GM Mendegradasi Dirinya Menjadi Tokoh Nangaroro (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (8)
WARTA-NUSANTARA.COM– Apa boleh buat. Komjen Pol (Pur) Gories Mere sudah mendegradasi dirinya. Tokoh nasional yang pernah mengharumkan nama Indonesia ini mau menerima wawancara dari wartawan pemula, yang masih “mentah”. Membaca tulisan yang dimuat di sebuah media abal-abal, saya tidak yakin bahwa itu hasil wawancara dengan GM. Karena apa ya, GM mau mendegradasi dirinya? Apa iya, GM setuju dengan narasi ad hominem dan brutal? Apakah GM setuju dengan penggunaan kata “jatah preman”? Tapi, jika itu benar-benar GM yang menjadi narasumber dan hasil wawancara tidak dipelintir oleh penulis berita yang masih “mentah” tapi memaksakan diri itu, maka GM bukan lagi tokoh nasional, melainkan sudah mendegradasikan kualitasnya menjadi tokoh Nangaroro, Nagekeo, Flores, NTT.



Saya berusaha untuk tidak mempercayai isi tulisan berjudul Steph Tupeng Witin: Raja Fitnah yang Hidup dari “Jatah Preman” yang dimuat di Politisinusantara.com, sebuah media abal-abal, 12 December 2025. Namun, jika itu 100% benar, maka respons saya sebagai berikut. Pertama, diksi “jatah preman” berkonotasi buruk. Jatah preman adalah pungutan haram dan perbuatan melawan hukum, dilakukan dengan modus pemerasan dan intimidasi, mengatasnamakan keamanan atau hak semu, tanpa dasar hukum, dan secara nyata merugikan korban. Dalam hukum pidana, praktik ini dapat masuk kategori pemerasan, pengancaman, dan pungutan liar.



Diksi “jatah preman” acap dipakai secara metaforis untuk menggambarkan bagian keuntungan, uang, fasilitas, atau pengaruh yang “harus” diberikan kepada pihak tertentu sebagai syarat keamanan, kelancaran, atau pembiaran di luar mekanisme hukum dan aturan resmi. Jatah preman adalah simbol dari pemerasan terselubung, upeti modern, biaya perlindungan ilegal, dan pembagian rente kekuasaan informal.




Pihak yang meminta jatah preman adalah preman, yakni pihak yang memperoleh keuntungan ekonomi melalui intimidasi, ancaman, kekerasan fisik atau psikologis dengan memanfaatkan rasa takut korban. Jatah adalah pungutan yang bersifat rutin (harian, mingguan, bulanan), dianggap “kewajiban” oleh korban meski tidak pernah disepakati secara sah. Jatah preman diberikan agar tidak diganggu, tidak dirusak, tetap “diizinkan” berusaha di suatu wilayah meski usaha tersebut tidak sah secara hukum dan fiktif.
Dari penjelasan ini, istilah jatah preman tidak pantas disematkan kepada saya. Bantuan yang diberikan GM kepada saya bersifat sukarela. Terhadap semua kebaikannya, saya mengucapkan terima kasih. Saya tidak perlu masuk terlalu jauh pada urusan privat ini. Sebab, yang namanya bantuan atau pemberian tidak perlu dibeberkan kepada publik kecuali pemberian itu menggunakan dana publik. Penyampaian kepada publik adalah bagian dari akuntabilitas.
Kedua, GM mengumumkan semua bantuan dia kepada saya dengan tujuan untuk “menaklukkan” saya. Secara moral, bantuan kepada sesama tidak boleh bertujuan untuk menaklukkan, mengikat, atau menguasai orang yang dibantu. Ketika bantuan dijadikan sarana dominasi, maka ia berhenti menjadi tindakan kasih dan berubah menjadi instrumen kekuasaan.
Dalam etika kemanusiaan, relasi antara pemberi dan penerima bantuan harus berdiri di atas kesetaraan martabat, bukan hierarki kuasa. Pemberi tidak lebih tinggi secara moral hanya karena ia memberi; sebaliknya, penerima tidak lebih rendah hanya karena ia menerima. Bantuan yang disertai tuntutan loyalitas, rasa berutang, atau kepatuhan personal adalah bantuan yang tercemar secara etis.
