadaran yang membebaskan.

Kekuasaan digantikan oleh pelayanan.

> 🔴 “Kerajaan Allah ada di antara kamu.” — Lukas 17:21

Dengan kebangkitan kasih, Yesus mengubah kematian menjadi pintu kehidupan, dan penderitaan menjadi tempat perjumpaan dengan Allah.

4. Spiritualitas yang Hidup: Dari Iman ke Kesadaran

Spiritualitas Yesus bukan sistem kepercayaan, melainkan cara hidup di dalam kesadaran kasih yang terus berkembang.

Marcus Borg menyebut ini sebagai “spiritualitas kebangkitan” —
yakni hidup dengan kesadaran bahwa Allah hadir di dalam dan melalui kasih manusia.

Orang yang mengalami kebangkitan kasih:

Tidak lagi hidup dalam ketakutan.

Tidak lagi membalas kejahatan dengan kejahatan.

Tidak lagi mencari kekuasaan, tetapi memberi kehidupan.

Itulah iman yang hidup — iman yang menjadi jalan kasih, bukan hanya keyakinan dogmatis.

5. Kebangkitan dan Pencerahan Batin

Jika dibaca secara lintas iman, kebangkitan Yesus memiliki padanan dengan pencerahan (nirvāṇa) dalam Buddhisme,
atau tajallī (penyingkapan cahaya Allah) dalam tasawuf Islam.

Dalam semua tradisi itu, inti pengalaman rohani adalah lenyapnya ego dan lahirnya kesadaran kasih universal.

Yesus bangkit bukan hanya untuk diri-Nya, tetapi untuk menunjukkan kepada manusia bahwa cahaya kasih Allah dapat menembus kegelapan apa pun.

> “Kebangkitan bukan mukjizat tubuh, melainkan mukjizat kesadaran — bahwa kasih tetap hidup bahkan setelah dunia berakhir.”
— Robert W. Funk, The Five Gospels

6. Allah yang Ditemukan dalam Kasih

Bagi Yesus, Allah bukan sosok jauh di langit, melainkan hadir di dalam kasih yang dialami manusia.

> 🔴 “Kasihilah Tuhan Allahmu… dan kasihilah sesamamu manusia.”
— Markus 12:30–31

Dalam dua kalimat itu, Yesus meruntuhkan jarak antara ilahi dan manusia. Mencintai sesama adalah mencintai Allah, karena kasih adalah wajah Allah yang tampak.

Kebangkitan kasih adalah kesadaran bahwa Tuhan tidak lagi dicari, tetapi dihidupi. Tuhan hadir setiap kali manusia mencintai, memaafkan, dan memberi kehidupan.

7. Komunitas yang Dihidupkan oleh Kasih

Setelah kebangkitan, para murid tidak membangun kuil, tetapi komunitas kasih — tempat berbagi, berdoa, dan makan bersama.

Mereka tidak mengajarkan dogma kebangkitan, melainkan menghidupkan kasih Yesus dalam tindakan nyata: menolong orang miskin, menyembuhkan yang sakit, dan mengampuni yang bersalah.

Itulah gereja mula-mula — bukan institusi, tetapi gerakan kasih yang hidup.

Yesus “hidup” karena kasih-Nya terus hidup di dalam komunitas manusia.

8. Kebangkitan dan Dunia Modern

Dunia modern haus akan makna, tetapi sering kehilangan rasa kasih.
Agama terjebak dalam dogma, politik terperangkap dalam kekuasaan, dan manusia terasing dari dirinya sendiri.

Di tengah krisis ini, pesan kebangkitan Yesus menjadi panggilan untuk menghidupkan kembali kasih sebagai energi moral dan spiritual masyarakat.

Kebangkitan berarti:

Melawan sinisme dengan harapan,

Melawan kekerasan dengan empati,

Melawan kematian batin dengan keindahan hidup.

Setiap kali seseorang memilih kasih di tengah kebencian, Yesus bangkit kembali — bukan di makam, tetapi di hati manusia.

