• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Selasa, November 25, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Hukrim

“Jangan Menjadikan Bantuan untuk Menyandera Suara Kebenaran” (Catatan Buat Komplotan Mafia Nagekeo (2)

by WartaNusantara
November 25, 2025
in Hukrim
0
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan
0
SHARES
2
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Hakim Kabulkan Praperadilan Sekretaris KPU Sumba Timur, Ahmad Azis Ismail Ucapkan Terima Kasih

Hakim Kabulkan Praperadilan Sekretaris KPU Sumba Timur, Ahmad Azis Ismail Ucapkan Terima Kasih

Upaya Suap Rp 150 Juta dan Tindakan Polres Nagekeo Menolak Laporan PMKRI

Upaya Suap Rp 150 Juta dan Tindakan Polres Nagekeo Menolak Laporan PMKRI

Load More

“Jangan Menjadikan Bantuan untuk Menyandera Suara Kebenaran” (Catatan Buat Komplotan Mafia Nagekeo (2)

Oleh : Steph Tupeng Witin

(Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)WARTA-NUSANTARA.COM–  Dalam dinamika panjang perjuangan masyarakat Nagekeo melawan jaringan mafia yang merampas hak-hak rakyat kecil khususnya warga Rendu, muncul satu pola lama yang terus berulang: kebaikan dijadikan alat penaklukan. Bantuan, perhatian, bahkan “jasa besar” tiba-tiba dipertontonkan sebagai senjata moral untuk membungkam kritik dan menundukkan suara yang menyingkap ketidakadilan. Ketika sebuah pemberian diungkit, diumumkan, atau dipakai untuk menekan, pemberian itu tidak lagi menjadi amal, melainkan jerat. Di titik inilah perdebatan mengenai peran sejumlah figur, termasuk GM, bukan lagi sekadar soal sejarah Waduk Lambo, tetapi soal motif di balik bantuan yang diberikan. Apakah ia benar untuk rakyat, atau untuk menciptakan ketergantungan dan kontrol terhadap mereka yang berani bersuara.
Tulisan ini lahir sebagai respons atas upaya memelintir narasi bantuan seolah-olah menjadi hutang moral yang harus dibayar dengan diam dan bungkam. Tuduhan bahwa saya adalah penerima “bantuan rutin”, penyebutan nama-nama besar tanpa klarifikasi, hingga nada ancaman dalam pesan elektronik, justru memperkuat satu kesimpulan: ada pihak yang ingin menukar kebenaran dengan uang, menaklukkan nurani dengan derma, dan menutup borok mafia dengan cerita jasa. Padahal, membongkar praktik mafia tanah, BBM, galian C, hingga kekerasan terhadap warga bukanlah sikap permusuhan; itu adalah panggilan moral. Dan di hadapan panggilan itu, tidak ada bantuan, jasa, atau ancaman apa pun yang boleh menyandera suara kebenaran.

Nama saya disebutkan Tobbyas Ndiwa, Kuasa Hukum AKP Serfolus Tegu/Kabag Ops Polres Nagekeo di media abal-abal Politisinusantara.com, 19 November 2025. Dalam tulisan itu, Tobbyas menyebut saya sebagai pihak yang menerima bantuan uang rutin dari seseorang yang saya sebut sebagai orang kuat Jakarta. Saya hanya menyebut orang kuat Jakarta, tapi Tobbyas langsung menyebut Gories Mere (GM). Saya tidak tahu, apakah penyebutan nama GM itu hasil kebodohan Ndiwa atau letupan amarah yang justru menjadi pameran hilangnya kewarasan. Saya duga, dia berani menyebut nama GM itu hanya sebagai alat teror yang jahat seperti yang biasa dilakukan komplotan mafia waduk Lambo selama ini kepada orang-orang kecil di Rendu dan para jurnalis kritis. Dia pikir sangat dangkal bahwa penulis bisa digertak dengan ancaman murahan itu. Ndiwa ini mengaku diri seniman tapi kita mesti tambahkan: seniman gagal. Sebagai penyanyi kafe, ia kalah bersaing dengan orang Batak dan Ambon. Akhirnya terkesan memaksakan diri menjadi pengacara yang butuh kekuatan logika dan keluasan wawasan.  Hal yang terakhir ini memang sangat parah dan kacau terbaca dari tulisannya di media abal-abal. Tobbyas Ndiwa juga menulis: jenderal polisi saja pucat di pengadilan. Saya bingung: orang dengan pola pikir ugal-ugalana begini kok bisa buat jenderal polisi pucat ya? Tapi memang begitulah ciri-ciri orang lemah: selalu pamer kekuatan yang tidak seberapa.

