VDS Kian Menegaskan Diri Bagian dari Mafia (Catatan Buat Gerombolan Mafia Nagekeo (7)
Oleh : Steph Tupeng Witin
WARTA-NUSANTARA.COM– Serial tulisan saya di dua media online: FloresPos.Net dan KoranTimor.Com berhasil membuat mereka yang selama ini diduga mafia Nagekeo keluar dari liang persembunyian. Lama berada di zona nyaman-antara lain karena sukses membungkam media dan aktivis di Nagekeo, reaksi mereka terhadap tulisan saya seperti orang primitif yang lama tinggal di lubang batu. Itu terlihat jelas dari cara mereka merespons: sangat emosional, brutal, dan membabi buta. Respons mereka keluar dari konteks dugaan mafia Nagekeo dan justru menguak peran kotor mereka di masa lalu.



Teranyar adalah respons Valens Daki-Soo (VDS) terhadap tulisan saya, “Ketika Jumpa Pers Menjadi Ajang Caci Maki, Catatan Buat Gerombolan Mafia Nagekeo (6)” yang dimuat KoranTimor. Com, Senin (08/12/2025). Tulisan itu membuat staf khusus dari mantan staf khusus itu keblingsatan. Ia meradang dan menerjang kesetanan. Ibarat orang yang tenggelam dalam lumpur: semakin dia berontak, semakin dalam dia tenggelam. Itulah VDS, si motivator yang diduga terpaksa pulang kampung untuk ikut berebut rezeki di Waduk Lambo.


Tulisan saya membuat VDS panik dan kepanasan lalu menerjang tanpa arah dengan sibuk menyerang pribadi saya. Para komplotan mafia dan gerombolan begundal lain berpesta pora meluapkan kekejiannya. Bahkan ada yang mengancam untuk mencekik saya. Premanisme dipertontonkan dengan brutal di ruang publik. Akhirnya: pola asli mereka keluar! Para begundal itu adalah penikmat dari proyek strategis nasional (PSN) Waduk Lambo. Mereka kesetanan sampai lupa diri lalu seperti bunglon mengubah warna kulitnya: jadi preman, bekas preman, jaksa, hakim, pengadilan, pimpinan religius dan sebagainya. Memangnya kamu siapa? Dasar begundal tidak tahu diri dan lupa daratan! Bahkan mereka berlagak seperti baru turun dari Beelzebul setelah “digoreng” kedunguannya. Masuk ke halaman rumah orang, bahkan merusak pagar rumah orang tanpa urat malu yang memang sudah putus. Mereka ibarat inang dari hama dan parasit yang menyerang benih dan tanaman yang tumbuh di pekarangan rumah orang. Tidak puas, mereka bermimpi agar suatu saat bisa merusak pagar-pagarnya sekaligus.


Ada empat poin yang bisa saya bedah dari tulisan VDS yang dipublikasikan di Indonesiasatu.co, media online miliknya, dan disebarkan melalui berbagai platform media sosial (medsos). Tulisan VDS dan komplotan ini berkeliling ke semua media abal-abal yang diduga dibayar untuk semakin membuka tabir kebohongan. Ada media abal-abal yang memasang foto saya. Tindakan dungu ini hanya dilakukan media abal-abal yang diduga hanya menjadi tempat mencari makan untuk memperbesar perut. Media dan pengelola yang memasang foto saya itu tidak beretika dan sangat biadab. Profesi jurnalistik itu mulia untuk menjaga akal sehat dan merawaat peradaban kemanusiaan, bukan melayani kebiadaban, kebrutalan dan kebuasaan para begundal komplotan mafia yang memang doyan membayar.


Pertama, ia menulis: “STW menuduh orang lain mafia tanpa dasar dan bukti yang teruji di ranah hukum, tapi cara kerja atau modus operandi serta dalang dan para informan STW justru menunjukkan mereka adalah mafia.”