9. Spiritualitas Lintas Iman: Cinta Sebagai Kesadaran Universal

Dalam Islam, kasih Allah disebut rahmah —sifat utama Tuhan yang menjadi dasar penciptaan:

> “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” — QS. Al-A‘raf 7:156

Dalam tradisi Hindu, cinta disebut bhakti, dalam Buddhisme disebut karuṇā, dan dalam Yesus disebut agápē.

Semuanya menunjuk pada satu sumber yang sama: kesadaran kasih sebagai inti realitas.

Dengan demikian, kebangkitan kasih adalah kebangkitan spiritual umat manusia secara universal,
panggilan bagi semua tradisi untuk menemukan Allah dalam kasih, bukan dalam doktrin.

10. Kesimpulan: Kebangkitan yang Tak Pernah Berakhir

Kebangkitan bukan peristiwa masa lalu — ia adalah proses yang terus berlangsung dalam kehidupan setiap orang yang mencintai.

Yesus bangkit setiap kali seseorang memaafkan musuhnya,
mengangkat yang tertindas,
dan menolak menyerah pada keputusasaan.

Ia hidup bukan karena tubuh-Nya kembali bernapas,melainkan karena kasih-Nya terus menghidupkan dunia.

> 🔴 “Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa.” — Matius 28:20

Inilah janji yang tidak bersifat magis,
melainkan spiritual: selama kasih masih ada, Yesus masih hidup —
dan kebangkitan masih berlangsung.

> “Kebangkitan bukan tentang Yesus yang hidup kembali,
tetapi tentang cinta yang tak pernah mati.”
— Marcus Borg, The Heart of Christianity

✍️
Tgk. Muhammad Qosim

✨ Epilog: Injil Kelima dan Kebangkitan Kasih dalam Dunia Manusia.
Bagian ini tidak sekadar menutup buku, melainkan membuka cakrawala baru,
menunjukkan bahwa The Five Gospels bukan hanya teks akademik tentang Yesus historis,
melainkan undangan bagi pembaca untuk menjadi bagian dari kisah itu sendiri.

Epilog ini ditulis dengan nada meditatif, profetik, dan universal,
agar bisa dibacakan baik dalam kelas teologi maupun dalam lingkaran renungan lintas iman —
karena pesan Yesus yang sejati adalah pesan kemanusiaan yang melampaui agama.

🌏 EPILOG — INJIL KELIMA DAN KEBANGKITAN KASIH DALAM DUNIA MANUSIA

1. Empat Injil dan Satu yang Tak Tertulis

Empat Injil kanonik — Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes —
menyimpan gema kisah Yesus dari berbagai sudut pandang.
Kemudian datanglah The Fifth Gospel, karya para sarjana modern,
yang membuka kembali teks-teks itu dengan cahaya penelitian historis, linguistik, dan spiritual.

Namun sesungguhnya, ada Injil lain yang tak tertulis di atas kertas,
tetapi ditulis di dalam hati manusia.

Itulah Injil Kelima — Injil kehidupan.
Injil yang lahir setiap kali seseorang memilih kasih di atas kebencian,
pengampunan di atas balas dendam,
dan keadilan di atas kekuasaan.

> “Ada Injil yang tertulis di tinta, dan ada Injil yang hidup dalam tindakan kasih.”
— Robert W. Funk, The Five Gospels

2. Dari Yesus Historis ke Yesus yang Hidup

Penelitian historis membawa kita kembali kepada Yesus dari Nazaret — manusia Galilea yang berjalan di debu Palestina,
yang tertawa, menangis, menyentuh yang tersingkir,
dan berbicara tentang Kerajaan Allah dengan bahasa perumpamaan.

Namun perjalanan ini tidak berhenti pada sejarah.
Karena dari Yesus historis,
kita menemukan Yesus yang hidup di dalam hati manusia.

Ia hidup setiap kali manusia membuka mata terhadap penderitaan sesamanya,
dan berkata dalam hati:

> “Aku tidak bisa membiarkan saudaraku menderita sendirian.”

Di situlah kebangkitan Yesus yang sejati terjadi — di dalam kesadaran yang memilih kasih di tengah dunia yang penuh kekerasan.

