Kmpung Lamalera adalah kampung nelayan tradisional yang dari dulu terkenal dengan budaya perburuan ikan paus secara tradisional ini memilki banyak keunikan. Meskipun Lamalera daerhanya kering dan banyak bebatuan. kampung ini punya magis luar biasa.
Di pesisir pantai kampung Lamalera ini terlihat jejeran rumah peledang (Perahu Tradisional) dengan pemandangan pantai yang sangat indah, kampung Lamlera ini akan senantiasa memberikan kesan eksotis unik bagi setiap orang yang pernah datang ke sana. Kesan terhadap kampung Lamalera yang keras dan tangguh terasa ketika kita memasuki pintu gerbang kedatangan di Levo Lamalera.
Orang Lamalera pada umumnya tangguh karena mereka hanya hidup dari usaha keras mereka di laut. Tanpa hasil berburuh ikan-ikan besar di laut Sawuh, mereka akan hidup lapar. Karena itu saban hari laut ketika sedang bergelora atau sedang berdamai mereka akan tetap pergi ke laut. Pertaruhan hidup seperti ini, selama ini sudah mereka lakoni sejak ratusan tahun silam. Sehingga bagi siapapun yang pernah ke Lamalera dan merasakan degup nadi kehidupan orang Lamalera, akan langsung paham bahwa, jika ditempat lain, darat adalah hidup maka di Lamalera laut adalah kehidupan. Di Kampung Lamalera kita tidak akan menemukn keluarga yang hidup sebagai petani. Semuanya nelayan tulen termasuk para janda dan yatim piatu meskipun mereka tidak punya seoarang laki-laki yang turum ke laut, hidup mereka aman karena didonasi oleh para nelayan dan keluarga lewat sisiti barter yaitu tukar jagung dengan ikan, dan pemberian sukarela saat ada ikan paus yang ditambatkan dibibir pantai Lamalera, masyrakat dikampung Lamalera ini akan bersika cita karena mereka paham bahwa, hidup mereka termasuk para fakir miskin dan keluarga tidak mampuh, kan bertahan hidip beberapa bulan kedepan. Dari minyak ikn paus, kulit ikan paus dan dendeng ikn paus yang dikeringkan, mereka juga akan mendapatkan ubi, padi dan buah-buahan dari saudara mereka di pedalaman. Itulah keunikan sistem ekonomi di kampung Lamalera. Masih ada barter yakni tukar menukar ikan dengan hasil bumi. Jadi selama ratusan tahun orang Lamalera hanya hidup dari ikan yang di barter dengan hasil bumi. Mereka percaya bahwa tampa ikan hidup mereka akan sengsarah. Oleh karena itu, di Lamalera kehidupan di darat akan diadili di laut. Sehingga ada banyak pantangan dan larangan bagi setiap orang dalam hidup kita, tidak boleh bertengkar jika ingin selamat di laut. Demikian juga dengan iman.
Selain percara kepada leluhur dan nenek moyang dalam ritual dan adat istiadat, orang Lamalera sangat percaya kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Lamalera juga merupakan gerbang masuknya agama Katolik di pulau Lembata, orang Lamalera memiliki ikatan yang sangat kuat dengan gereja Katolik. Karena itu, hanya di Lamalera saja kita dapat menyaksikan koor atau nyanyian yang dibawakan oleh para pria yaitu para nelayan, saat upacara pembukaan tahun berburu di pantai Lamalera pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya.
Kepercayaan pada Tuhan membuat mereka yakin bahwa Tuhan akan memberi mereka hidup dari laut. Sehingga orang Lamalera selalu menyandarkan hidup mereka dari kemurahan hati “Ina Lefa” atau ibu kehidupan yaitu laut. Merka paham bahwa menjaga dan menghormati laut adalah juga menghormati dan memuji kemurahan hati Sang Pemberi Hidup, Allah pemberi napas kehidupan.
Selain berbagai macam keunikan budaya orang Lamalera juga mempunyai baerbagai ritus adat yang wajib hukumnya untuk dilakukan setiap tahun. Tanpa melewati berbagai ritus itu, mereka tidak pernah mendapat berkat dari laut. Sehingga bagi siapa saja yang pernah ke Lamalera, akan merindukan semuanya itu. Mulai dari aroma pantainya yang penuh dengan nuansa ikan, juga suasana kampunnya yang selalu sunyi saat perahu-perahu nelayan pergi ke laut, serta kesibukan ibu-ibu sudah sejak subuh pergi ke pedalaman untuk barter ikan dengan hasil bumi.