Sebagai penulis opini, saya membuat sinyalemen atau dugaan berdasarkan pengamatan yang saya himpun dari lapangan. Saya menginterview, mewawancarai banyak orang dari berbagai level, kecuali mafia dan komplotam begundalnya. Saya mensinyalir praktik mafia di Nagekeo yang melibatkan oknum polisi, oknum pengacara, oknum anggota DPRD II, oknum wartawan, oknum tuan tanah palsu (Dus Wedo) dan oknum pengusaha lokal. Pembuktian secara hukum adalah ranah polisi, jaksa, dan hakim di persidangan.
Kebenaran fakta seperti sinyalemen saya tak selamanya harus berdasarkan pembuktian hukum. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali mereka yang mendekam di penjara adalah orang yang tidak layak berada di sana? Sebaliknya, begitu banyak orang yang kini menghirup udara bebas padahal tempatnya mesti di balik jeruji besi.
Bagi mereka yang berkehendak baik dan tak punya kepentingan pribadi, mereka bisa melihat kejahatan yang ada di Nagekeo. Bukan hanya kejahatan di seputar Waduk Lambo, tetapi juga sejumlah kasus kematian di Kafe Coklat, kafe milik Serfolus Tegu, anggota polisi aktif di Polres Nagekeo. Nama “Kafe Coklat” dan keberadaan kafe esek-esek itu sudah meresahkan masyarakat Nagekeo. Ada juga sejumlah kematian tidak wajar yang hanya disebut sebagai “mati bunuh diri”. Tidak ada otopsi dari pihak Polres Nagekeo.
Saya mensinyalir praktik mafia Nagekeo sudah sungguh merugikan masyarakat terdampak Waduk Lambo dan masyarakat Nagekeo pada umumnya. Tentang ini sudah banyak saya tulis. Masyarakat khawatir, operasi mafia tanah bisa merembet ke wilayah lain.
Kedua, VDS menulis, “STW adalah orang luar yang tidak memahami dinamika lokal Nagekeo secara utuh. Sekarang ia tinggal di Lembata, namun menulis tentang Nagekeo tanpa investigasi langsung di lapangan.”
VDS sama sekali tidak paham bahwa biaya Waduk Lambo sebesar Rp 1,9 triliun itu adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sekitar 80% penerimaan APBN berasal dari pajak, bea, dan cukai. Itu uang rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tukang ojek di Mbay yang rajin merokok punya kontribusi pada pendapatan negara. Begitu pula para ibu yang membeli sabun dan pakaian-mereka ikut membayar PPN.
Karena Waduk Lambo menggunakan uang negara, saya sebagai WNI dan penulis wajib melakukan pengawasan lewat tulisan. Semua pergerakan oknum-oknum yang diduga mafia saya pantau dengan teliti. Pada awal tulisan, VDS tidak masuk “radar” saya. Waktu itu saya berpikir, seorang motivator tidak mungkin melakukan hal yang tidak senonoh. Waktu berjalan, VDS justru membuktikan sendiri.
Di era digital dan satelit canggih, kejadian di belahan bumi mana pun bisa dipantau. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, cerita dan wisdom 115 miliar penduduk bumi yang pernah hidup sejak era Homo Sapiens bisa kita ketahui. Lembata, meski beda pulau, sudah dianggap bagian dari Flores mainland. Orang Lembata juga memiliki kontribusi membayar pajak yang kemudian salah satunya terimplementasi dalam proyek strategis nasional (PSN) waduk Lambo. Kesadaran sebagai warga Republik ini harusnya tidak membuat kita berpikir picik dan bermental pandir.
Membuka Aib Sendiri
Ketiga, VDS menulis, “Saya simpulkan, STW menulis berdasarkan masukan dari orang di Nagekeo dan/atau orang Nagekeo tertentu di diaspora yang apa pun motifnya memiliki kekecewaan, bahkan mungkin frustrasi politik. STW hanya dijadikan corong yang bersuara kencang demi kepentingan tertentu.”
Apakah VDS ini adalah manusia yang lebih mengedepankan rasionalitas atau emosi, atau bahkan insting primitif? Saya adalah penulis independen. Sumber saya berasal dari berbagai kalangan yang saya yakin memiliki kredibilitas tinggi.
