Catatan Hasil Diskusi Virtual Forum Alumni Kisol 1989
WARTA-NUSANTARA.COM-Group alumni Angkatan 1989 belum lama ini (Minggu 8/8/2021) hadirkan Forum diskusi virtual bertajuk Tantangan Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Masa Pandemi covid-19. Inisiatif forum ini didasarkan pada kesadaran akan pentingnya kolaborasi lintas pengalaman masing-masing peserta dari berbagai perspektif. Perlu diketahui, bahwa secara statistic, forum alumni 89 ini merupakan himpunan dari berbagai kalangan yang seusia masa sekolah menengahnya, dengan berbagai latar belakang profesi.
Total peserta forum yang tergabung dalam group Kisol 89 adalah 130 orang yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dan manca negara. Profesinya pun beragam. 30% didominasi oleh profesi guru dan dosen, 25% di antaranya ASN dalam berbagai level, ada pula yang mengemban peran sebagai Bupati (Bpk Heri Nabit), sebagai anggota Komisi Ombusman Nasional (Bpk Robert Endi Jaweng), Anggota DPR RI (Bapak Melki Lakalena), Anggota DPRD (Bpk Lucius Modo dan Bpk Bona Jemarut), Sekda Manggarai Barat (Bpk Frans Sodo), Pejabat Teras Manggarai Timur (Bpk Jefrin H. Jehaut), Advokat Senior (Bpk Florianus SP Surya Sangsun), Instruktur Kurikulum Pendidikan (Bpk Kornelis Ruben), dan ada juga yang menjadi imam atau pastor di dalam dan di luar negeri.
Komposisi Statistik Forum
Dari sisi level Pendidikan akademis, secara statitistik 60% lulusan Sarjana, 30% berpendidikan Master/S2 dan 10% lainnya berpendidikan level Doktoral atau kandidat Doktor/S3. Secara komposisi, forum virtual ini sangat renyah dalam mengemukakan pemikiran dan gagasan serta sharing pengalaman terkait peran-peran masing-masing sebagai orang tua atau pendidik. Secara usia, forum ini adalah kumpulan para orang tua yang rata-rata (75%) memiliki putera dan puteri yang saat ini sedang duduk di bangku Pendidikan dan menengah. Kolaborasi lintas profesi ini menghadirkan sejumlah gagasan optimis di tengah pesimisme dunia akan dampak buruk dari perubahan sister pembelajaran dari dunia nyata ke dunia maya, dari kelas tatap muka ke kelas virtual.
Ada banyak gap atau kesenjangan pelaksanaan PJJ yang di alami anggota forum baik sebagai pendidik maupun sebagai orang tua. Hal paling memprihatinkan adalah Ketika anak-anak siswa era virtual ini masih terikat dan lebih taat pada instruksi verbalistis gurunya dari sekolah ketimbang mendengarkan arahan orang tuanya di rumah. Bisa dibayangkan, kalua PJJ ini sekedar mendelegasikan tugas mengajar guru di sekolah kepada orang tua di rumah dengan setumpuk materi dan tugas-tugas. Lebih meresahkan lagi kalua PJJ diinterpretasi sekedar memindahkan kelas real dari sekolah ke rumah. Beban lebih berat dirasakan orang tua, dan ini kenyataan empiric didaerah, PJJ dipahami bukan sebagai proses interaksi afeksional guru dan siswa melainkan sekedar transfer penugasan mata pelajaran.
Dibuka dengan acara nostalgia dan saling menyapa diselipi canda pada setengah jam sebelum diskusi dimulai, forum ini berupaya mengulas tema ini secara renyah dalam bentuk saling sharing dengan empati yang tinggi. Banyak hal menjadi sumber jokes dan canda sebelum memasuki topik pembicaraan. Tepat pkl. 19.30 WITA, acara dibuka oleh pemrakarsa diskus, Florianus Sangsun, S.H, M.H, acara ini dimoderasi oleh Bpk Jefrin Haryanto yang memantik diskusi dengan kisah-kisah ilustratif yang menarik seputar perilaku sosial yang banyak berubah dalam masa kerja dari rumah saat ini.
