LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM – Penjabat Bupati Bupati Lembata Drs. Marsianus Jawa, M. Si., yang di wakili oleh Staf Ahli Bidang Pemerintahan,Hukum dan Politik, Apolonaris Mayan, S. Pd.,resmi hari ini membuka kegiatan Sarasehan Muro Badu di desa Jontona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata, NTT. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian dari. Rally Wisata Bahari Pesona 4 Teluk Festival Lamaholot.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut oleh Camat Ile Ape Timur, Kepala Desa Jontona dan juga sesepuh adat yang berada di Desa Jontona Kecamatan Ile Ape Timur Kabupaten Lembata.
Benediktus Beding Purek Lolon General Manager (GM) LSM Barakat kepada Media ini Jumat (05/05/23) mengatakan Nilai Keragaman Hayati Bagi Masyarakat Lembata (sebuah Narasi tentang Muro di Laut)
Muro Sebuah Inisiasi Kepemimpinan Asli Desa).
Muro bisa merupakan kesepakatan Sosial dalam bentuk narasi tanpa 3 wujud fisik yang mengatur tingkah laku manusia terhadap obyek Mulai dari tata cara perencanaan, pelaksanaan, kewenangan, pengelolaan, pengawasan, distribusi, waktu, sampai pada sanksi-sanksi atau hukuman yang Semuanya melalui kesepakatan sosial.
Kesepakatan ini diinisiasi oleh Masyarakat Adat melalui Kabelen Lewo yang memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah bagian dari alam yang mewajibkannya untuk menjaga dan melidungi alam.
Pada tahap perencanaan semua pihak duduk bersama untuk mendalami sebuah persoalan sosial yang perlu diatasi dengan jalan pembuatan Muro atau larangan tersebut.
Ada 2 (dua) Instrumen yang memperkuat kesepakatan sosial atas Muro. (1) Pembunuhan hewan korban. Pertumpahan darah hewan yang mengesahkan dan mensakralkan semua kesepakatan sosial. (2) “sumpah adat” disertar “Bou Lolon” yang dilaksanakan dalam satu rangkaian ritual adat di Namang Lewo (Pusat Ritual Adat). Instrumen ini diperlukan untuk memperkuat daya keramat dari muro atau larangan tersebut. Upacara ini dipimpin oleh “Kabelen Lewo” atau tuan tang (turunan dari orang pertama menghuni dan membangun kampung) dibantu oleh suku-suku yang berposisi sebagai penjaga sumber daya alam disaksikan oleh seluruh rakyat atau ribu ratu.
Setelah proses ini selesai, semua masyarakat desa tanpa kecuali, Ikut menjaga wilayah laut tersebut dan mematuhi semua larangan yang ditetapkan tanpa keberatan sedikit pun. Jika kesepakatan adat melalui sumpah adat dilanggar secara sengaja atau tidak sengaja, maka pelaku harus mengakui perbuatannya dan memberi makan “ribu ratu” atau semua masyarakat desa dengan ternak besar seperti kambing dan babi sebagai denda dan juga sebagai upaya pemulihan agar terbebas dari tulah.
“Jika pelanggaran tidak diakui dan denda tidak dijalankan, malapetaka berupa kesengsaraan dan kematian akan menimpah pelaku dan semua keluarganya, ” Ujarnya. (WN-01)