Mengapa VDS sampai mata gelap dengan menuduh saya diboncengi oleh pihak yang kalah dalam politik? Tahukah VDS bahwa saya sudah 30 tahun menulis? Bukan sekadar menulis, melainkan menulis dengan independen? Saya tidak pernah menulis hanya pada moment tertentu karena ada pesanan atau membela sang bohir yang panik dan gelisah. Saya mengajak VDS untuk beradu pikiran, gagasan untuk mencerahkan publik Nagekeo, bukan berkutat pada insting primitif: menyerang pribadi hanya untuk menarasikan ketakmampuan berargumentasi dan pertanda kehabisan amunisi, mungkin juga sinyal kehabisan napas.
Sebagai seorang imam, kepedulian saya adalah pada kemanusiaan, apa pun latar belakang dan di mana pun mereka berada. Apalagi ketidakadilan ada di depan mata saya, di Nagekeo. Jarak fisik tidak seberapa jauh-tidak sampai sehari perjalanan. Jarak emosional? Saya punya banyak kenalan di sana, terutama mereka yang ditipu, dianiaya, dan diperlakukan tidak adil. Mereka adalah saudara saya yang wajib saya bela apa pun risikonya! Saya tidak punya hubungan darah dengan ketiga ketua suku dan anggota suku: Redu, Gaja dan Isa. Tapi Imamtlah yang menyatukan dan merekatkan saya dengan hidup, perjuangan, penderitaan bahkan kematian mereka karena konsisten membela hak-haknya yang dirampas mafia dengan kasar dan buas. Saya tidak punya uang, tidak punya kuasa (seperti aparat polisi), tapi saya hanya punya pena untuk merangkai pikiran dan hati membela nasib hidup mereka.
Menuduh saya menulis atas pesanan politisi gagal adalah tuduhan serius dan liar. Mungkin ini yang selama ini menghantui VDS dan para mafia. Dari sorotan VDS, wajar jika publik bertanya: apakah VDS dan para mafia adalah pihak yang mensponsori bupati–wakil bupati Nagekeo saat ini? Apakah kemenangan Simplisius Donatus–Gonzalo Gratianus Muga Sada adalah hasil operasi mafia yang selama ini saya soroti dengan tajam? Tuduhan VDS kepada saya membenarkan hal itu! Bahwa para mafia itulah yang memenangkan Tjoan–Gonzalo! Artinya pemimpin Nagekeo saat ini adalah produk mafia!
Keempat, VDS menulis, “Saya minta STW dan kalian berhenti untuk menghancurkan kredibilitas orang-orang yang punya hati untuk Nagekeo, membangun propaganda dan fitnah agar masyarakat hidup dalam keresahan, serta menghancurkan energi gotong royong seluruh kalangan untuk membangun Nagekeo. Masyarakat tidak percaya akan provokasi dan tuduhan kalian.”
Gaya VDS persis gaya Yudha Pranata dan Serfolus Tegu. Media dibungkam, baik dengan uang maupun dengan pedang hukum. Wilayah Polres Nagekeo seperti negara dalam negara. Di level nasional saja, media sangat dihormati. Kapolri berulang kali meminta agar media membongkar berbagai kasus kejahatan, termasuk kejahatan yang melibatkan oknum polisi. Tetapi di Nagekeo, polisi membungkam para awak media.
Merespons serial tulisan saya, Tegu aktif meminta testimoni para tokoh bahwa dia adalah polisi baik hati dan suka membantu. Membantu dalam arti membagi duit mungkin saja, karena ia punya duit. Tetapi bahwa dia orang baik, tulisan saya menunjukkan hal sebaliknya.
