Oleh : Melky Koli Baran. Pemilik Media Ata Kiwang
WARTA-NUSANTARA.COM-Kala itu, di awal Desember 2021. Tepatnya hari rabu, tanggal 8. Larantuka mendung disertai hujan skala ringan. Di tengah guyuran hujan, utusan komunitas masyarakat adat di Flores Timur menyerahkan aspirasi mereka ke DPRD setempat. Sebuah Ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Flores Timur”. Ranperda ini diterima Sekretaris Dewan (Sekwan) Ir. Johanes Kopong Diaz. Hadir juga Rofinus Kabelen, salah satu Anggota DPRD Kabupaten Flores Timur dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Yohana Lelo Wada dari Komunitas Belobesi, Karolus Koten (kini telah almarhum) dari Komunitas Lewolema dan Mundus Doren dari Komunitas Baipito mewakili 9 komunitas pengusung. Mereka didampingi Philipus Kami dari Aliansi Masyarakat Adat Nusa Bunga. Philipus adalah tokoh Adat Komunitas Adat Saga di Kabupaten Ende yang memimpin AMAN Nusa Bunga.
Bermula dari Lewotala
Saya teringat kisah-kisah awal dari Lewotala. Di kampung ini hidup tokoh kontroversial Yakobus Seng Tukan (73). Dialah yang mengangkat isu hak-hak masayarakat Adat. Kala itu masih Orde Baru, di tahun 1997.
Menurutnya, keberadaan masyarakat hukum adat selama masa pemerintahan Orde Baru nyaris tak terekpresi secara ekonomi, politik dan budaya. Masa itu, wilayah hukum adat masyarakat adat dengan mudah dikelola perusahaan sektor pertambangan dan perhutanan. Pemasangan pal batas hutan yang memagari ruang hidup masyarakat.
Seperti di pulau Timor. Ada perusahaan mendapat izin konsesi pertambangan marmer. Di sektor kehutanan, hadir perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Relasi masyarakat dengan pemerintah sangat terganggu. Masyarakat menuding pemerintahnya telah main mata dengan perushaan tertentu. Rakyat mencurigai pemerintah.
Tahun 1995, sejumlah komunitas masyarakat adat di NTT bergabung dalam Jaringan Masyarakat Adat (Jagat) NTT. Jaringan ini difasilitasi berbagai Lembaga non Pemerintah. Inilah nostalgia perjuangan Masyarakat Adat yang diturkan Yakobus Seng Tukan, warga kampung Lewotala, Komunitas Masyarakat Adat Lewolema, Flores Timur.
Dikatakannya, tumbangnya kekuasan otoriter Soeharto selaku simbol Orde Baru yang represif memberi angin segar. Sebuah konsolidasi nasional berlangsung di tahun 1999 dengan nama Konggres Masyarakat Adat Nusantara. Konggres ini dihadiri utusan Masyarakat Adat dari seluruh penjuru Nusantara. Lahirlah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara disingkat AMAN. Yakobus salah satu peserta Kongres itu. Di Lewotala pada suatu kesempatan ia menceritakan pengalamannya di konggres yang berlangsung dalam situasi mencekam oleh Gerakan reformasi kala itu.
Menurutnya, kala itu ada semacam kesiapsiagaan ketika melihat dan mendengar cerita masyarakat adat di pulau Timor. Cerita bahwa aparat negara yang semestinya melindungi hak rakyat justru lebih berpihak ke perusahaan-perusahaan pertambangan dan kehutanan. Sebagai masyarakat adat, ia dan beberapa rekannya di Flores mewaspadai jangan sampai perusahaan-perusahaan itu masuk di komunitas-komunitas masyarakat di Flores yang telah terpasang pal batas kehutanan di kebun-kebun para petani.