3. Kasih Sebagai Bahasa Universal

Kasih yang diajarkan Yesus tidak mengenal agama, bangsa, atau bahasa. Ia dapat ditemukan dalam doa seorang rahib, dalam air mata seorang ibu, dalam keheningan seorang sufi, atau dalam senyum seorang anak yang lapar diberi makan.

Itulah sebabnya The Five Gospels tidak menulis Injil baru, tetapi menyadarkan kita bahwa Injil lama selalu baru setiap kali kita membacanya dengan hati terbuka.

Yesus tidak datang membawa dogma, Ia datang membawa bahasa universal kasih — bahasa yang bisa dipahami oleh semua hati yang masih hidup.

4. Injil Kelima Adalah Kehidupan Itu Sendiri

Para sarjana The Jesus Seminar berkata:

> “Jika ada Injil kelima, itu adalah kehidupan Yesus yang terus hidup di antara manusia.”
Tetapi kini kita tahu:
Injil kelima tidak hanya berbicara tentang Yesus, melainkan tentang setiap manusia yang hidup seperti Yesus — dengan kasih, pengampunan, dan keadilan.

Ketika seseorang menolong tanpa pamrih — Injil itu sedang dibacakan.

Ketika seseorang memaafkan di tengah luka — Injil itu sedang diwartakan.

Ketika seseorang berkata kebenaran meski sendirian — Injil itu sedang ditulis.

Setiap tindakan kasih adalah ayat baru dalam Injil yang tidak pernah selesai.

5. Dunia yang Haus Kasih

Dunia kita kini penuh dengan suara —suara politik, ideologi, agama, teknologi — namun di tengah kebisingan itu, suara kasih sering tenggelam.

Yesus dari Nazaret mengajarkan bahwa kasih bukanlah perasaan lemah, tetapi daya revolusioner yang membangun dunia baru.
Kasih adalah satu-satunya kekuatan yang dapat mengubah hati tanpa memaksa, menyembuhkan tanpa menghukum, dan mempersatukan tanpa mendominasi.

Dunia tidak membutuhkan agama baru, tetapi kebangkitan kasih lama yang telah dilupakan.

6. Pewarta Baru di Zaman Baru

Kepada para pewarta, guru seminari, dan pendidik madrasah,
pesan The Five Gospels berbunyi lembut namun tegas:

> “Kamu adalah Injil yang dibaca dunia hari ini.”

Sebuah dunia yang terluka menunggu bukan khotbah, tetapi keteladanan.
Yesus mengubah dunia bukan dengan teori, tetapi dengan kehidupan.

Maka tugas kita bukan hanya memahami teks-Nya, tetapi menjadi teks itu sendiri.
Setiap tindakan kasih adalah tafsir,
setiap pelayanan adalah homili,
setiap kebaikan adalah wahyu kecil yang menyingkap wajah Tuhan.

7. Allah yang Dihidupi

Akhir dari perjalanan ini bukan pengetahuan, tetapi kehadiran.
Kita tidak lagi mencari Allah di langit,
karena kita menemukan-Nya di dalam diri sesama.

> 🌸 “Barangsiapa melihat kasih, ia telah melihat Allah.”

Yesus datang untuk menunjukkan bahwa Allah tidak tinggal di balik awan,tetapi di tengah dunia, dalam air mata, tawa, dan pelukan manusia. Ia hidup setiap kali kasih dihidupkan.

8. Kebangkitan yang Tak Pernah Usai

Kebangkitan bukan satu peristiwa di masa lalu — ia adalah denyut kehidupan yang terus berlanjut di setiap hati yang mencintai.

Yesus tidak mati dua ribu tahun lalu,
karena kasih tidak bisa mati.
Kasih mungkin disalib, tetapi selalu bangkit kembali — di rumah sederhana, di ruang kelas, di medan perang, di hati manusia yang masih peduli.

> 🔴 “Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa.”
— Matius 28:20

Kata-kata ini bukan janji mistik,
tetapi pengakuan eksistensial:
selama kasih masih berdenyut,
Yesus masih bersama dunia.