Dia pun bercerita panjang lebar soal jasa Gories Mere (GM) di Waduk Lambo dan terhadap diri saya. Saya membaca tulisan Tobby ini dengan terpaksa karena jujur saja: tulisan itu sangat amburadul, abal-abal dan ugal-ugalan. Saya hampir tidak percaya bahwa seorang pengacara-katanya level nasional dan internasional, apalagi mengaku diri seniman-punya struktur berpikir yang sangat kacau. Tidak ada pencerahan kritis bagi publik Nagekeo. Hanya narasi puja-puji Serfolus Tegu karena memang dia pengacaranya. Dia memang dibayar untuk membela Serfolus Tegu. Saya akui Tobby Ndiwa ini memang jenis pengacara yang maju tak gentar membela Serfolus Tegu yang membayarnya. Wajar saja. Tidak ada yang istimewa.

recommended by
BTC Income
Wanita Sikka Ungkap Cara Raih Rp 24 Juta per Hari!
Pelajari Lebih

Dalam catatan penulis, nama GM justru muncul dari celoteh para gerombolan dan komplotan mafia waduk Lambo. Saya heran, justru orang-orang yang sangat memuja-muji Serfolus Tegu melebihi dewa gelap, entah sadar atau tidak, membuka tabir “orang kuat Jakarta” itu. Penulis sendiri tidak pernah menyebut nama orang dalam serial tulisan. Kita masih sangat menghormati ketokohannya meski namanya kerap muncul dalam dugaan kuat adanya mafia di waduk Lambo. Nama GM selalu disebut Serfolus Tegu dalam banyak kesempatan terkait waduk Lambo. Tapi Serfolus Tegu tidak diapa-apakan, bahkan ada kesan sekelebat: Serfolus Tegu sengaja dibiarkan dan dipiara agar memanfaatkan Polres Nagekeo sebagai alat teror gerombolaan mafia waduk Lambo.

Penulis sendiri berpikir sederhana: Andaikan Bapak GM ini benar-benar tokoh Nagekeo, mestinya bersinergi bersama aparat penegak hukum membongkar dugaan mafia ini. GM itu tokoh hebat dalam dunia kepolisian, baik nasional maupun internasional. Tapi itu sebatas pemikiran sederhana saja. Selain Tobbyas Ndiwa, ada beberapa nama juga yang menyebut nama GM dalam tulisan di media abal-abal politinuantara.com: Krispin Rada, Kanisius Bheo, Tobbyas Ndiwa, Nelson Wada. Valens Daki Soo bahkan mempertanyakaan sosok yang ditulis “orang kuat Jakarta” di waduk Lambo. Menurutnya, Gories Mere (GM) tidak terlibat dalam dugaan praktik mafia waduk Lambo. Bahkan dikatakan mafia itu tidak ada. Publik punya persepsi dan pengetahuan sendiri perihal semua sandiwara dugaan mafia Lambo ini. Rakyat (Nagekeo) bukan waktunya lagi untuk dibohongi hanya dengan mengandalkan bantahan terlambat setelah luka sedemikian menganga dan air mata orang kecil mengalir di area seputaran waduk Lambo. Segala sesuatu ada waktunya. Segala ketenaran ada masanya. Ada bahaya sangat besar bahwa kita terlampau mendewakan masa lalu dan absen dengan realitas hari ini.

 

Kelompok dalam jejaring komplotan mafia Nagekeo sering memuntahkan sampah tololnya dalam ruang sampah “Nagekeo Mandiri” yang hanya berisi orang-orang dengan jenis sama: mafia waduk Lambo. Orang yang melawan pasti dikeluarkan. Maka tinggallah orang-orang sampah di dalamnya. Kemampuan sangat terbatas, hanya bisa mengoceh dan memuntahkan amarah di antara sesama picik akhirnya yang dituai adalah tetap kebodohan. Mereka memuntahkan frustrasi dan stressnya karena kehilangan ruang untuk merampas dan merampok hak rakyat. Mereka kerap menyerang orang lain dengan menarasikan kebejatan kelakuannya sendiri yang sudah lama diketahui publik Nagekeo. Orang-orang ini setelah Kabupaten Nagekeo terbentuk berperilaku kontraktor kelas teri tapi gaya hidup seolah jutawan. Mereka hanya melihat peluang dimana mereka dapatkan uang.