Keberpihakan pada Hak Atas Layanan Pendidikan
Dengan latar keberpihakan terpenuhinya hak dasar anak-anak yang saat ini berada di bangku Pendidikan dasar dan menengah, forum ini, yang notabene, hamper 30% di antaranya berprofesi guru atau dosen, menghadirkan dialog interaktif dalam nada keakraban. Sebab, sesungguhnya hamper semua anggota Angkatan 89, kecuali yang menjadi imam atau masih lajang, adalah ayah dari putera/I mereka yang saat ini persis dalam ancaman lost generation, kalau saja proses Pendidikan dalam system daring saat ini tidak berada dalam koridor yang benar. Artinya, semua pihak resah dengan kondisi interaksi pembeljaran system pjj yang jauh panggang dari api khususnya dalam konteks wilayah NTT.
Membuka diskusi dan sharing, Pak Flori menegaskan pentingnya setiap stakeholders Pendidikan, khususnya para Orang Tua dan Para Guru, untuk beradaptasi dengan kondisi pandemic ini. Antara lain, mengasah kemampuannya dalam memanfaatkan platform digital terkait pembelajaran anak-anak atau siswa sekolah. “Tanpa response yang simetris dengan tuntutan transformasi digital era pandemic, maka ancaman lost quality generation bisa menjadi kenyataan,” ujar Pengacara senior ini.
Hal senada ditegaskan dalam tuturan pembuka moderator forum diskusi ini. Menurut Jefrin Haryanto, saat ini semua orang dewasa yang punya anak, sadar atau tidak sadar, tengah berada dalam era transisi perubahan yang cepat. Menurutnya, situasinya sangatlah darurat, selain konteks penerapan PPKM, juga darurat bagi masa depan Pendidikan generasi muda usia sekolah. Hal itu berimbas pada munculnya berbagai persoalan ikutan baik di sekolah maupun di rumah.
“Mau atau tidak mau kita harus terbuka untuk menjadi orang tua pembelajar,” Imbuh Pendiri Maria Moe Foundation itu. “Lebih jauh, ketidak-siapan orang tua untuk menerima keadaan ini, bisa menjadi pemicu konflik internal rumah tangga, apalagi konteks orang yang dua duanya super sibuk. Dan, bukan tidak mungkin menjadi pemicu kerenggangan hidup rumah tangga.” Kilahnya.
Memasuki era transformasi digital, semua orang tidak lagi dihadapkan pada pilihan, suka atau tidak suka. Era media digital, suatu tantangan baru dan berimplikasi serius di berbagai sector kehidupan ketika Sebagian aksi dan tindakan dunia real beralih ke dunia maya. Maka keharusan untuk memahami penggunaan perangkat-perangkat digital bukanlah masalah pilihan, melainkan masalah mindset, masalah keberterimaan atas perubahan dan tuntuan zaman. Alhasil, semua elemen kehidupan mau atau tidak mau harus meredefinisi kembali tanggung jawab social dan professional.
Pendidikan tidak lagi menjadi klausul dominan tanggung jawab guru di sekolah melainkan juga menjadi tanggung jawab orang tua. Akan tetapi peran moral edukatif dan tupoksi seorang pendidik di sekolah tentunya tidak abai. Utamanya guru-guru sekolah dalam tugas pokok dan fungsinya mendidik harus adaptif dengan teknologi digital pembelajaran daring. Reaksi lambat dan tidak cepat adaptif dari pemangku Pendidikan jelas menjadi kendala.
