Uskup Larantuka
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM– Ketika beredar surat pemberitahuan bahwa akan diumumkan Uskup Keuskupan Larantuka pada 22 November yang akan datang, saya mendapatkan beberapa WA. Intinya menanyakan siapa yang kira-kira jadi uskup Larantuka menggantikan Uskup Frans Kopong Kung, Pr. Saya terdiam karena karena tidak ada alasan untuk harus mengetahui berita itu sebelum diumumkan. Jawaban saya tegas.
Karena tidak menjawab, yang bertanya lalu menyodorkan beberapa nama. Sodoran yang mengemukakan figur imam projo Keuskupan Larantuka yang secara kualitas sangat menonjol. Tidak kurang, figur imam biarawan yang tidak kurang kompetensinya malah mendunia. Dengan semakin banyak opsi maka yang beruntung adalah 185 ribu umat di Keuskupan Larantuka yang menyebar di dua kabupaten: Flores Timur dan Lembata.
Tetapi apakah pertanyaan tentang siapa uskup larantuka jauh lebih penting dari mendalami apa dan bagaimana sejarah keuskupan Larantuka yang kini berusia 74 tahun (1951-2025) yang mengharapkan seorang gembala sesuai bingkai yang ada?
Komunitas Basis Gerejani
Bicara melihat identitas sebenarnya tidak sulit. Jejak itu sudah tercipta khususnya dalam 51 tahun terakhir, pada masa kegembalaan uskup Darius Nggawa, SVD (1974-2004) yagn jadi uskup selama 30 tahun dan masa Uskup Frans Kopong Kung Pr (2004-2025) atau 21 tahun ditambah 3 tahun saat menjadi uskup koajutor (2001-2003).
Memang sebelum keduanya, ada uskup Gabriel Manek SVD saat Larantuka masih menjadi Vikaris Apostolik (1951-1961). Juga masa Uskup Anton Thijssen (1961-1973) yang hanya berpindah posisi dengan uskup Manek yang berganti tempat Ende – Larantuka. Karya awal tentu tidak mudah karena harus memberikan dasar yang kuat apalagi di tengah aneka keterbatasan.
Pada masanya, uskup Darius Nggawa, SVD yang menjadi uskup selama 30 tahun (1974 – 2004). Uskup sebelumnya, Gabriel Manek SVD (1951-1961) yang kemudian menjadi Uskup Agung Ende berpindah tempat dengan Antonius Hubertus Thijssen (1961-1973), masih berada pada proses peralihan.
Darius Nggawa dengan pengalaman pendidikan doktoral dalam bidang sejarah Asia di dari Universitas St. Thomas Manila yang saat belajar bahkan sambil menjadi dosen di Christ the King Seminary, merupakan figur ‘extraordinary’. Bekal pendidikannya kemudian tidak sekadar menjadikannya menerapkan ilmu dan terutama menerapakn wajah gereja universal ke Indonesia tetapi melakuakn transformasi inkulturatif. Wajah gereja tidak sekadar diturunkan sebagai gambar jadi dari atas tetapi ‘by design’ dari bawah. Hal ini menjadi alasan mengapa uskup kelahiran Nggela-Wolojita Ende ini sangat fokus membentuk Komunitas Basis Gerejani (KBG). Komunitas basis yang dibentuk tentu jauh dari wajah klerikal yang hanya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin ibadaat tetapi membuka ruang bagi wanita dalam liturgi. Pembentukan dan pembekalan untuk pempin umat sangat besar. Di tahun 70-an, awam katolik di keuskupan ini bervariasi memimpin ibadat sabda hari minggu secara meriah (seakan-akan ada misa) dan ibadaat kematian.
Uskup Frans Kopong Kung, selama 21 tahun (2004-2025) menjadi uskup dan 3 tahun sebagai Koajutor tentu saja selalu berada dalam rangkaian program repelita yang sudah disain uskup Darius. Ia melakukan beberapa terobosan khususnya dalam karya sosial (termasuk sosial ekonomi seperti credit union), yang dilakukan menjawabi permasalah nyata seperti isu migrasi dan perantauan, pemberdayaan umat antara lain melalui awam Katolik yang tangguh serta advokasi lingkungan hidup dan keberlanjutan. Respon cepat terhadap bencana dan rekonstruksi terutama bencana banji dan letusan gunung menjadi ekspresi kepekaan sosial yang tinggi.
Umat Diuntungkan
Dari bingkai keuskupan ini bisa terlihat uskup seperti apa yang diharapkan di Keuskupan Larantuka. Pertama, fondasi pastoral menjadi identitas yang sangat kuat yang dibangun Uskup Darius dan Uskup Frans. Pijakan itu bahkan didisain terutama oleh sang ‘arsitek’ Darius Nggawa. Hal itu bisa terlihat dari penetapan uskup koajutor untuk meyakinkan bahwa arah pastoral itu benar-benar dilanjutkan dan diperdalam.
Kedua, fondasi yang dibangun selama 51 tahun terakhir ditambah perubahan global yang sangat besar, maka tiba waktunya bagi Keuskupan Larantuka untuk melangkah lebih jauh. Hal itu pula didukung oleh tenaga-tenaga imam berkelas baik projo maupun imam biarawan. Paus Leo XIV tidak akan kesulitan memilih karena pimpinan Seminari Agung Ledalero dan Ritapiret saat ini dimpimpin oleh imam-imam yang dulu ditahbisakan oleh Uskup Darius Nggawa. Selain itu dosen kaliber lulusan dari University of Vienna, bahkan figur yang berkarya di Vatikan. Dalam kegembalaannya, Uskup Frans sangat tertopang oleh Vikarisnya yang kompeten sambil tidak melupakna bahwa ketika mengarah ke gereja global (Vatikan), juga tertampil figur orang Lamaholot yang mendunia.
Ketiga, ketidakkurangnya figur berkualitas yang bisa dilirik keuskupan Larantuka mendorong pertanyaan, siapa yang akan diuntungkan? Jawabannya, tentu saja umat. Umat tidak sekadar menerima begitu saja tetapi telah terbentuk skenario saat proses pemilihan yang juga melibatkan awam juga perwakilan kaum perempuan dalam mencari figur terbaik. Karena itu yang terpilih adalah orang pilihan yang terbaik yang dianggap pas karena tidak saja meneruskan tetapi juga mengadakan transformasi sesuai tuntutan zaman.
Tuntutan transformasi karena bekal yang cukup tidak saja pada 51 tahun terakir tetapi bahkan jauh sebelumnya melalui tradisi Semana Santa yang oleh Hans Manteiro, Pr dalam bukunya: Semana Santa di Larantuka, Sejarah dan Liturgi, 2020. disebut sebagai oase yang tak pernah kering. Semua kekayaan yang sangat mengumat dan memungkinkan uskup baru bisa berjalan bersama umat menuju tujuan yang lebih paripurna. ***
Robert Bala. Penulis Buku Inspirasi Hidup, Pengalaman Kecil Sarat Makna. Penerbit Kanisius Yogyakarta.