Tentu saja yang paling ditunggu di Lamalera adalah perburian ikan paus secara tradisional. Para nelayan disana hanya menggunakan peralatan tradisional seperti peledang (Perahu kayu dengan menggunakan layar) dan tempuling (tombak yang ujungnya berkait yang terbuat dari baja). Di kampung Lamalera juga memiliki puluhan tradisi unik, mulai dari rumah adat, rumah peledang, tenun ikat, upacara pemanggilan roh ikan di batu ikan paus, juga ritual misa leva di bibir pantai, budaya pnetang atau barter ikan dan hasil bumi, pasar barter di Wulandoni, juga hal-hal unuk lainya yang berkaitan dengan iman mereka kepada Tuhan yang di topang oleh kepercayaan mereka pada roh leluhur.
Sebagai kampung nelayan yang setia pada budaya melaut desa kering ini sejak rtusan tahun, menjadi sangat terkenal ke seantero dunia. Konsistensi masyarakatnya dalam merawat dan meneruskan warisan budaya nenek moyang menjadi kekuatan utama kampung para lamafa ini. Lamafa adalah para ikan paus mereka ini sangat dihormati oleh masyarakat karena jiwa petarung nya di lamalera anda akan disuguhi atraksi budaya dan serangkaian ritual sakral yang boleh anak-anak lamalera wajib ditaati beberapa ritual sakral yang biasanya dilalui hingga memasuki musim lefa atau tahun barunya orang lamalera adalah pada tanggal 28 April para tetua adat dari Lika Telo (Bataona, Lewotukan dan Blikololobg), duduk bersama lalu mengirim utusan Ke Langofujo meminta kesediaan suku Langofujo agar pada keesokan harinya 29 April turun ke pantai untuk menggelar musyawarah bersama yang disebut Tobu Neme Fatte.
Menyonsong ritual Tobu Neme Fatte, pada tanggal 29 April sore sekitar pukul 16.00 Wita, para tetua kampung dan unsur Lika Telo juga tuan tanah, para Lama Fa dan meng atau matras, akan turun ke pantai. Di pantai langsungkan ritual Tobu Name Fatte, persis di depan Kapela Santu Petrus, dipimpin rumah adat Lika Telo. Topik bahasan pentingnya adalah mengevaluasi hasil tangkapan musim lefa tahun sebelumnya, dan membangun komitmen dan harapan baru untuk musim Lefa tahun berjalan. Nah, mulai saat itu, laut menjadi Terlarang. Tidak boleh ada yang turun melaut, atau dalam bahasa Lamalera disebut Lefa Pnurung, nggak dibuka kembali usai Misa Lefa 1 Mei setelah Tobu Name Fatte, utusan LikaTelo tanpa diwakili langsung berangkat ke rumah besar Lamamanu, sekitar 3 kilo dari Lamalera ke arah utara, untuk menyampaikan pesan dan keluh kesah kide knuke (orang susah) kedua kampung, Lamalera A dan B, sekaligus meminta fulu kajo lolo untuk para kide knuke yang sedang kelaparan.
Ritual ini biasanya dilakukan pada tanggal 29 April. Seremoni adat Tobu Neme Fatte, menjadi semacam ritus penyelesaian masalah suku dan tuan tanah sebelum berburuh paus. Tujuannya untuk perdamaian. Kalau ada tutur kata, sikap dan perbuatan yang salah, perbedaan pendapat soal apa saja, dituntaskan. Sebab, semua permasalahan harus diselesaikan sebelum dimulainya Misa arwah misa lefa.
Lalu pada tanggal 30 April, menjelang subuh, utusan Lika Telo kembali ke Lamalera, sementara orang Lamamanu bergerak ke gunung menemui para leluhur untuk menyampaikan semua keluh kesah Kide Knuke itu, yang akan dirangkai dengan ritual inti Song Dongot atau Ie Gerek, persis di atas batu yang menyerupai ikan paus.
Memasuki tanggal 1 Mei pagi, semua ritual dan seremoni adat itu disatukan dalam ekaristi Kudus di depan Kapela Santo Petrus yang lasim disebut Misa Lefa, usai Misa Lefa antara perahu Praso Sapang dan Nara Tene, langsung melakukan Lefa Perdana yang populer dengan sebutan Tenna Fulle, dilanjutkan lagi dengan ritual penutup Kepela yang disebut gelekat tua dan fua malu, atau suku Langofujo dan suku Tufaona bertukat faja dan tuak.(Chele Kedang/Karel Burin).