Menurutnya, tumbangnya kekuasaan Orde Baru telah menyelamatkan pulau-pulau kecil di luar Jawa, Kalimantan, Sumatra dan Papua dari gurita perusahaan pertambangan dan kehutanan. Karena itulah, ia sangat tertarik ketika diundang menghadiri Konggres pertama Masyarakat Adat Nusantara
Walau suasana negeri ini masih panas oleh pergolakan politik Reformasi, dan keluarga berat melepasnya ke Konggrs, Yakobus tetap berangkat demi perubahan di negeri ini. Kata dia, negeri ini tidak boleh rusak karena kesewenang-wenangan terhadap hak-hak masyarakat adat. Aparat Kepolisian dan TNI juga tidak boleh rusak citranya di hadapan masyarakat adat karena permaian perusahaan-perusahaan besar yang ingin menguasai tanah-tanah masyarakat adat.
Warga desa Bantala di Kecamatan Lewolema yang mengaku tidak mengklaim kehadirannya di Konggres itu sebagai wakil komunitas Lewolema ini mengatakan bahwa masyarakat adat merupakan salah satu elemen dalam pembangunan bangsa. Karena itu, kehadirannya dan hak-hak adatnya mesti diakui dan dihormati. “Posisi inilah yang mesti diperjuangkan”, demikian katanya mengutip tema Konggres Aman saat itu yang berbunyi “Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara”.
Bagi pria yang mengaku tidak punya Pendidikan formal itu, hutan dan tanah merupakan urat nadi kehidupan turun temurun Masyarakat Adat yang mendiami wilayah pedesaan di perbukitan dan pegunungan nusantara ini. Mereka tahu menjaga dan mengolah sumberdaya alam menurut tata aturan adat secara berkelanjutan.
Yakobus dengan bangga menceritakan suksesannya menyekolahkan empat orang anaknya menempuh Pendidikan tinggi di pulau Jawa bukan karena menjual tanah ke perusahaan-perusahaan atau bekerja sebagai buruh perusahaan. Ia mengolah tanah ladang warisan leluhurnya untuk membiayai Pendidikan anak-anaknya.
Tokoh yang sering dipandang kontroversial di komunitasnya ini mengatakan bahwa masyarakat adat tahu menjaga kelangsungan sumberdaya alam yang merupakan urat nadi kehidupan mereka. Kalau perusahaan, cuma mengeruk untuk keuntungan dirinya.
“Salah besar jika kami masyarakat adat dituduh sebagai perambah hutan. Hutan Indonesia tidak pernah rusak karena masyarakat adat berkebun. Justru hutan rusak, air dan udara tercemar karena perusahaan-perusahaan besar mengelola hutan, membongkar keluar seluruh isinya dan membawanya ke kota. Perjuangan kami masyarakat adat agar hal itu dihentikan”, demikian katanya dengan nada bergetar.
Kelompok Talapia
Kembali dari Konggres pertama AMAN, Yakobus memulai Langkah pertama dari Lewolema. Ia melangkah bersama kelompok petani Talapia yang ia bentuk sebelumnya. Yakobus memotori pemberdayaan masyarakat adat dengan moto, dari Lewolema untuk Nusantara. Tahun-tahun awal ia sangat didukung oleh Aliansi Masayarakat Adat Nusantara. Kini di usia senja, ia tetap ingat mana tokoh-tokoh Aman seperti Abdon Nababan, Emilianus Kleden, Angky, Erasmus Cahyadi, dan sederet nama lainnya. Benih perjuangan semacam inilah yang terus menginspirasi upaya-upaya penghormatan, pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok Masyarakat Hukum Adat sebagai salah satu elemen dan kekuatan pembangunan bangsa.
Benih yang tersemai tahun 1999 itu terus terawat. Sejuta suka dan duka terlewati. Penolakan dan sindiran mengalir sangat deras. Namun Yakobus berpegang pada prinsip yang ia timba dari Latihan advokasi untuk terus memperbanyak kawan dan memperkecil lawan.