Secara moral-filosofis (Kant), manusia tidak boleh diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Menggunakan bantuan untuk “menaklukkan” orang lain berarti menjadikan manusia sebagai objek, bukan subjek bermartabat. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip etika universal.
Lebih jauh, dalam etika kebajikan, memberi seharusnya membebaskan dan memberdayakan, bukan menjerat. Bantuan yang benar memulihkan otonomi, bukan menciptakan ketergantungan psikologis, sosial, atau moral. Jika seseorang merasa takut, malu, atau terikat karena pernah dibantu, maka bantuan itu telah gagal secara moral.
Karena itu, bantuan sejati tidak menciptakan relasi tuan–hamba, melainkan relasi sesama manusia. Ia tidak menundukkan kehendak, tidak membeli kesetiaan, dan tidak menuntut balasan dalam bentuk pembenaran diri atau pembungkaman kritik.
Bantuan atau pemberian kepada seseorang tidak perlu diumumkan kepada public-terlebih jika disertai tujuan mempermalukan-karena bertentangan dengan prinsip moral, etika sosial, dan martabat manusia. Penjelasannya dapat dilihat dari beberapa sudut berikut.
Setiap orang, termasuk yang menerima bantuan, memiliki hak atas martabat dan kehormatan diri. Mengumumkan bantuan kepada public-apalagi dengan nada menyudutkan-menggeser fokus dari kepedulian menjadi pamer kuasa. Penerima tidak lagi diperlakukan sebagai sesama manusia, melainkan sebagai objek legitimasi moral pemberi. Dalam etika kemanusiaan (human dignity ethics), manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan lain, termasuk pencitraan atau pembenaran diri.
Dalam filsafat moral dan ajaran agama-agama besar, ketulusan adalah inti dari memberi. Ketika bantuan diumumkan secara demonstratif, terlebih dengan maksud mempermalukan, maka motivasi moralnya bergeser dari solidaritas ke superioritas, dari belas kasih ke kontrol narasi.
Dalam sosiologi (Pierre Bourdieu), tindakan semacam ini disebut kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang tidak fisik, tetapi melukai harga diri, posisi sosial, dan psikologis seseorang. Penerima bantuan bisa distigma sebagai pihak yang lemah, bermasalah, atau “berutang moral”, kehilangan otonomi dan suara, dan mengalami rasa malu yang berkepanjangan. Padahal, tujuan dari bantuan seharusnya memulihkan, bukan melukai.
Ketika bantuan diumumkan untuk menyerang reputasi orang lain, membela diri dari kritik, atau membangun narasi “aku orang baik, kamu tidak”, maka bantuan itu kehilangan nilai etikanya dan berubah menjadi alat retorika atau senjata sosial. Kebaikan yang dipakai untuk menyerang bukan lagi kebaikan, melainkan manipulasi moral.
Dalam konteks sosial Indonesia, menjaga kehormatan (face-saving) adalah nilai penting. Mengumumkan bantuan kepada individu-terutama jika dikaitkan dengan kesalahan, konflik, atau ketergantungan-dipandang sebagai tidak tahu adat, tidak berempati, dan merusak harmoni sosial. Orang yang benar-benar bijak akan menolong tanpa membuat orang lain “berutang rasa malu.”
Bantuan tidak perlu diumumkan ke publik karena kebaikan tidak membutuhkan panggung, martabat manusia tidak boleh dikorbankan, dan empati sejati bekerja dalam diam. Jika bantuan diumumkan untuk mempermalukan, maka yang sedang dipertontonkan bukan kebaikan, melainkan ego dan kuasa.
Sebagai seorang imam, apalagi dalam Ordo SVD, gaya hidup saya biasa saja sebagaimana para imam biarawan pada umumnya. Saya tidak punya harta benda selain, kamera sederhana dan laptop untuk menulis. Sebagai imam dan penulis, saya paham, Tuhan menolong manusia lewat manusia. Banyak orang tulus yang memberikan bantuan kepada sesama dengan keyakinan bahwa dirinya hanya menjadi saluran berkat Tuhan untuk sesama. Mereka punya keyakinan bahwa kekayaan mereka miliki adalah titipan Tuhan.
