Catatan: Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM-Di saat akhir penguburan Lukas Lagar Tolok di TPU Perwira, tidak hanya seorang yang mengucap frase ini: โInilah pelayatan terbanyak yang pernah dihadiriโ, Ungkapan ini tentu tidak dalam arti membanding semua jenis lawatan orang meninggal yang pernah ada di jagat ini. Tentu saja tidak. Yang dimaksud, kalau โngelayatโ, biasanya untuk orang-orang terdekat. Dan kalau orang terdekat, maka inilah layatan dengan jumlah orang terbanyak, untuk sebuah prosesi bagi orang dari kampung atau sekecamatan Atadei dan mengapa tidak dari Lembata yang sempat dihadiri (bisa saja ada yang lebih banyak tetapi saya tidak pernah hadiri dan lihat).
Tentang jumlahnya tidak bisa diberi angka pasti. Misa Minggu dilaksanakan dua kali pada pukul 09.00 dan 12.00. Pada masing-masingnya orang berjubel. Yang ikut misa pertama kemudian berpamitan pergi. Kemudian hadir misa kedua dengan jumlah yang lebih melimpah lagi.
Dari segi kendaraan tidak kurang dari 50 mini bus, 4 bis elf untuk. Kalau hadir di keluarga duka saja itu wajar-wajar saja. Tetapi bila semua penglayat memutuskan untuk harus ke TPU Perwira seperti yang dilakukan di Minggu 30/10/2022, maka itu pula yang bisa disebut terbanyak. Semuanya menyemut mengelilingi liang lahat yang digali dengan susah payah karena merupakan tanah persawahan yang tentu sudah agak keras ditimbuni aneka pupuk yang terurai.
Yang jadi pertanyaan: bagaimana mungkin seorang โanak kampungโ yang hanya โdrop outโ kelas 2 SMP bisa dikelilingi begitu banyak orang? Mengapa semua orang seakan merasa perlu melepas pergikan Lukas yang selalu mengartikan namanya sebagai โLupakan Kasus?โ
Amati, Tiru, Modifikasi (ATM)
6 bulan sebelum wafatnya ketika mendapatkan bocoran tentang parahnya penyakit yang tengah menggerogotinya, kami berdua almarhum terlibat dalam diskusi yang intens. Hal itu kemudian diterbitkan dalam tulisan: โHanya Kelas 2 SMP, Bergaul dengan para Jenderalโ.
Tulisan yang mendapatkan sambutan cukup besar dari pembaca sebenarnya mengikuti tren medsos yang lebih tersapa dengan berita-berita yang menyentuh rasa. Di sana dikisahkan tentang perjalanan โsi anak nakalโ dari kampung, Lerek Lembata, yang takut dipanah sang ayah. Hanya karena solider dengan teman-temannya yang ingin mendapatkan satu buah bola kaki, ia harus mengantar kacang untuk bisa membarter bola tersebut.
Ia tahu, sekembalinya tidak akan diampuni oleh sang ayah. Bisa saja karena sang ayah sangat mengharapkan agar si bungsu itu bisa mencapai pendidikan tinggi dan tidak ingin agar โputus di tengah jalanโ. Tetapi bagi Lukas, solidaritas lebih tinggi dari ancaman. Karenanya sekembalinya, dengan modal satu sisir pisang, ia tinggalkan kampung ke Maumere.
Apakah itu mungkin? Tentu tidak. Tetapi namanya โnekadโ, Lukas melewati itu. Di Kapal Motor Lewoleba Larantuka Tuhan mengutus orang baik menemani dan bisa membayar uang tiket. Dari Larantuka Maumere yang terpikir darinya hanyalah ia akan minta dibayarkan setelah tiba. Meski dimarahi sampai kalau pun akan dipukul tetapi mereka tidak akan tegah tidak membayarnya. Dan semuanya terjadi seperti diskenariokan.
Di Maumere dan kemudian ke Jakarta, yang ia lakukan hanyalah mengandalkan kerja keras, kejujuran, dan tanggungjawab. Karena pandai berkomunikasi (bicara dan mendengarkan), maka ia pun mendapatkan perhatian. Hal itu terutama dilaksanakan ketika bekerja di PT Daihatsu dan kemudian menangani Bagian Pelatihan di tempat kerja yang digeluti sampai wafat. Di tempat ini ia tidak saja bekerja tetapi โdokaโ (memasukkan) orang lain untuk bekerja bersamanya.
Tentang kerja, Lukas punya rahasia sederhana: Amati, Tiru, dan Modifikasi. Karena tidak ada pendidikan formal maka yang bisa dilakukan adalah mengamati dengan saksama. Dari pengamatan itu akan terlihat mana yang bisa ditiru dan mana yang tidak. Tetapi itu saja tidak cukup. Seseorang harus memodifikasi sehingga menjadi miliknya. Inilah rahasia yang mengantarnya untuk terus belajar tidak saja di tempat kerja tetapi di manapun dia berada.
Menertawakan Diri
Lukas orang yang lucu ya. Bersamanya selalu dilingkari dengan kegembiraan. Ia selalu menceritakan hal-hal yang membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi apa yang diceritakan sehingga orang begitu gembira?
Lukas tidak menceritakan orang lain sebagai bahan lucuan. Lukas menceritakan diri, menelanjangi kerapuhan diri. Inilah hal yang tentu tidak banyak dilakukan orang. Banyak orang tetapi justru bukan saja menceritakan orang lain tetapi bahkan mencurigai orang lain. Lukas berbeda dari orang kebanyakan. Ia punya standar yang lebih tinggi bahwa seseorang disebut hebat ketika bisa menceritakan kelemahan diri dan bahkan bisa membuat orang lain menertawakan dirinya.