Pembenaran tentang ‘gagapnya’ guru dalam memanfaatkan teknologi digital hanya menjadi argumentasi klise atas ketidak-siapan untuk berubah sesuai tuntutan situasi. Menunggu pasif “badai berlalu” jelas akan membuat pembelajaran makin runyam. Maka harus ada Langkah konkrit dan taktis dari sekolah agar minimal Pendidikan tetap berjalan. Demikian juga kesiapan siswa dan orang tua untuk mengadaptasi dengan upgrade pemahaman akan teknologi digital adalah keharusan, sesulit apa pun.
Berkah atau Petaka?
“Sistem PJJ itu bukan pilihan tetapi kecelakaan. Semua stake holder pendidikan pasti tidak siap. Ibarat pertandingan bola seperti Barcelona melawan Sepak bola amatir lokal. Lapangan tanding sama namun skill yang dimiliki seperti langit dan bumi. PJJ menggunakan sistem clouds dan harus menguasai teknologi dengan segala aplikasi yang diperlukan.” Demikian ditegaskan oleh Kornel Ruben, salah satu guru senior yang mengajar di Jakarta.
Menurutnya, ada tiga masalah sekaligus solusi dalam menghadapi PJJ yaitu infrastruktur, infostruktur dan infokultur. Pertama, infrastruktur – sulit membayangkan orang-orang di desa terpencil mampu mengadakan sarana prasarana pembelajaran online ini. “Anda bisa hitung sendiri, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk seorang siswa mulai dari perangkat android smartphone, pengisian data, belum lagi penguasaan teknologi para pendidiknya seperti penguasaan tools komputer, aplikasi pembelajaran, jaringan internet, dll ” Imbuh guru yang juga aktif sebagai instruktur kurikulum 2013 di DKI Jakarta ini.
Kedua, infostruktur – sistem jaringan koordinasi dan komunikasi berbagai stake holder seperti sekolah dengan guru, guru dengan siswa, guru dengan orangtua, sekolah dengan orangtua, sekolah dengan pemerintah. Koordinasi dan komunikasi membutuhkan manajemen yang baik untuk memperlacar PJJ mengingat semua dilakukan dari rumah,” terangnya. Ketiga, infokultur – pembiasaan PJJ membutuhkan proses yang panjang karena harus menjadi kebiasaan yang membudaya sebagai model pembelajaran di era milenial,” demikian penjelasan praktisi pendidikan yang juga aktif sebagai anggota Vikep Kependidikan Keuskupan Bogor ini.
Tidak hanya masalah di siswa atau orang tua, mungkin juga bagi guru. Akan tetapi pernyataan Kornelis ini langsung dibantah oleh Ferdi Usman yang juga adalah guru di salah satu sekolah international di Jakarta. Menurutnya, persoalan sesungguhnya tidak pada siswa. Menurutnya, instutitusi penyelenggara Pendidikan formal itu sendirilah yang pertama-tama harus bisa memastikan kesiapannya dalam kaitan dengan layanan PJJ. Dalam hal ini tantangan dan masalah sentralnya ada di pendidik atau guru atau dosen. Apakah semua guru, siap dengan pembelajaran online?
Menurut Ferdi, hanya segelintir pendidik yang siap dan cepat beradaptasi dengan tuntutan kondisi ini, tidak hanya soal berada di kota atau di desa dan bukan pula tentang usia muda atau usia uzur. Masalah sesungguhnya ada pada “latahnya” para pendidik kita dalam mengadopsi trend pembelajaran daring dengan media digital itu sendiri. Tidak heran, banyak yang selalu menanggapi dan menafsirkan secara subjektif yang dalam banyak hal justru menjadi isu kontra-produktif. Alhasil tugas moralnya dalam pendidik sering terancam abai.