Dalam etika moral universal (Immanuel Kant), manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya, bukan sebagai alat. Mengumumkan bantuan untuk mempermalukan penerima berarti menginstrumentalisasi orang lain demi kepentingan citra, pembenaran diri, atau serangan balik. Kebaikan yang merendahkan martabat bukanlah kebaikan.
Dalam etika kebajikan (virtue ethics, Aristoteles), nilai moral sebuah tindakan ditentukan oleh niat, karakter, dan orientasi pada kebaikan bersama. Bantuan yang diumumkan dengan maksud mempermalukan menunjukkan kesombongan, keinginan berkuasa secara simbolik, dan kekosongan empati. Sepintas, tindakannya mungkin “terlihat baik”, tetapi secara moral cacat.
Dalam etika sosial modern, mempermalukan seseorang di ruang publik adalah bentuk kekerasan non-fisik: melukai harga diri, menciptakan stigma, dan memperdalam ketimpangan relasi kuasa. Bantuan sejati seharusnya memulihkan relasi, bukan mengukuhkan dominasi.
Yesus secara eksplisit melarang pamer kebaikan. “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka… Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Mat 6:1-4) Kebaikan yang diumumkan demi pujian manusia kehilangan nilai di hadapan Allah. Tuhan menilai hati, bukan panggung.
“Kasih itu tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih tidak melakukan yang tidak sopan.” (1 Kor 13:5) Mempermalukan penerima bantuan bertentangan langsung dengan definisi kasih Kristen dan mengubah relasi kasih menjadi relasi kuasa. Jika sebuah tindakan membuat orang lain malu, itu bukan kasih.
Pemberian yang tulus tidak menghakimi. “Siapa yang memberi, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas.” (Rom 12:8) Ikhlas artinya tanpa syarat tersembunyi, tanpa agenda mempermalukan, dan tanpa niat membenarkan diri.
Tapi, apa boleh buat. GM memilih jalan untuk mempermalukan saya dengan mengumbar ke publik semua kebaikannya kepada saya. Hidup adalah pilihan. Secara pribadi, saya sangat menghormati ketokohan GM. Dalam serial tulisan saya, saya tidak pernah menyebut nama GM secara eksplisit. Justru yang membuka nama GM ke ruang publik adalah orang-orang yang berada di lingkarannya: Tobbyas Ndiwa dan terakhir Valens Daki-Soo, bahkan dengan menggelar jumpa pers yang sarat masalah. VDS malah dilawan oleh dua jurnalis lokal yang kritis dan kredibel dalam jumpa pers itu. Malah ada jurnalis kritis yang meninggalkan jumpa pers karena tidak ada nilai tambah baginya selain menjadi ajang serangan pribadi dan caci maki kepada saya. Dalam tulisan sebelumnya, saya menyebut itu sebagai sebuah kebiadaban!
Ketiga, GM tidak bisa melarang apalagi menghentikan saya untuk menyoroti masalah mafia di Nagekeo dengan alasan saya menerima bantuan darinya. Dalam menghadapi pilihan: membongkar praktik mafia di Nagekeo atau bungkam karena saya sudah menerima banyak bantuan dari GM? Saya memilih untuk membongkar mafia di Nagekeo. Sinyalemen saya tentang mafia di Nagekeo sangat penting untuk mengajak media massa agar berani melakukan investigasi dan mengobarkan keberanian warga Nagekeo untuk melawan mafia yang merampas hak dan menganiayai mereka.
Saya memilih untuk menyuarakan suara mereka yang tidak mampu bersuara (voice of the voiceless). Saya memilih untuk membela para ibu dan bapak suku Redu, Gaja dan Isa yang kehilangan tanah dan harta. Saya memilih untuk bertarung demi mereka yang teraniaya dan diperlakukan dengan tidak adil dan tidak manusiawi. Saya mempertaruhkan hidup saya agar mereka memperoleh kembali hak konstitusi dan hak asasi mereka. Penghinaan yang dilontarkan GM dan geng mafia saya terima dan saya telan sebagai risiko sebuah perjuangan. Sekali lagi, hidup adalah pilihan.