9. Akhir yang Adalah Awal

Buku ini berakhir di sini, tetapi kisah kasih Yesus tidak pernah berakhir.
Setiap pembaca yang tersentuh oleh sabda-Nya menjadi bab baru dalam Injil yang sedang terus ditulis oleh kehidupan.

Maka The Five Gospels mengajak kita semua — para teolog, santri, pelajar, dan pencinta kebenaran —
untuk melanjutkan karya itu dengan kehidupan kita sendiri.

Sebab sesungguhnya, Injil yang kelima adalah:

> “Hidupmu sendiri, ketika kau memilih untuk mengasihi.”

> “Dunia tidak akan diselamatkan oleh keajaiban, tetapi oleh orang-orang yang berani mencintai tanpa batas.”
— Marcus Borg, The Heart of Christianity

✍️
Tgk. Muhammad Qosim

📚 LAMPIRAN AKADEMIK

I. DAFTAR ISTILAH PENTING

A. Istilah Teologis dan Historis

IstilahArti dan Penjelasan
Yesus historisSosok Yesus dari Nazaret sebagaimana dapat direkonstruksi berdasarkan bukti sejarah, terlepas dari penafsiran teologis gereja.
Kristus imanYesus sebagaimana dipahami dalam tradisi gereja sebagai Anak Allah dan Penyelamat dunia.
Kerajaan Allah (Basileia tou Theou)Istilah sentral dalam ajaran Yesus, menunjuk pada tatanan kasih dan keadilan Allah yang hadir di dalam kehidupan manusia.
Perumpamaan (Parable)Cerita singkat simbolis yang digunakan Yesus untuk menyampaikan kebenaran rohani dan moral.
AforismeUcapan pendek yang padat makna, menjadi ciri khas gaya pengajaran Yesus.
Jesus SeminarKelompok ilmuwan internasional yang didirikan oleh Robert W. Funk pada 1985 untuk meneliti otentisitas sabda-sabda Yesus.
The Five GospelsBuku hasil penelitian Jesus Seminar (1993) yang memuat Injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes, dan Tomas, lengkap dengan penilaian warna atas keaslian perkataan Yesus.
Kode Warna (Red/Pink/Gray/Black)Sistem klasifikasi otentisitas sabda Yesus: merah (otentik), merah muda (mungkin otentik), abu-abu (tidak pasti), hitam (kemungkinan besar bukan sabda Yesus).
Sumber Q (Quelle)Hipotesis sumber tertulis bersama bagi Injil Matius dan Lukas, berisi ucapan-ucapan Yesus.
Injil Tomas (Gospel of Thomas)Koleksi 114 logia (sabda Yesus) yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir (1945), dan menjadi sumber penting bagi penelitian Yesus historis.
Kritik teksMetode ilmiah untuk menelusuri versi paling awal dari teks-teks kuno melalui perbandingan naskah.
Non-kekerasan (Ahimsa/Agápē Active)Etika Yesus dalam menghadapi penindasan: menolak kekerasan tanpa tunduk pada kejahatan.
Kerendahan hati (Humilitas)Keutamaan spiritual yang menjadi dasar etika Yesus — kekuatan dalam kelemahlembutan.

B. Istilah dalam Kajian Lintas Iman

IstilahPadanan atau Hubungan

Agápē (Yunani)Kasih tanpa syarat; dalam Islam sejajar dengan rahmah (kasih sayang Ilahi).
Tawakkal (Arab)Kepercayaan total kepada Allah; dalam Yesus tampak melalui kesetiaan pada kehendak Bapa.
Jihad AkbarPerjuangan batin melawan ego dan kebencian; padanan dengan etika Yesus tentang mengalahkan kejahatan dengan kasih.
RahmahKasih Ilahi yang meliputi seluruh ciptaan; sejajar dengan “Kerajaan Allah” dalam pengertian spiritual.
TajallīManifestasi kasih Allah dalam kehidupan manusia, sebanding dengan “Kebangkitan kasih” dalam The Five Gospels.
BhaktiKasih bakti kepada Tuhan; paralel dengan kasih agápē yang diwujudkan Yesus kepada Allah dan sesama.