Point-point penting dari sharing lintas profesi dalam forum virtual ini menghadirkan beberapa simpulan dan rekomendasi. Pertama, tidak berlangsung efektifnya pembelajaran daring bukan hanya soal kesiapan orang tua di rumah tetapi terutama kesiapan guru di sekolah untuk memastikan penggunaan platform digital yang sesuai untuk interaksi dengan siswanya. Para guru harus kreatif dan utamanya harus membangun komunikasi dengan siswa, antara lain memperkenalkan dirinya, membuat jadwal mengajar dengan aplikasi yang sesuai, dan semaksimal mungkin mengenal dan menyapa para siswanya meskipun secara virtual.
Secara kasuistik, masih banyak satuan Pendidikan yang bahkan tidak pernah menyelenggarakan kelas interaktif secara virtual. Lebih parahnya lagi, siswa tidak mengenal walik kelas dan guru-guru mata pelajarannya dan tiba-tiba diakhir semester nilai-nilai hadir hamper seragam. Secara psikologis, hal ini melemahkan semangat belajar anak di rumah dan tentu makin menambah beban psikis orang tua dalam mendampingi belajar anak di rumah. Orang tua boleh mengupgrade dirinya, tapi kalua sekolah tidak mengupgrade skill pembelajarannya, jelas akan menimbulkan masalah ikutan yang makin menggelisahkan. Demikian pula sebaliknya, orang tua dengan berbagai alasan pelit terhadap anaknya, khususnya untuk mengadakan perangkat smartphone dan data internet.
Menjembatani Relasi Sekolah dan Rumah dan Peran Komite
Kedua, penting komunikasi dan kolaborasi antara guru-guru di sekolah dan orang tua di rumah. Sebisa mungkin orang tua harus mengenal guru-guru dari putera-puterinya. Demikian juga semaksimal mungkin guru memperkenalkan diri dan perannya kepada siswa sehingga kendala-kendala praktis pembelajaran dapat dielaborasi Bersama antara guru dan orang tua. Ada forum komite yang bisa mempertemukan guru dan orang tua. “Urusan Komite itu kan bukan sekedar mengumpulkan dan mengelola uang serta melaporkannya dalam rapat komite tahunan. Ia menjadi semacam media interaksi yang bisa menyatukan gagasan dan ide terkait layanan Pendidikan optimal bagi peserta didik,” Demikian ditegaskan Wilfridus Buto. Menurutnya, dalam kondisi darurat pandemic ini semaksimal mungkin belanja dari dana komite ini adalah untuk penyediaan sarana prasarana PJJ, misalnya membeli doman zoom premium yang harga tahunannya tidak begitu mahal (antara 1-2 jt) sehingga para guru bisa dibantu dalam kegiatan pembelajaran interaktif secara virtual dengan siswa di rumah,” Tukas Manajer Senior di salah satu Kantor Cabang Bank BCA di Jakarta itu.
Ketiga, keharusan untuk beradaptasi dengan kondisi. Menurut Bpk Vincent Bero, “Transformasi digital saat ini adalah keharusan. Di dunia media pemberitaan juga sudah lama terjadi disrupsi. Banyak mdia publikasi besar, oplahnya makin berkurang, bahkan banyak yang sudah ditutup dan beralih ke platform pemberitaan digital. Jadi, semua pihak penting untuk beradaptasi dengan kondisi disrupsi ini, termasuk juga dunia Pendidikan. Jika tidak adaptif dan mindset Pendidikan konvesional tatap muka masih menjadi acuan, maka Pendidikan kita akan makin ketinggalan.” Demikian pandangan journalis senior ini.
Pendidikan formal tetap harus jalan, karena meskipun sumber ilmu pengetahuan bagi siswa bukan lagi berasal satu-satunya dari belajar di sekolah, tetapi beberapa point krusial Pendidikan masih melekat pada relasi guru dan muridnya. Utamanya Pendidikan karakter. “Pendidikan karakter justru menjadi dominasi keresahan orang tua. Maka harus ada Langkah-langkah nyata orang tua dalam membentuk karakter anaknya di rumah, utamanya kecintaan akan budaya local.