Sesungguhnya orang-orang ini adalah petani yang bergaya seolah-olah kontraktor. Ruang sampah “Nagekeo Mandiri” dimafiai oleh Gusti Bebi Daga. “Nagekeo Mandiri” adalah salah satu media yang dipakai komplotan mafia waduk Lambo untuk mengontrol opini publik Nagekeo. Sebagai pengelola buruk, Gusi Bebi Daga adalah korban termurah dari artificial intelligence (AI). Semua tulisannya diduga kerja tangan robot. Tanpa sadar Bebi ini sedang mengikuti jejak buruk AI yaitu perbudakan. Sepintas, AI terkesan mampu memproyeksikan otak manusia namun membawa kehancuran permanen bagi otak dalam menalar dan menemukan solusi bagi masalah berat dan rumit. Teknologi dengan jejak perbudakan ini telah menciptakan kebusukan otak. Kita duga, Gusti Bebi ada di titik ini. Hal ini sangat terbaca dari perubahan drastis tulisannya: setahun lalu setara pelajar kelas 2 SD, saat ini naik kelas 3 SD seolah langsung menulis tesis dan disertasi. Mungkin ada orang Nagekeo atau sesama mafia yang bisa jelaskan “tesis” dan “disertasi” kepada Gusti Daga karena kita duga otaknya telah disesaki lumut dan debu tanah yang digusur dengan pongah tanpa urat malu di Ulupulu.

Dia ini anggota KH Destroyer, corongnya Polres Nagekeo, dan preman kampungan yang ditugaskan menjadi “jongos bayaran” untuk mengawasi dan melancarkan proyek galian C illegal milik kontraktor Primus Wawo di kampung Wolosabi-Sipi, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro yang menghancurkan lingkungan dan merusak pekarangan rumah tuan tanah. Anggota KH Destroyer ini pada saat demo GMNI tahun 2023 mencekik pendemo tapi tidak dapat diproses hukum karena wajahnya ditutupi topeng atau (cadar?). Kita duga Gusti Daga itu orang dungu yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kedunguannya terbaca dalam postingan yang penuh sampah serapah dan teror keji. Itu pekerjaan yang biasa dilakukan preman. Semua itu adalah gambaran diri dan otak sepotong. Tapi “wora” melebihi getaran alat berat yang menghancurkan pekarangan rumah di Ulupulu. Dari dulu hingga kini masih mengemis untuk kembali menjadi tenaga harian lepas (THL) Nagekeo. Beberapa anggota komplotan ini adalah manusia frustrasi setelah dipecat dari THL. Para komplotan begundal ini yang acapkali diberikan data intelijen untuk menghajar lawan-lawan. Kini, para begundal itu kepanasan bagai cacing yang kejang-kejang dekat kost milik Dus Wedo, si “tuan tanah palsu” atau “tuan tanah dadakan” hasil bentukan Serfolus Tegu, yang tinggal bersama “ladies” milik orang di Pisa, Kelurahan Dhawe.

Maka kita sangat mengerti dan memahami sepak terjang mereka dalam dunia mafia Nagekeo. Kepanikan memang sangat menggelisahkan para komplotan mafia karena memang kapasitas intelektual sangat terbatas, hanya sepotong kecil saja. Maka tanggapan sampah dari tempat sampah “Nagekeo Mandiri” dibiarkan saja karena bau tengiknya akan segera dihilangkan angin. Kebenaran selalu abadi meski diterjang kekejian moncong para komplotan mafia.

Kita jadi bertanya niat baik dari GM dalam mensosialisasikan pentingnya Waduk Lambo bagi Nagekeo dan masyarakat terdampak. GM bolak-balik Jakarta-Rendu 30 kali untuk meyakinkan masyarakat menerima waduk. Ia bahkan membawa puluhan warga Rendu ke Jakarta untuk meyakinkan mereka betapa besarnya manfaat waduk bagi Nagekeo.