II. DAFTAR NAMA DAN TOKOH REFERENSIAL

NamaPeran / Karya Utama

Robert W. Funk (1926–2005)Pendiri The Jesus Seminar dan penyunting The Five Gospels. Penulis Honest to Jesus (1996).
John Dominic Crossan (1934–)Sejarawan Yesus, penulis The Historical Jesus dan Jesus: A Revolutionary Biography.
Marcus J. Borg (1942–2015)Teolog progresif, penulis Meeting Jesus Again for the First Time dan The Heart of Christianity.
Burton L. Mack (1931–)Ahli studi sumber Q, penulis The Lost Gospel: Q and the Christian Origins.
Karen L. King (1954–)Ahli naskah gnostik dan Injil non-kanonik, Harvard Divinity School.
Elaine Pagels (1943–)Penulis The Gnostic Gospels, membuka pemahaman baru tentang Injil Tomas dan peran perempuan.
Walter Wink (1935–2012)Penafsir etika non-kekerasan Yesus dalam konteks modern, The Powers Trilogy.
Albert Schweitzer (1875–1965)Pelopor riset Yesus historis, The Quest of the Historical Jesus.
Bart D. Ehrman (1955–)Ahli kritik teks Perjanjian Baru, Misquoting Jesus dan How Jesus Became God.
Karen Armstrong (1944–)Sejarawan agama, penulis The Case for God dan Twelve Steps to a Compassionate Life.

III. DAFTAR SUMBER UTAMA

1. Funk, Robert W., Roy W. Hoover, and The Jesus Seminar. The Five Gospels: What Did Jesus Really Say? The Search for the Authentic Words of Jesus. HarperOne, 1993.

2. Crossan, John Dominic. The Historical Jesus: The Life of a Mediterranean Jewish Peasant. HarperSanFrancisco, 1991.

3. Borg, Marcus J. Meeting Jesus Again for the First Time. HarperOne, 1994.

4. Mack, Burton L. The Lost Gospel: Q and the Christian Origins. HarperSanFrancisco, 1993.

5. Pagels, Elaine. The Gnostic Gospels. Random House, 1979.

6. Wink, Walter. Jesus and Nonviolence: A Third Way. Fortress Press, 2003.

7. Schweitzer, Albert. The Quest of the Historical Jesus. A. & C. Black, 1906.

8. Ehrman, Bart D. Misquoting Jesus. HarperOne, 2005.

9. Armstrong, Karen. The Case for God. Knopf, 2009.

10. King, Karen L. The Gospel of Mary of Magdala: Jesus and the First Woman Apostle. Polebridge Press, 2003.

IV. DAFTAR SUMBER PENDUKUNG LINTAS IMAN

TradisiSumber UtamaRelevansi dengan The Five Gospels

IslamAl-Qur’an al-Karim, terjemahan dan tafsirNilai rahmah (kasih), sabar, dan jihad akbar sebagai padanan etika kasih Yesus.
Tasawuf IslamIbn ‘Arabi – Fusūs al-Ḥikam, Jalaluddin Rumi – MathnawiPengenalan kasih Ilahi dan tajallī sebagai pengalaman kehadiran Tuhan.
BuddhismeDhammapada, Sutra TerataiJalan welas asih (karuṇā) dan kebangkitan kesadaran sebagai tujuan spiritual.
HinduismeBhagavad GitaBhakti (kasih bakti) dan kelepasan ego sebagai bentuk spiritualitas sejati.
Yahudi RabinikMishnah Avot dan Talmud BavliKonteks sosial dan religius Yahudi yang menjadi latar ajaran Yesus.