Ikut membungkam media, VDS menggelar jumpa pers, sebuah upaya yang gagal total memperbaiki citra yang sudah hancur lebur ke titik nadir. Jumpa pers itu malah menguak banyak hal yang selama ini baru di level dugaan. Bahkan jump apers itu menjadi ajang untuk mengumpat, menyerang dan mencaci maki saya, tanpa kehadiran saya. Itu saya sebut sebagai sebuah kebiadaban dalam tulisan sebelumnya. Tapi akhirnya publik jadi tahu bahwa jumpa pers itu adalah tirai yang membuka jati diri VDS yang diduga sebagai bagian dari mafia. Kebohongan biarpun dibungkus dengan emas pun akan terungkap keasliannya. Kami tinggal di kampung dan selama ini kami terlanjur berpikir bahwa VDS dan gerombolan mafia dari Jakarta pulang kampung berbuat lebih baik. Tapi ternyata semakin hari kami semakin tahu bahwa orang-orang ini “bale nagi” untuk merebut rezeki orang-orang kampung: Redu, Isa dan Gaja. Bahkan di Ulupulu, ada kontraktor galian C yang merupakan pensiunan ASN DKI Jakarta sangat merusak dan menghancurkan keutuhan lingkungan. Nama ASN itu sudah saya sebut berulangkali dalam tulisan sebelumnya.
Rakyat Nagekeo akan lebih aman dan tenteram tanpa mafia. Mereka akan lebih sejahtera jika perantau Jakarta tidak pulang kampung dan melakukan pembodohan, penipuan, dan ikut berebut rezeki di Waduk Lambo. VDS adalah salah satu perantau yang sudah lama menetap di Nagekeo yang diduga ikut mengais rezeki di Waduk Lambo. Jumpa pers yang sarat masalah dan tulisan yang dimuat keliling dunia yang didominasi pasang badan pembelaan “masa lalu” sangat membuktikan itu.
Tulisan saya justru hadir di tengah kegelisahan mereka: kaum teraniaya dan terpinggirkan, yang sangat berterima kasih kepada saya. Mereka bukan gerombolan preman yang sehari-hari menghabiskan waktu di WA Group Nagekeo Mandiri untuk menyebarkan hoaks dan membantai siapa saja yang berbeda dengan mereka.
Hidup dalam udara yang busuk pada awalnya menimbulkan rasa tidak nyaman, bahkan menjijikkan. Tetapi ketika seseorang terus-menerus menghirup udara itu setiap hari, sistem penciumannya perlahan beradaptasi. Bau yang tadinya menusuk hidung menjadi samar, lalu menghilang dari kesadaran. Bukan karena baunya hilang, melainkan karena otak berhenti memprosesnya sebagai sesuatu yang penting. Yang busuk pun terasa biasa.
Fenomena ini memiliki padanan yang sangat kuat dalam ranah moral. Ketika seseorang hidup di tengah lingkungan yang penuh kebohongan, intimidasi, kekerasan, atau korupsi, pada mulanya hati terasa gelisah. Ada suara nurani yang menolak. Namun setelah melihat dan mengalami penyimpangan itu berulang-ulang, kepekaan moral mulai tumpul. Pelanggaran kecil tidak lagi dianggap masalah, lalu pelanggaran besar pun terlihat lumrah. Yang dulu salah kini dirasa wajar.
Lama-kelamaan, seperti orang yang tidak lagi mencium bau busuk, mereka yang hidup dalam lingkungan jahat tidak lagi merasakan jijik moral. Kepekaan nurani memudar, empati melemah, dan batas antara benar dan salah bergeser mengikuti kebiasaan lingkungan. Inilah bahaya terbesar dari hidup terlalu lama dalam kebusukan: manusia tidak hanya berhenti mencium bau busuk, tetapi berhenti menyadari bahwa dirinya sedang hidup dalam kebusukan.
Biarlah Publik yang Menilai
Fenomena yang kini terjadi di Nagekeo memperlihatkan dinamika sosial yang mirip dengan konsep olfactory adaptation dalam psikologi: ketika seseorang terus-menerus terpapar bau busuk, sistem penciumannya berhenti merespons. Pada awalnya, bau itu terasa menjijikkan, namun lama-kelamaan sensasi tersebut menghilang dari kesadaran. Neurosains menjelaskan bahwa otak manusia-khususnya sistem limbik dan korteks olfaktori-mengalihkan perhatian dari stimulus yang berulang, karena dianggap tidak lagi membawa informasi baru. Analogi ilmiah ini tepat untuk membaca respons VDS terhadap tulisan saya. Orang yang lama hidup di lingkungan yang sarat penyimpangan moral pada akhirnya berhenti melihatnya sebagai penyimpangan. Yang salah terasa benar, yang busuk terasa wajar.