Saya mendapatkan banyak masukan dari berbagai pihak. Mafia di Nagekeo adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan. Sinyalemen saya berdasarkan informasi lapangan. Andaikan para pekerja media di Nagekeo tidak dikriminalisasi, mereka akan dengan bebas melakukan investigasi. Publik akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang praktik mafia di Nagekeo. Serial tulisan saya dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian para awak media agar kembali berperan sebagai watchdog, anjing penyalak yang mengawal jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Kinerja eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk polisi, harus diawasi media.
Keempat, dalam wawancara dengan jurnalis Politisinusantara, GM “tidak sengaja” mengakui kedekatan dengan AKBP Yudha Pranata dan AKP Serfolus Tegu? Secara naratif, pengakuan itu jelas dan tak terbantahkan. Agar lebih jelas, saya kutip sebagian penggalan wawancara;
“Jurnalis:
Pak Gories, dalam beberapa waktu terakhir muncul tulisan berseri dari STW yang berkali-kali menyebut nama AKBP Yudha Pranata dan AKP Serfolus Tegu. Bagaimana Anda melihat rangkaian tulisan itu?
Gories Mere:
Terus terang, saya melihat ada pola. Tulisan-tulisan itu muncul beruntun, dan bagi saya jelas ada korelasinya dengan peristiwa yang pernah terjadi jauh sebelumnya-terutama ketika seorang pejabat dari Nagekeo datang bersama “orang media Jakarta asal Nagekeo”, meminta agar AKBP Yudha dan AKP Serfolus dipindahkan dari Nagekeo.
Jurnalis:
Anda juga menyebut ada kejadian pada tahun 2022. Bisa dijelaskan?
Gories Mere:
Ya. Tahun 2022, dua figur public-pejabat Nagekeo dan seorang direksi media dari Jakarta-datang ke rumah saya. Mereka meminta bantuan agar AKBP Yudha dipindahkan. Mereka bahkan mengaku sudah bertemu Kapolda NTT untuk mendorong hal itu.
Jurnalis:
Apa langkah yang Anda ambil saat itu?
Gories Mere:
Saya telepon langsung Kapolda, di depan mereka berdua. Jawabannya tegas: AKBP Yudha bekerja baik dan berperan penting menjaga keamanan pembangunan Waduk Lambo. Tidak ada alasan profesional untuk memindahkannya.”
Dalam wawancara ini, GM secara eksplisit mengakui hubungan langsung dan komunikasi personal dengan Kapolda NTT terkait Yudha Pranata dan menyatakan pembelaan aktif terhadap kinerja AKBP Yudha. Sedangkan dalam tulisan Valens Daki-soo (VDS) sebelumnya, staf khusus dari mantan staf khusus itu menjelaskan, Serfolus Tegu (Tegu) adalah orang kepercayaan dia sejak Polres Ngada. Waktu itu Polres Nagekeo belum terbentuk. Tegu dipercayakan GM untuk menyukseskan sosialisasi hingga pembangunan Waduk Lambo.
Pada serial tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa GM tidak lagi menjadi staf khusus Presiden Jokowi sejak 2019, sedang Waduk Lambo mulai dibangun September 2021 dan Polres Nagekeo terbentuk akhir 2020. Kedekatan GM dan Tegu tak terbantahkan. Wajar jika publik bertanya, apa legal standing GM untuk terus mengatur Tegu di lapangan? Tidak salah bila publik umumnya melihat Tegu sebagai representasi GM. Apalagi fakta di lapangan, Tegu selalu mencatut dan membawa-bawa nama GM. Kita bertanya: mengapa GM bungkam dan tidak mengambil tindakan kepada Tegu yangf membawa-bawa nama GM?