Tapi, setelah itu, orang-orang yang dekat dengan GM bergentayangan di waduk, baik menjadi mafia tanah, mafia galian C, mafia BBM bersubsidi, hingga mafia esek-esek. Banyak masyarakat terdampak waduk yang tidak menerima ganti rugi sesuai haknya, bahkan ada yang tidak menerima sama sekali dan ada pula yang meregang nyawa karena ulah oknum polisi yang menjadi bagian dari mafia.

Kita jadi bertanya, apa sesungguhnya motif GM ikut memperjuangkan pembangunan waduk? Apakah ia punya niat yang tulus membantu masyarakat Nagekeo mengingat kedekatan dia dengan Serfulos Tegu dan sejumlah oknum yang ditengarai sebagai mafia. Beberapa kali GM mengunjungi waduk bersama mereka, figur yang saya lawan selama ini. Media yang ikut bersama mereka dilarang membuat berita bahkan sekadar memosting foto dan video di media.

GM adalah tokoh besar yang namanya dikenal luas di level nasional sejak mendirikan dan memimpin Densus 88 Antiteror Polri hingga Kepala BNN dan sutan khusus Presiden Jokowi periode pertama. Ketika pensiun dari dinas Kepolisian 1 Desember 2012, ia menyandang Kombes Polisi. Sebuah prestasi yang tidak banyak dicapai oleh orang NTT.

Lulusan Akademi Kepolisian 1976 ini berpengalaman luas di bidang reserse dan intelijen, khususnya terorisme dan narkotika. Capaian lain prestisius lainnya adalah menjadi wakil Kabareskrim periode 2005–2008. Ia acap menjadi tempat bertanya perwira polisi yang bertugas di Densus 88.

GM banyak menyumbang pembangunan gereja dan kegiatan sosial. Ia dikenal cukup dermawan, termasuk pernah membantu saya dalam banyak kesempatan, termasuk momen duka keluarga. saya jujur akui semua pemberiannya yang tidak pernah saya kalkulasi. Saya mendengar juga bahwa ia banyak menolong orang yang kesulitan. Tanpa melihat motif, perhatian GM kepada sesama luar biasa.

Tapi, pertanyaannya, apakah benar pemberiannya itu tulus untuk membantu orang lain, membantu gereja, imam, dan sesama yang menderita? Apakah ia memberi dari kekurangan atau minimal memberikan dari kecukupan? Atau ia memberi dari kelimpahan? Apakah kekayaan yang dia miliki sekarang ini dari gaji dan pensiunan petinggi Polri? Ini semua pertanyaan yang wajar dikemukakan.

Apakah pribadi yang gemar memberikan bantuan kepada sesama sungguh lebih bayak memberi daripada menerima? Ataukah ia justru lebih banyak mengambil dibanding memberi? Hanya Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu.

Kita harus melawan upaya penaklukan dengan kedok bantuan. Mereka memberikan bantuan dengan tujuan pihak penerima bantuan tidak bisa bertindak sesuai hati nurani dan kebenaran.  Mereka menyandera orang baik dengan uang dan bantuan lainnya. Ini sebuah sikap yang sangat tidak terpuji bahkan boleh dibilang jahat.

Bantuan yang mereka berikan dibeberkan kepada publik dengan tujuan untuk membungkam pihak penerima bantuan. Setelah menerima bantuan, diri kita dianggap sudah terbelikan. Kita menjadi sandera dan dinistakan.

Saya memilih untuk membela kebenaran dan hak-hak orang kecil di Rendu dan di wilayah Nagekeo lainnya yang menjadi korban mafia daripada menjadi orang tersandera oleh sang dermawan. Orang kuat Jakarta memberikan pesan elektronik lewat seseorang untuk diteruskan kepada saya. Isi WA itu bernada ancaman. Sebagai pensiunan petinggi polisi ia bisa menyadap dan trace semua percakapan saya dengan pihak lain.

Menuduh saya sebagai agen provokator dan penulis pesanan sama sekali tidak berdasar. Saya seorang imam dan wartawan senior yang mempunyai pengetahuan dan jaringan di daerah. Tulisan saya tidak berasal dari satu sumber. Saya menulis dengan 100% kebebasan. Tidak ada satu pihak pun yang bisa mengatur, mengarahkan, apalagi mendikte saya untuk menulis sesuai pikirannya. Tapi, semua masukan yang baik dan benar saya terima, tentu dengan cross check dan check-and recheck.