Saat ini keprihatinan terbesar dari media digital ini adalah berseliweannya berbagai aplikasi yang kontennya didominasi oleh produk budaya asing dan sangat digandrungi anak. Ini sisi lain dari dampak penggunaan media digital ini,” Tukas Beni Jegambut salah satu ASN senior di Mabar ini. Hal senada didukung oleh Pak Dus Sau, ASN Senior Manggarai yang menegaskan, “Pelan tapi pasti, saya jadi memahami banyak hal terkait konten media digital ini. Makin ke sini makin lincah mengguanakan platform pembelajaran online karena keseringan mendampingi anak belajar di rumah.”
Keempat, harus dibangun optimism global di tengah kondisi penuh tekanan seperti ini. Bahwa ada dampak negative dari menjamurnya pemakaian sarana-prasaran elektronik dalam komunikasi pembelajaran merupakan hal yang tidak bisa disangakal. Akan tetapi meningkatnya skill digital di kalangan guru, orang tua dan siswa juga adalah dampak positif yang harus terus dikembangkan. Dengan demikian penggunaan platform digital tidak sebatas alat komunikasi pembelajaran juga bisa menjadi penunjang kinerja belajar dan bahkan bila anak-anak diarahkan secara kreatif, akan banyak manfaat ekonomis dari penggunaan smartphone, misalnya untuk kepentingan promosi atau jualan barang dan jasa secara online.
Solusi dan Rekomendasi Praktis
Masih banyak persoalan lain yang menjadi diskursus forum ini. Identifikasi atas kendala yang dihadapi dan solusi praktis yang diberikan dari kegiatan ini menjadi sebuah kolaborasi yang baik agar setiap pihak awareness dan tanggap terhadap perubahan. Perubahan yang cepat tidak lalu menutup jalan keluar. Dengan pembelajaran dan kolaborasi setiap pihak bisa saling menginspirasi dalam mendapatkan solusi yang tepat. Di atas semua itu, ada rekomendasi penting yang kiranya menjadi perhatian semua pemangku kebijakan di bidang Pendidikan. “Penting bahwa negara harus hadir dalam menyikapi keadaan ini. Pemerintah daerah dan perangkat daerah yang berurusan dengan satuan penyelenggara Pendidikan dari dasar dan menengah di daerah, harus bisa menjalankan pengawasan. Sesekalilah kawan-kawan kita baik di eksekutif maupun di legislative turun gunung untuk memastikan, utamanya sekolah-sekolah negeri, bahwa proses Pendidikan itu tetap berjalan. Akan jadi kacau kalua hanya menerima laporan di atas kertas. Sesekali lakukan sidak, jangankan yang jauh, yang di depan mata pun, banyak masalahnya.” Demikian menurut Pak Bruno Biru, seorang professional yang tinggal di Jawa Barat.
Rekomendasi kedua, para guru hendaknya diberikann pelatihan dalam menggunakan perangkat media pembelajaran. Dengan itu, kesulitan-kesulitan dalam menyelenggarakan tatap muka online bisa diminimalisasi. Para orang tua juga perlu meningkatkan kemampuannya dalam mendampingi anak belajar di rumah, bukan sekedar membantu menyelesaikan tugas anak, tapi lebih agar mengarahkan anak-anak untuk berpikir kritis dan mengikuti proses KBM dan aturan yang ditetapkan oleh sekolah.
Dengan demikian system PJJ apa pun bentuknya jangan sampai menjadi bencana masa depan generasi usia sekolah saat ini. PJJ hanyalah pintu masuk ke era baru, era digital. Pandemic covid 19 adalah pemicunya. Kita, tak seharusnya gagap. Usia tua bukan penghalang, karena banyak fitur-fitur media pembalajaran virtual yang sangat mudah digunakan. Pertanyaanya, mindsetnya mau berubah dan siapkah menerima perubahan? Semoga diskusi ini membawa dampak dan manfaat.***(Peramu Hasil Diskusi Adrianus Nabung)**