Lukas seakan begitu menjiwai apa yang dikatakan oleh Martin Niemรถller: โ๐ฐ๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐, ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐. ๐ฐ๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐, ๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐.โ (๐ฝ๐๐๐ ๐ด๐๐๐ ๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐๐๐ก๐๐ค๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐๐๐, ๐ด๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐-๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐. ๐ฝ๐๐๐ ๐ด๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ก๐๐๐ก๐๐ค๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐ด๐๐๐, ๐ด๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐ โ๐๐๐๐ก). Di sini Lukas melangkah ke tingkatan yang paling tinggi yaitu membiarkan orang lain tertawa bersamanya sehingga ia menjadi hebat.
Tertawanya Lukas pun disambut tulus karena memang ia orang yang tulus dan sangat berakar pada budaya. Di antara keluarga, ia memiliki satu kelebihan untuk membuat seremoni hal mana yang sudah tidak banyak dilakukan. Dengan peralatan yang ia miliki dalam โgilingโ (tasnya), ia selalu membawa peralatan untuk jika diminta membuat seremoni. Bayangkan itu dilakukan di Jakarta, tempat di mana banyak orang sudah tidak melakukan hal itu. Jangankan di Jakarta, di kampung pun tidak sedikit orang melakukan ritual sebagai pengingat dan pengikat dengan para leluhur.
Karena pelayanan yang tulus dan pengorbanan yang tanpa pamrih maka kata-katanya tentu sangat didengarkan. Dan kalau ia melucu pun orang pasti dengar karena itu dilakukan dengan tulus.
Ada hal yang lebih jauh. Ia bisa bercerita dan diperhatikan karena ia sudah memperhatikan lebih dahulu. Lukas bukan tipe orang yang sekadar berbicara agar didengarkan. Ia dengarkan dengan saksama, ikut terlibat dalam kelucuan orang lain sambil menunggu momen yang pas untuk ia melucu. Di sinilah letak kebesaran Lukas Laga Tolok.
Tetapi apakah lucuan dari Lukas sekadarnya? Tidak. Ia menghendaki agar siapapun yang memiliki masalah / kasus, kalau bertemu dengan Lukas, maka mereka melupakan kasus. Karena itu ia mengartikan namanya seperti itu: Lukas (Lupakan Kasus).
๐ง๐ฒ๐ ๐ฃ๐ฟ๐ถ๐ผ๐๐ฒ๐ต๐ฒโฆ
Di antara banyak ungkapan khas, ada satu frase kunci yang saya dengar darinya tidak hanya sekali: beberapa kali malah banyak kali.
Kalau ada event besar di mana ia terlibat, misalnya saja dipercayakan untuk jadi pembicara bersama rekan pembicara lain yang berpendidikan tinggi, ia selalu akhiri dengan frase ini: โ๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐..โ (Bulu kuduk sampai berdiri karena kita hanya begini tetapi orang bisa percaya). Di satu pihak ia lihat latar belakang pendidikan yang hanya โsepotongโ. Tetapi ia bisa berdiri sama tinggi dengan orang yang berpendidikan.
Hal yang mau disampaikan bahwa pekerjaan apapun selalu diresapi dan dirasakan dengan seluruh hati. Ia tidak melihat pekerjaan atau kepercayaan untuk sombong tetapi merasakan dengan seluruh dirinya dan tidak dibuat-buat.
Saya sangat yakin bahwa di hari kematian dan terutama pada saat penguburan (baik di rumah maupun di TPU Perwira Bekasi) ia pasti dari โatasโ mengungkapkan hal yang sama: โAma, kew perioteg, hulut apei yang mio tule untuk gone โ (Bulu kuduk berdiri dan saya terharu melihat semua yang kalian lakukan untuk saya).
Saya sangat yakin ia memperhatikan dan menjiwai apa yang ia sampaikan. Ia mau ungkapkan hal itu sebagai terima kasih atas perhatian yang diberikan. Tetapi tentu jauh lebih penting ketika segala perhatian itu sekaligus menjadi pesan agar apa yang ia buat dalam melayani keluarga dengan sungguh-sungguh, bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu, menjadi pesan.
Ini saya sampaikan sebagai penutup mengutip kata-kata Pak RT 03 di Bulak Kapal yang berbicara terpatah-patah mengungkapkan rasa kagum padanya. Sebagai seorang muslim ia merasa sangat kurang pelayanan karena tempat duduk, tenda yang disiapkan tidak cukup. Tetapi orang pun tahu, kursi sebanyak apapun tidak akan cukup menampung semua orang yang akan datang mengucapkan selamat jalan.
Untuk semuanya hanya satu kata โ๐ฝ๐ฎ๐ ๐น๐ฎ๐ป๐ฒ๐ธ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎโ. Semoga istirahat abadi di sana jadi doa buat kami. Selamat jalan โAma ata harenโ sudah membiarkan kami menyaksikan sebuah penguburan terbanyak (di antara keluarga) yang baru pertama kami lakukan dan mungkin saja akan sulit terulang termasuk kami yang menyaksikan kini. โ๐e ๐ง๐๐ซ๐จ๐ข ๐ข K๐๐ง๐โฆโ
(Robert Bala, Penulis buku Inspirasi Hidup, Pengalaman Kecil di Tengah Pandemi, Penerbit Kanisius Yogyakarta).