 

Klarifikasi Secara Publik
Jika memang punya niat tulus membangun Nagekeo lewat pembangunan Waduk Lambo, sebaiknya Gories Mere (GM) menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi opini saya. Pertama, jelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “orang kuat” Jakarta adalah dirinya. Para oknum mafia yang menjadi pendukungan setianya sudah menyatakan bahwa orang kuat Jakarta adalah GM.

Puncaknya, pengakuan GM sendiri yang ia sampaikan lewat WhatsApp kepada seseorang sahabat agar pesan itu disampaikan kepada saya. Pesan elektronik itu sarat fitnah dan ancaman kepada saya dengan tujuan agar takut dan bungkam. Simak kutipan yang saya sampaikan. Isi WA yang utuh tetap saya simpan sebagai bukti:

“Yang teriak-2 Mafia, sebenarnya lah seorang Agent Provocateur sesuai pesanan yang membayar. Pada dasarnya begitulah perilaku seorang materialistis yg selalu memfitnah orang lain semena mena sesuai bayaran. Bukan menyampaikan hal yang benar. Tapi memutar balikkan fakta dan memfitnah.

Bilang ke Steph: Saya tahu siapa ‘Agent Handler’-nya yang membayar/membiayainya. Teroris dunia yang melanda Indonesia dan region saja, bisa di-detect dan diatasi. Kalau level provokasi Steph ini, juga bukan level utk saya layani.”

Cara yang dilakukan ini tidak elegan. Bapak GM adalah orang besar yang di mata publik NTT seorang hebat. Pesan elektronik ini sama sekali tidak menunjukkan kebesaran seorang tokoh dan yang ditokohkan. Jauh lebih elegan jika GM menggelar sebuah jumpa pers. Jelaskan terbuka kepada media. Jangan eksklusif kepada media KH Destroyer, tapi kepada media arus utama skala lokal dan nasional.  Berikan kesempatan awak media kebebasan dalam bertanya.

Kedua, nyatakan kepada publik bahwa GM tidak punya kedekatan emosional dengan Yudha Pranata dan Serfulos Tegu dan sejumlah oknum pengacara yang diduga masuk jaringan mafia. Tariklah garis demarkasi dengan Yudha dan Tegu. Berikan imbauan kepada Polri agar Teguh dicopot dari dinas kepolisian karena besarnya kerusakan hukum dan moral yang sudah dia perbuat. Sudah banyak warga yang menjadi korban.

Karena GM adalah polisi berprestasi semasa dinas, tokoh kebanggaan Indonesia, maka jadikan pembersihan mafia di Nagekeo sebagai momentum reformasi Polri. Untuk langkah besar ini, GM harus berjarak dengan Yudha, Tegu, dan semua mereka yang ditengarai sebagai mafia Nagekeo. Serial tulisan saya, walau tidak sempurna seperti teror GM, sedikit-banyaknya sudah membangunkan kesadaran rakyat Nagekeo akan haknya. Mereka selama ini hanya bicara bisik-bisik tentang mafia, tapi kini mereka sudah lebih berani.

Motif Pemberian Menentukan Nilai
Daripada melebar ke mana-mana sebaiknya kita kembali ke persoalan pokok. Benarkan ada mafia di Nagekeo seperti yang saya gambarkan selama ini? Benarkah Pak GM tidak punya hubungan dekat dengan Serfolus Tegu dan para oknum yang ditengarai sebagai mafia?