V. DAFTAR SINGKAT KRONOLOGI YESUS HISTORIS

Tahun (perkiraan)Peristiwa Historis

±4 SMKelahiran Yesus di Nazaret atau Betlehem (pemerintahan Herodes Agung).
±27–30 MPelayanan Yesus di Galilea: pengajaran, mukjizat, dan perumpamaan.
±30 MPenyaliban di Yerusalem di bawah Pontius Pilatus.
±31–33 MKebangkitan kesadaran para murid dan lahirnya komunitas pertama.
±50–90 MPenulisan Injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes.
±100–120 MKompilasi logia dalam Injil Tomas.

VI. PENDEKATAN METODOLOGIS YANG DIGUNAKAN

1. Kritik Historis dan Kontekstual
Menggali latar politik, sosial, dan budaya Palestina abad pertama untuk memahami Yesus sebagai tokoh nyata.

2. Kritik Teks dan Linguistik
Menelusuri bentuk paling awal dari ucapan Yesus (Aram–Yunani), menilai otentisitasnya berdasarkan gaya dan isi.

3. Analisis Intertekstual.
Membandingkan Injil kanonik dengan Injil Tomas dan sumber Q.

4. Hermeneutika Etis dan Spiritualitas.
Menafsirkan pesan Yesus bukan hanya secara historis, tetapi dalam relevansi moral dan eksistensial bagi manusia modern.

5. Pendekatan Lintas Iman (Comparative Spirituality)
Membaca kasih Yesus dalam dialog dengan tradisi Islam, Buddhisme, Hindu, dan humanisme universal.

VII. PENUTUP: PESAN ILMIAH DAN KEMANUSIAAN

The Five Gospels menunjukkan bahwa penelitian historis dan pengalaman spiritual tidak perlu bertentangan.
Justru ketika keduanya bersatu, kita menemukan Yesus bukan hanya dalam buku, tetapi dalam kesadaran manusia yang hidup.

Yesus historis memanggil kita bukan untuk mempercayai,
tetapi untuk menghidupi kasih yang Ia ajarkan — dan dengan demikian, setiap peneliti, pendidik, dan pembelajar menjadi bagian dari Injil kelima yang terus ditulis oleh kehidupan.

📘
Disusun oleh:
Tgk. Muhammad Qosim

👤 BIOGRAFI SINGKAT PENULIS DAN CATATAN AKADEMIK PENYUNTING

Tentang Penulis

Tgk. Muhammad Qosim
adalah seorang pendidik, peneliti, dan penerjemah karya-karya teologis lintas tradisi yang berdedikasi untuk menjembatani dialog antara iman, ilmu, dan kemanusiaan.

Latar belakang beliau berakar kuat dalam pendidikan pesantren tradisional dan studi teologi modern, menjadikan karyanya unik — memadukan kedalaman sufistik Islam dengan analisis kritis khas kajian biblika kontemporer.

Selama lebih dari dua dekade, Tgk. Qosim aktif dalam dunia pendidikan dan pembinaan spiritual di berbagai lembaga keagamaan, khususnya dalam bidang:

Kajian perbandingan agama dan teologi lintas iman,

Studi teks suci (Biblical & Qur’anic Hermeneutics),

Filsafat agama dan etika kasih universal, serta pembentukan karakter pewarta dan guru iman di lingkungan seminari dan madrasah.

Karya terjemahan beliau atas The Five Gospels: Injil Yesus dalam Terjemahan dan Kajian Kritis merupakan hasil riset panjang,
disertai keinginan luhur untuk menghadirkan Yesus historis — bukan semata sebagai tokoh agama tertentu, melainkan sebagai guru kemanusiaan universal yang pesan kasihnya relevan bagi seluruh umat manusia.

Dalam setiap tulisan dan terjemahan, Tgk. Qosim menempatkan cinta sebagai epistemologi, yakni cara mengenal kebenaran melalui hati yang jernih dan kasih yang inklusif.

Catatan Akademik Penyunting

Karya ini tidak dimaksudkan sebagai doktrin baru, melainkan sebagai jembatan dialog antara dunia teologi Barat dan spiritualitas Timur.

Sebagai penyunting akademik, Tgk. Muhammad Qosim menekankan tiga prinsip utama:

1. Ketepatan Ilmiah (Scientific Accuracy)
– Terjemahan teks The Five Gospels dilakukan dengan menjaga keakuratan terminologi, konteks linguistik, dan struktur logis dari naskah asli.