Respons emosional dan membabi buta VDS terhadap tulisan “Ketika Jumpa Pers Menjadi Ajang Caci Maki” justru memperlihatkan hal itu. Ia keluar dari konteks, menyerang pribadi, dan tanpa sadar menguak pola lama jejaring mafia yang selama ini bekerja dalam gelap. Dalam ranah psikologi sosial, reaksi yang overdefensive sering kali merupakan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) bernama projection: menuduh orang lain atas sesuatu yang sebenarnya sedang dilakukan atau dikhawatirkan oleh dirinya sendiri. Ketika VDS menuduh saya tanpa dasar sebagai “corong politik tertentu”, yang tampak justru bayangan kecemasan dan keterlibatannya sendiri dalam pusaran kekuasaan yang ia bela dengan fanatisme irasional.
Sebagai penulis, tugas saya adalah membangun sinyalemen: dugaan ilmiah berbasis observasi, wawancara, dan fakta empiris. Dalam ilmu sosial, inference berdasarkan pola perilaku dan data lapangan adalah metode wajar untuk mendeteksi penyimpangan ketika bukti formal belum dapat ditegakkan oleh aparat hukum. Penegakan hukum berada di tangan polisi, jaksa, dan hakim; tetapi analisis sosial adalah ruang publik, ruang intelektual, dan ruang moral. Bahwa mafia tanah, oknum polisi, pengusaha lokal, dan para pemburu rente beroperasi di Nagekeo bukan hanya inferensi, melainkan fenomena sosial yang sudah dirasakan langsung masyarakat terdampak Waduk Lambo: dari kasus Kafe Coklat milik Serfolus Tegu hingga kematian-kematian janggal yang tak pernah diotopsi. Ilmu kriminologi menyebut pola ini sebagai structural violence-kekerasan yang berakar pada sistem yang dibiarkan busuk.
Tuduhan VDS bahwa saya “orang luar” yang tidak paham dinamika lokal hanyalah bentuk argumentum ad hominem-serangan terhadap pribadi, bukan substansi. Ia gagal memahami bahwa proyek Waduk Lambo senilai Rp 1,9 triliun dibiayai APBN, yang 80% bersumber dari pajak rakyat seluruh Indonesia. Dalam konsep negara modern, setiap warga negara berhak dan berkewajiban mengawasi penggunaan uang negara, tanpa dibatasi oleh jarak geografis. Teknologi digital, satelit, komunikasi jarak jauh, dan ekosistem informasi global justru memperluas kemampuan investigasi, bukan membatasinya. Ilmu komunikasi menyebut fenomena ini sebagai deterritorialization: hilangnya batas ruang dalam pertukaran informasi dan pengawasan publik.
Ketika VDS menuduh saya menulis karena diboncengi oleh politisi gagal, ia sebenarnya sedang membuka aib sendiri. Psikologi politik menjelaskan bahwa aktor yang terlibat dalam jaringan kekuasaan informal cenderung menganggap setiap kritik sebagai serangan politik, karena ia sendiri bergerak dalam logika itu. Tuduhan tanpa dasar itu justru mengindikasikan adanya ketakutan bahwa sorotan saya mengenai keterlibatan mafia dalam pemenangan pasangan bupati saat ini mungkin benar adanya. Semakin ia menyerang, semakin terang pola operasi kolusi dan patronase yang selama ini saya tulis. Di titik ini, publik berhak bertanya: apakah kekuasaan di Nagekeo benar-benar lahir dari pilihan bebas rakyat, atau dari operasi sistematis jejaring mafia?