Mengapa Pak GM tampak sangat tersinggung bahkan kepanasan dengan tulisan mafia Nagekeo? Jika tidak ada mafia dan dirinya tidak punya hubungan apa pun dengan mafia Nagekeo, tak perlu tersinggung. Kalaupun tulisan perihal dugaan mafia itu celoteh kelas teri, mengapa tokoh sekaliber GM bisa menanggapi secara emosional? Saya pikir sederhana: orang seperti GM seujujurnya tidak perlu lagi masuk dalam “wilayah gelap” ini. Tentu beda dengan komplotan mafia waduk Lambo yang punya otak hanya sepotong jadi lebih banyak memuntahkan hoaks, sumpah serapah, teror, ancaman dan bau kentut persis binatang piaraan di pinggiran jalan berbatu. Masyarakat Nagekeo tidak akan percaya bahwa ada mafia di Nagekeo jika memang tidak ada. Namun, walaupun ada pihak yang mengatakan tidak ada mafia di Nagekeo, masyarakat tetap percaya ada mafia di Nagekeo karena memang ada mafia yang bergentanyangan di wilayahnya. Di dunia mana ada mafia yang mengaku dirinya adalah mafia? Tapi hebatnya komplotan mafia di Nagekeo adalah mampu berani membuka nama GM dengan moncongnya sendiri, yang selama ini hanya ditulis: orang kuat Jakarta. Komplotan jenis mafia paling “bodok” bahkan “kodok” ini hanya ada di Nagekeo khususnya seputaran waduk Lambo.

Banyak contoh dalam sejarah yang menampilkan wajah munafik. Ke publik mereka menampilkan diri sebagai dermawan, tapi uang yang mereka dermakan adalah hasil pemerasan.  Mereka memberi dan menjadi dermawan dengan motif buruk, bahkan jahat,

Kita sebut satu contoh, Bernard Lawrence Madoff, pelaku penipuan investasi terbesar dalam sejarah Amerika Serikat, sekaligus otak di balik skema Ponzi paling masif. Ia dijuluki “The Wizard of Wall Street” sebelum tertangkap dan setelah terbongkar, dia dijuluki “the architect of the largest Ponzi scheme in history.” Lahir 29 April 1938 di New York, Madoff meninggal 14 April 2021 di penjara federal AS. Ia adalah businessman, financier, pendiri Bernard L. Madoff Investment Securities (1960) Sebelum skandal terbongkar, Madoff sangat dihormati di Wall Street. Ia pernah menjabat ketua Nasdaq Stock Exchange, dan dikenal sebagai filantropis yang menyumbang ke banyak lembaga.

Madoff dikenal luas sebagai filantropis besar di New York, donor rumah sakit dan yayasan Yahudi, penyumbang seni, pendidikan, dan komunitas.  Fakta, ia menjalankan skema ponzi terbesar dalam sejarah AS. Korbannya adalah para pensiunan, keluarga kelas menengah, yayasan amal kecil, Gereja, dan serikat pekerja. Ia kemudian diberikan predikat “Dermawan yang ternyata mencuri dari orang-orang baik yang percaya padanya.”

Contoh lain adalah Leona Mindy Roberts Helmsley, pengusaha yang lahir tahun 1920 (New York) dan meninggal tahun 2007.  Ia pengusaha hotel, real estat, dan pemilik rantai Helmsley Hotels. Ia dikenal luas sebagai miliarder, istri dari taipan real estat Harry Helmsley. Ia mengelola sejumlah hotel elite di New York, termasuk Helmsley Palace yang sangat mewah.

Tapi, lebih banyak mengambil daripada memberi, ia dijuluki “The Queen of Mean” (Ratu Kekejaman). Ia menjadi simbol dermawan palsu, karena di depan publik tampak kaya, glamor, dan filantropis, tetapi di balik itu hidupnya penuh penyalahgunaan kekuasaan, penindasan terhadap orang kecil, serta penggelapan pajak besar. Kisahnya sering dipakai dalam kajian etika sebagai contoh klasik orang kaya yang memberi sedikit untuk citra, tetapi mengambil banyak dari orang-orang kecil dan negara.

Sesuai dengan julukan “The Queen of Mean”, Leona terbukti memperlakukan kasar, menghina, merendahkan pekerja. Ia sering memecat karyawan karena alasan sepele, menghina pelayan, resepsionis, dan petugas kebersihan, dan memperlakukan staf seperti budak.

Pada akhir 1980-an, Helmsley dan suaminya diadili karena menggelapkan pajak jutaan dolar, memaksa kontraktor kecil membayar biaya renovasi mansion pribadinya, menggunakan uang perusahaan (yang seharusnya untuk bisnis & pekerja) untuk gaya hidup mewah.  Biaya renovasi rumah pribadinya yang mahal dibebankan ke perusahaan, sehingga biaya itu ditutup dengan menaikkan harga layanan hotel yang dibayar oleh pelanggan kecil dan menengah.