Di titik inilah kita prihatin. GM pada masanya adalah tokoh nasional kebanggaan kita orang NTT. Salah satu pendiri Densus 88, tenaga reserse yang andal, mantan Kepala BNN, dan menjadi simbol penegakan hukum dan moralitas negara. Namun, dalam wawancara ini, ia justru menurunkan levelnya. Ia masuk ke narasi polisi lokal bermasalah dan secara terbuka mengambil posisi membela figur yang oleh masyarakat lokal dianggap bagian dari mafia.
Akibatnya, GM menarik reputasi nasionalnya ke dalam pusaran konflik lokal yang belum tuntas, belum dibersihkan, dan sarat dugaan. Dalam etika kepemimpinan publik, ini disebut self-inflicted reputational downgrade (degradasi reputasi yang dilakukan sendiri).
Dalam narasi GM, Yudha dan Tegu adalah profesional yang menjaga proyek Waduk Lambo. Penolakan publik Nagekeo dinilai sebagai tekanan, manipulasi, permainan kotor. Penilaian GM bertentangan langsung dengan pengalaman dan persepsi luas masyarakat Nagekeo. Ada fakta lapangan yang tidak disentuh GM, yakni dugaan mafia lokal, operasi KH Destroyer bentukan Yudha Pranata dan AKP Tegu yang belum dibubarkan, konflik Waduk Lambo yang panjang dan berdarah secara sosial.
Ketika GM tidak menyentuh fakta ini, tapi langsung membela aparat, ia tampak bukan sebagai penengah, tetapi sebagai bagian dari sistem yang sedang dipersoalkan. Inilah yang berbahaya! Itu sebabnya, saya menyimpan curiga, jangan-jangan wawancara jurnalis karbitan itu adalah wawancara imajiner!
Titik paling fatal adalah ketika GM mengaitkan dirinya dengan “Mafia Waduk Lambo”. Ironisnya, GM mengeluh namanya diseret ke istilah “mafia Waduk Lambo”, tetapi justru melalui wawancara ini ia mengaku ikut mengamankan figur kunci proyek, mengakui dimintai tolong “mengurus dari Mabes”, dan mengakui posisinya sebagai rujukan elite lokal. Secara sosiologis kekuasaan, siapa saja yang bisa “mengurus” dari pusat, sudah berada di orbit kekuasaan proyek. Ini bukan tuduhan pidana, melainkan konsekuensi simbolik.
GM menyimpulkan, serial tulisan saya adalah fitnah berseri, lanjutan permintaan gagal. Masalahnya, GM tidak membantah substansi tuduhan lapangan satu per satu, tidak menghadirkan data tandingan, dan hanya menghadirkan narasi motif. Wawancara dengan Polda NTT adalah pendekatan legal-formal dan jawaban yang diterima pun legal-formal. Jauh dari substansi yang menjadi masalah publik.
Dalam etika jurnalistik dan hukum, motif tidak membatalkan fakta. Kalau Yudha dan Tegu bersih, buktikan secara terbuka! Audit tindakan, dan buka proses. Bukan dengan membingkai penulis sebagai alat kepentingan.
Fakta yang dinarasikan GM ini sama dengan yang dikoarkan staf khusus dari yang tidak staf khusus lagi, Valens Daki Soo dan komplotan begundal mafia Nagekeo yang doyan menebar teror dan fitnah sampah di media sosial. Mereka sibuk menyerang pribadi dan mengabaikan substansi masalah. Memang begitu tabiat kaum panik. Padahal mereka juga bukan malaikat. Ada perilaku brutal yang terekam. Terakhir, diduga satu anggota komplotan mafia yang menyerang saya: Asis Ajo Bupu. Orang ini ternyata Pelaksana Tugas Kabag Umum Setda Nagekeo. Ini orang masih berstatus: tersangka kasus PLTS. Heran, orang berstatus tersangka masih pegang jabatan publik. Orang ini bersama Hans Gore doyan “menggoreng” halusinasi mereka sendiri hingga hangus di moncong Gore. Kamu ini memangnya siapa? Tidak tahu diri! Masuk ke halaman rumah orang, tanpa urat malu laluj berkoar persis Beelzebul.