Di usianya yang tidak muda lagi, Yakobus tetap mengingat sahabat-sahabatnya yang sama-sama berjalan dan membesarkan Gerakan Masyarakat Adat di Flores Timur. Kini kelompok Talapia tinggal nama. Orang-orangnya sudah tua, bahkan ada yang telah meninggal. Dan di hari tua ini, Yakobus Bahagia. Gerakan Masyarakat Adat telah menyebar ke berbagai komunitas. Mulai dari Boru Kedang di perbatasan Flores Timur dan Sikka. Lalu Belobesi, Leraboleng, Demong Pagong, Lewolema, Baipito, Tanjung Bunga dan bahkan sejumlah komunitas di pulau Solor dan Adonara.
Tentang kelompok Talapia, menurut Yakobus, itulah nama sebuah kelompok tani di Lewotala yang menyandarkan basis hidupnya pada adat dan tanah warisan leluhur di Lewolema.
Gerakan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat ia mulai dari kelompok ini sejak masih masa Orde Baru yang represif. Banyak kesulitan politik akan dihadapi jika menggunakan nama Komunitas Lewolema sebagai wadah perjuangan awal.
Menurutnya, pada masa Orde Baru sangat sulit membedakan kawan dan lawan. Lewolema sebagai sebuah Komunitas Adat telah terpolarisasi dalam kelompok-kelompok politik dan kepentingan. Karena itu sangat sulit membangun gerakan bersama dengan satu tujuan. Yang terjadi adalah gerakan ini bisa ditunggangi dan diperalat bahkan dirusaki.
Yakobus mengaku belajar dari strategi Yesus yang mulai dengan kelompok kecil 12 orang rasul yang ia pilih dari orang-orang sederhana dan jujur. Kelompok Talapia merupakan kelompok kecil petani. “Dalam dokumen AMAN, di sana ada nama Talapia, karena saat Konggres saya menulis nama Talapia. Saya tidak menulis nama Lewolema karena saya akan diprotes di Lewolema. Itu karena situasi sosial politik saat itu”, jelasnya.
Melalui Kelompok Talapia, berbagai pertemuan dan Latihan pemberdayaan Masyarakat Adat dilaksanakan di tengah sindiran warga tertentu sekampung.

Anggota AMAN Nusa Bunga dalam satu pertmuan di Flores Timur Tahun 2009 (foto: melky koli baran)
N“Tahun 2002 bertempat di Lewotala kami gelar kegiatan Pekan Masyarakat Adat. Didukung AMAN, WALHI dan DFID karena kami bahas tema Pengelolaan Hutan. Hadir utusan dari berbagai Komunitas di Flores Timur. Dari Solor, Adonara dan Flores Timur Daratan. Kami juga mengundang utusan Masyarakat Adat dari Lembata dan Sikka. Dari sinilah agenda tentang Masyarakat Adat mulai menyebar ke berbagai tempat di Flores Timur”, kenang dia.
Tahun 2007 AMAN membawa utusan Masyarakat Adat dari Lampung dan Kalimantan Timur untuk berkunjung ke Lewotala dalam kegiatan studi banding. “Saat itu saya bahagia. Telah lama saya dengar orang kita pergi studi banding ke pulau Jawa dan Bali. Lalu sekarang orang dari daerah lain datang studi banding ke kampung kami. Artinya kita ada kelebihan sehingga mereka datang belajar”.
Pengakuan dan Perlindungan
Yakobus Seng Tukan mengaku tidak muda lagi. Di usia ini, ia Bahagia karena perjuangan Maasyarakat Adat terus bertumbuh. Bahkan anak-anak muda juga mulai terlibat. Di Lewotala anak-anak muda mulai membentuk Pemuda Adat. Bahkan ada yang mulai bicarakan Sekolah Adat.
“Karya Tuhan memang indah. Dulu saya dihina dan dicibiri di kampung ini karena saya bicara pengakuan hak Masyarakat Adat. Mereka bilang saya manusia perusak adat. Itu saya akui. Tapi sekarang saya Bahagia karena mereka yang dulu melawan saya, sekarang justru jadi kawan. Perlu perbanyak kawan dalam melakukan perubahan”, katanya mengulangi pesan yang ia dapat saat Latihan Advokasi yang diselenggarakan WALHI tahun 2000 silam.