VDS juga menuding bahwa tulisan-tulisan saya meresahkan masyarakat. Ini argumen yang bertolak belakang dengan fakta lapangan. Media independen di seluruh dunia berfungsi sebagai watchdog-anjing penjaga demokrasi. Di level nasional, Kapolri sendiri mendorong media membongkar kejahatan, termasuk yang melibatkan oknum polisi. Tetapi di Nagekeo, media justru dibungkam oleh oknum yang merasa terganggu. Ketika VDS menggelar jumpa pers untuk memoles citra dirinya dan jejaringnya, hasilnya justru sebaliknya: ia memperlihatkan seluruh luka lama yang selama ini ditutup kain tipis narasi pseudo-moral. Dalam ilmu komunikasi massa, ini disebut backfire effect, upaya propaganda yang justru memperkuat persepsi publik tentang kesalahan sang propagandis.
Pada akhirnya, publiklah yang menjadi hakim moral. Mereka yang hidup terlalu lama dalam udara busuk mungkin sudah kehilangan kepekaan, tetapi masyarakat luas masih dapat mencium bau busuk itu dengan jelas. Tulisan saya hadir bukan untuk menyenangkan siapa pun, tetapi untuk menyuarakan mereka yang selama ini dibungkam. Fakta-fakta sosial, perilaku defensif, pola intimidasi, dan rekam jejak para aktor itu sendiri sudah berbicara jauh lebih fasih daripada retorika apa pun. Biarlah publik yang menilai. Sebab dalam masyarakat demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh mereka yang paling keras berteriak, melainkan oleh mereka yang paling jernih melihat.
Benteng Kebohongan Rapuh
Pada akhirnya, tulisan ini bukan sekadar respons terhadap serangan membabi buta VDS, melainkan upaya untuk menyingkap pola kebusukan yang telah lama menggurita di Nagekeo. Jejaring mafia yang bekerja di balik layar telah terlalu lama memanfaatkan kelengahan publik, menekan media, dan menakut-nakuti warga agar tetap bungkam. Dengan munculnya reaksi emosional dan tidak terukur dari VDS, tabir itu justru terbuka lebar. Setiap kata, setiap tuduhan, dan setiap pembelaan irasional yang ia lontarkan hanya semakin memperjelas keterikatan dirinya dalam pusaran kepentingan yang selama ini saya soroti.
Sebagai penulis independen, saya berdiri pada prinsip bahwa suara korban, rakyat kecil, dan mereka yang dipinggirkan adalah jauh lebih penting daripada kenyamanan segelintir elite lokal yang hidup dari rente dan manipulasi. Tugas moral saya adalah menyuarakan kenyataan sebagaimana adanya, tanpa takut pada ancaman atau stigma. Pengawasan publik terhadap proyek-proyek negara, termasuk Waduk Lambo, adalah kewajiban demokratis yang tak boleh dibungkam. Reaksi berlebihan dari VDS dan kawan-kawan justru menunjukkan betapa rapuhnya benteng kebohongan yang selama ini mereka bangun.
Tulisan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kebusukan sosial, seperti halnya adaptasi terhadap bau busuk dalam ilmu psikologi, dapat menumpulkan kepekaan manusia. Ketika penyimpangan terus dibiarkan, maka yang salah terasa benar dan yang jahat terasa lumrah. Itulah yang terjadi pada mereka yang hidup terlalu lama dalam jaringan mafia. Mereka tidak hanya berhenti mencium bau busuk di sekitar mereka-mereka bahkan berhenti menyadari bahwa diri mereka sendiri telah menjadi bagian dari kebusukan itu.
Kini semua kembali kepada publik. Fakta-fakta telah disampaikan, pola perilaku telah ditelanjangi, dan reaksi para aktor telah memperlihatkan wajah mereka yang sebenarnya. Masyarakat Nagekeo berhak atas kebenaran, keadilan, dan pemerintahan yang bersih dari manipulasi mafia. Tulisan ini saya persembahkan bagi mereka: kaum kecil, kaum teraniaya, dan mereka yang suaranya selama ini coba dipadamkan. Secara istimewa kepada ketiga ketua suku dan warga suku Redu, Gaja dan Isa. Pada akhirnya, biarlah publik yang menilai, karena suara rakyat jauh lebih jujur daripada teriakan mereka yang sedang panik menutupi jejaknya sendiri. ***