Jika GM punya niat serius membantu Nagekeo, yang dia lakukan bukan menelepon Kapolda untuk mendapatkan rapat Yudha Pranata, melainkan meminta Mabes Polri melakukan investigasi senyap. Kedatangan mereka tidak perlu diketahui oleh Polda apalagi Polres Nagekeo.
GM sebagai orang Nagekeo juga bisa mewawancarai langsung orang Nagekeo: para pemilik lahan di waduk, para pemilik tanah galian C, keluarga ladies dan polisi yang mati di Kafe Coklat, ibu yang tertipu oleh Tegu dalam mengurusi anaknya menjadi calon polisi. Sang Ibu sudah menyerahkan uang di atas Rp 100 juta, tapi anaknya tidak lolos tanpa penjelasan. Kiprah Tegu sering dikaitkan dengan mafia tanah dan BBM. Semua fakta itu sudah tertulis dalam serial tulisan saya. Hanya orang yang membaca serial tulisan saya secara lengkap bisa memahami semua persoalan ini.
Dalam ruang publik yang sarat ketidakpercayaan terhadap institusi, penilaian masyarakat atas sebuah kontroversi tidak lagi semata ditentukan oleh kekuatan argumen legal-formal, melainkan oleh kredibilitas moral pihak yang berbicara. Studi komunikasi politik dan sosiologi pengetahuan menunjukkan bahwa publik modern cenderung memercayai narasi yang konsisten, transparan, dan bebas dari kepentingan kekuasaan, terutama ketika isu yang diperdebatkan menyangkut relasi aparat, proyek strategis, dan kepentingan lokal.
Penjelasan GM disampaikan dengan kerangka prosedural yang rapi: rujukan pada komunikasi dengan Kapolda, penilaian kinerja aparat, serta legitimasi formal negara. Secara administratif, narasi ini tampak kuat. Namun, secara sosiologis, pendekatan semacam ini kerap dipersepsikan publik sebagai pembelaan internal elite, terutama ketika substansi tuduhan—soal relasi kuasa dan dugaan jaringan informal—tidak disentuh secara langsung.
Sebaliknya, serial tulisan memperoleh daya resonansi bukan karena kekuatan legalnya, melainkan karena posisi moral penulisnya. Sebagai imam yang hidup sederhana dan tidak berada dalam struktur kekuasaan, saya tampil sebagai saksi sosial (moral witness). Dalam literatur etika publik, kesaksian semacam ini sering dinilai lebih autentik, karena tidak lahir dari kewenangan, melainkan dari keberpihakan pada nurani dan pengalaman komunitas.
Fenomena ini memperlihatkan pergeseran penting dalam cara publik menilai kebenaran. Otoritas formal tidak lagi otomatis menghasilkan kepercayaan, sementara konsistensi moral, gaya hidup, dan jarak dari kepentingan struktural justru menjadi sumber legitimasi baru. Dalam konteks ini, bahasa prosedural yang defensif mudah dibaca sebagai upaya normalisasi kuasa, bukan sebagai klarifikasi substantif.
Dengan demikian, perdebatan antara narasi GM dan STW bukanlah pertarungan benar-salah secara hukum, melainkan cerminan krisis kepercayaan institusional. Publik cenderung berpihak pada suara yang dianggap jujur dan tidak berkepentingan, meski lemah secara formal. Di sinilah pelajaran utamanya: dalam demokrasi yang matang, kepercayaan publik lebih sering dimenangkan oleh integritas moral daripada oleh otoritas prosedural.
Kita tambahkan: otoritas moral itu tidak ditentukan oleh bandang tulisan yang disebar secara masif ke semua media abal-abal yang pasti dibayar untuk membangun kepercayaan instan. Publik sudah tahu realitas dan suara yang tulus memperjuangkan nasibnya. Jangan memaksakan diri menjadi “suara rakyat” hanya dengan koaran ad hominem miskin substansi masalah. Apalagi melalui media-media sosial yang hanya memamerkan kedunguan, ketololan dan hoaks dari mulut para komplotan begundal mafia yang gelisah mendekati akhir pesta pora perampokan hak orang kecil di Redu, Gaja dan Isa.