Menurutnya, tantangan terberat dalam memperjuangkan Pengakuan Masyarakat adalah sesama masyarakat adat sendiri. Tidak ada nabi yang diterima di negerinya. Fase itu telah terlewati. Langkah berikutnya adalah Pengakuan dan Perlindungan dari Pemerintah atau negara.
“Posisi terhadap negara mesti terus digugat. Sebab itulah mandat Konggres pertama Masyarakat Adat Nusantara”, demikian kata Yakobus Seng Tukan dalam Lokakarya Persiapan Penyusunan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Flores Timur suatu kesempatan di tahun 2019 bertempat di Pondok Liberti, Flores Timur. Lokakarya ini digelar AMAN Nusa Bunga. Hadir saat itu Philipus Kami dari Aman Nusa Bunga, Erasmus Cahyadi dari Sekretariat AMAN, John Bala, SH Koordinator Perhimpunn Pembela Msyarakat Adat NTT, Yordan Daton dari Bagian Hukum Setda Flores Timur dan utusan berbagai komunitas Masyarakat Adat di Flores Timur.
Ssaat itu dia mengingatkan agar Peraturan Daerah yang akan diusulkan itu mengatur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Pemerintah wajib mengakui dan melindungi upaya-upaya pemberdayaan Masyarakat Adat dari segi ekonomi, politik dan budaya. Sesuai dengan prinsip perjuangan Aman, yakni berdaulat secara politik, bermartabat secara budaya dan mandiri secara ekonomi.
Tinggal Selangkah
Kini, tinggal selangkah Kabupaten Flores Timur punya Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masayarakat Adat di wilayah Kabupaten Flores Timur.
Sekretaris Dewan Ir. Yophanes Kopong saat menerima utusan Masyarakat Adat di ruang tamu Gedung DPRD “Bale Gelekat Lewotana” Flores Timur mengapresiasi sumbangan Masayarakat Adat Flores Timur atas Ranperda yang mereka serahkan.
“Kami berterima kasih karena bapak dan ibu Maasyarakat Adat telah membantu menyiapkan Ranperda ini.”, demikian kata Sekwan DPRD Flores Timur.
Pihaknya sebagai Sekwan berjanji akan melaporkan inisiatif ini ke Pimpinan DPRD Flores Timur. “Saya laporkan ke pimpinan. Akan lebih bagus kami undang lagi perwakilan Masyarakat Adat untuk datang menyerahkan Ranperda ini secara resmi dalam sebuah siding terhormat”, janji Sekwan.
Ia menjelaskan, Ranperda tentang Masyarakat Adat telah direncanakan dalam Prolegda DPRD tahun 2022. Jadi hasil kerja bapak dan ibu Masyarakat Adat bagai gayung bersahut dengan Prolegda tahun 2022.
Yohana Lelo Wada, Karolus Koten dan Mundus Doren tiga orang perwakilan Masyarakat Adat Flores Timur yang menyerahkan Ranperda ini, menjelaskan bahwa Ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Flores Timur ini disiapkan setelah melakukan kajian di kurang lebih Sembilan Komunitasa Masyarakat Adat di wilayah Kabupaten Flores Timur.
Menurut Philipus Kami dari AMAN Nusa Bunga, substansi pengaturan Perda ini terkait dengan Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Flores Timur. Masyarakat Adat yang hidup turun temurun di komunitas-komunitasnya masing-masing itu merupakan komponen dan unsur penting dalam pembangunan dan bagian penting dalam kehidupan bernegara.
Jika tahun 1999 isu pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat menjadi diskusi kecil sekelompok petani “Talapia” di Lewotala, telah dan akan tiba saatnya, Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat menjadi salah satu isu yang mewarnai agenda pembangunan berkelanjutan di kabupaten Flores Timur. Dari Lewolema untuk Flores Timur. **