2. Keterbukaan Dialog (Interfaith Openness)
– Setiap bagian dianalisis dalam terang nilai-nilai universal yang juga ditemukan dalam Islam, khususnya rahmah, tawakkal, dan jihad akbar.

3. Etika Kasih (Ethical Hermeneutics)
– Tafsir dan komentar diberikan dengan kerangka etika kasih, bukan polemik antaragama.
Tujuannya: menghadirkan Yesus bukan sebagai simbol pemisahan, tetapi simbol penyatuan kemanusiaan.

Penyuntingan juga memadukan perspektif historis-kritis Barat dengan pendekatan spiritual Islam,
menjadikan buku ini dapat dipelajari di seminari Kristen, fakultas teologi, maupun madrasah tinggi Islam
sebagai model akademik lintas iman yang beradab dan berbasis kasih.

Refleksi Pribadi Penulis

> “Saya percaya bahwa tugas utama seorang pewarta, guru, dan peneliti bukanlah mengubah dunia dengan argumen, melainkan dengan menghadirkan kasih yang hidup.
Sebab pada akhirnya, kebenaran tidak ditemukan dalam perdebatan,
tetapi dalam hati yang mau mengasihi.”

— Tgk. Muhammad Qosim

Ucapan Penutup

Karya ini dipersembahkan kepada semua pencari kebenaran:
para mahasiswa seminari, pelajar madrasah, peneliti lintas iman,
dan siapa pun yang berani berjalan di jalan kasih —jalan yang telah ditempuh Yesus dari Nazaret dua ribu tahun silam, dan yang tetap terbuka hingga hari ini bagi siapa pun yang mau hidup dalam kasih tanpa batas.

📖Pnerjemah dan Editor : Muhammad Qosim
Penerjemah & Editor : adalah seorang Pendidik, Peneliti, dan Penerjemah karya-karya teologis lintas tradisi yang berdedikasi untuk menjembatani dialog antara iman, ilmu, dan kemanusiaan.
Disusun di Pulau Sumatra, Tahun 2025
dengan semangat doa, cinta, dan dedikasi kepada Allah Sang Kasih yang Menghidupkan Segala. ***

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Paus Leo Angkat Romo Yohanes Hans Monteiro Uskup Larantuka
Agama

Paus Leo Angkat Romo Yohanes Hans Monteiro Uskup Larantuka

Paus Leo Angkat Romo Yohanes Hans Monteiro Uskup Larantuka ROMA : WARTA-NUSANTARA.COM--  Paus Leo XIV resmi menunjuk RD. Yohanes Hans...

Read more
 Wagub Johni Asadoma Ajak Umat Jaga Kemajemukan di NTT

 Wagub Johni Asadoma Ajak Umat Jaga Kemajemukan di NTT

Uskup Larantuka

Uskup Larantuka

Paus Leo XlV Siap Umumkan Uskup Baru Larantuka, Sukacita Meluas Hingga ke Lembata

Paus Leo XlV Siap Umumkan Uskup Baru Larantuka, Sukacita Meluas Hingga ke Lembata

Memperkuat Harmoni Sosial, Lembata Gelar Peringatan Hari Toleransi Internasional di Taman Swaolsa Titen

Memperkuat Harmoni Sosial, Lembata Gelar Peringatan Hari Toleransi Internasional di Taman Swaolsa Titen

Bupati Lembata: “Hari Toleransi Internasional Momentum Mengingatkan Keragaman Kekuatan Bangsa”

Bupati Lembata: “Hari Toleransi Internasional Momentum Mengingatkan Keragaman Kekuatan Bangsa”

Load More
Next Post
Wabup Lembata Buka Pelatihan Koperasi Merah Putih 2025:  Langkah Strategis Membangun Fondasi Ekonomi Desa

Wabup Lembata Buka Pelatihan Koperasi Merah Putih 2025:  Langkah Strategis Membangun Fondasi Ekonomi Desa

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In