Mendegradasi Diri Sendiri
Kita menyayangkan kesediaan GM dalam wawancara dengan media abal-abal oleh reporter yang baru belajar jurnalistik. Nama besar GM sebagai tokoh nasional asal NTT mesti kita jaga bersama. Tapi, apa boleh buat, jika itu pilihan hidup GM yang kita hormati.
Saya perlu menegaskan, pertama, tulisan ini tidak lahir dari dendam personal, melainkan dari keprihatinan mendalam atas runtuhnya standar moral seorang tokoh nasional. Ketika Komjen Pol (Pur) Gories Mere memilih masuk ke ruang wacana yang kasar, ad hominem, dan penuh diksi premanistik, ia sesungguhnya sedang menurunkan martabat yang dibangunnya sendiri selama puluhan tahun. Reputasi nasional tidak runtuh karena serangan lawan, tetapi karena pilihan kata, posisi, dan keberpihakan yang keliru.
Kedua, penggunaan istilah “jatah preman” bukan sekadar soal bahasa, melainkan soal makna sosial dan hukum. Istilah itu mengandung stigma kriminal, relasi kuasa ilegal, dan praktik pemerasan. Ketika diksi semacam ini dilekatkan pada relasi bantuan personal, ia bukan hanya menyesatkan, tetapi juga merendahkan martabat penerima. Bantuan yang diumumkan untuk menundukkan atau mempermalukan telah kehilangan nilai etikanya dan berubah menjadi instrumen dominasi simbolik.
Ketiga, tidak ada bantuan-berapa pun nilainya-yang dapat membeli nurani, membungkam kritik, atau menghentikan kewajiban moral untuk membela mereka yang tertindas. Pilihan untuk terus menyingkap dugaan praktik mafia di Nagekeo adalah pilihan etis, bukan politis. Ia berpijak pada tanggung jawab moral sebagai warga, sebagai imam, dan sebagai manusia yang menolak bungkam di hadapan ketidakadilan, meski harus menanggung risiko sosial dan personal.
Keempat, wawancara GM justru memperlihatkan keterlibatan simbolik yang problematik: pengakuan kedekatan dengan aparat lokal bermasalah, pembelaan aktif, serta posisi sebagai rujukan elite proyek. Tanpa membantah substansi tuduhan lapangan secara terbuka dan transparan, pembelaan legal-formal semata tidak cukup. Dalam etika kepemimpinan publik, ini adalah self-inflicted reputational downgrade-degradasi reputasi yang dilakukan sendiri-karena menarik nama besar ke pusaran konflik lokal yang sarat dugaan.
Kelima, perdebatan ini pada akhirnya bukan soal siapa paling kuat secara prosedural, melainkan siapa yang paling kredibel secara moral. Di tengah krisis kepercayaan institusional, publik cenderung mempercayai suara yang konsisten, sederhana, dan bebas kepentingan kuasa. Pelajarannya jelas: otoritas formal tidak lagi otomatis melahirkan kepercayaan; integritas moral-lah yang menentukannya. Selebihnya, biarlah publik menilai dengan akal sehat dan nurani yang jernih.
Integritas moral itu kita bangun di atas dunia ini dengan keutuhan diri dan kemanusiaan. Kita semua manusia rapuh. Tidak ada yang sempurna. Ibarat periuk tanah yang mudah retak. Apakah kita harus menunggu malaikat turun untuk membela orang-orang kecil dan tertindas? Apakah kita hanya bungkam menyaksikan orang-orang kecil di Redu, Gaja dan Isa dirampas hak-haknya secara kasar oleh terduga komplotam begundal mafia hanya karena kita punya “keretakan” masa lalu? Bagi saya, komitmen untuk setia berziarah penuh pengharapan dengan orang-orang kecil di Redu, Gaja dan Isa adalah pilihan nurani kemanusiaan yang tidak akan bisa dikalahkan oleh bandang duniawi sekuat apa pun! ***