Jika tokoh fiksi, Robin Hood, mengambil harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, Madoff dan Leona, tokoh riil, bertindak sebaliknya. Mereka mengambil dari orang kecil untuk memperkaya diri lalu memberi secuil agar tampak seperti pahlawan.

Bantuan Jadi Jerat Moral
Dalam dunia sosial kita, begitu banyak perbuatan tampak baik di permukaan. Bantuan diberikan, sumbangan disalurkan, perhatian ditunjukkan, dan derma dipertontonkan sebagai tanda kebaikan hati. Namun sejarah, filsafat, ajaran agama, dan bahkan intuisi moral paling sederhana mengingatkan kita: tidak semua yang tampak baik itu benar-benar baik. Kualitas sebuah perbuatan tidak diukur dari besarnya bantuan, melainkan dari niat yang melandasinya.

Di titik inilah kita diajak kembali ke sebuah pertanyaan mendasar: apakah memberi selalu berarti bermoral? Jawabannya: tidak selalu! Sering kali, pemberian yang tampak suci justru menjadi alat untuk menguasai, membungkam, mengontrol, bahkan menyandera kebebasan seseorang. Dan ketika itu terjadi, pemberian tersebut bukan lagi kebajikan, melainkan jerat moral.

Dalam tradisi filsafat klasik, para pemikir besar meletakkan niat sebagai inti dari etika tindakan. Aristoteles mengajarkan bahwa sebuah tindakan hanya dapat disebut baik bila dilakukan oleh pribadi yang baik, dengan tujuan yang baik, dan melalui cara yang baik. Artinya, tindakan lahiriah saja tidak cukup. Batin manusia-apa yang ia kehendaki-menentukan nilai moral perbuatannya.

Thomas Aquinas, teolog dan filsuf besar dalam tradisi Barat, merumuskan prinsip yang terkenal: Bonum ex integra causa, malum ex quocumque defectu. Kebaikan harus utuh; sedikit cacat saja dapat menjadikannya buruk. Niat adalah salah satu unsur utama itu. Bila niatnya cacat, seluruh tindakan kehilangan nilai moralnya, betapapun indah wujud luarnya. Immanuel Kant, tokoh etika modern, menegaskan hal yang sama: “Perbuatan moral adalah perbuatan yang dilakukan karena kewajiban moral, bukan demi pamrih.”

Maka seseorang yang memberi dengan maksud mengontrol, menutup-nutupi borok, atau menciptakan citra suci, sesungguhnya tidak sedang berbuat kebajikan. Ia hanya melakukan pemasaran kebajikan, bukan kebajikan itu sendiri.

Dalam tradisi Katolik, nilai moral suatu tindakan sangat ditentukan oleh maksud batin. Katekismus Gereja Katolik (KGK 1752) menyatakan, “Niat adalah unsur penting dalam penilaian moral. Niat yang baik tidak membuat suatu tindakan yang buruk menjadi baik.” Yesus sendiri mengecam mereka yang memberi tetapi ingin dipuji atau memperoleh kendali moral: “Janganlah engkau mengabarkan pemberianmu seperti orang munafik… supaya mereka dipuji orang.” (Matius 6:1-4) Ajaran ini sangat terang: memberi bukan untuk menaklukkan, bukan untuk mengikat, bukan untuk menuntut balasan. Jika ada pamrih kekuasaan, kontrol, atau pencitraan, maka perbuatan itu kehilangan ruhnya. Ia tidak lagi menjadi amal, melainkan transaksi moral.

Ilmu politik memiliki istilah khusus untuk tindakan memberi yang bermaksud menciptakan ketergantungan: clientelism. Di dalamnya terdapat pola: Patron memberi uang atau bantuan. Namun pemberian itu tidak pernah gratis, ada harga moral yang harus dibayar. Penerima tidak lagi bebas bersuara. Bantuan dipakai sebagai alat membungkam kritik.

Inilah pola patron-client yang digunakan banyak rezim korup di dunia. Pemberian berubah menjadi alat kontrol sosial, bukan solidaritas.  Bantuan seperti ini tidak membebaskan; ia menciptakan kelompok yang berutang budi, kelompok yang diharapkan diam ketika melihat ketidakadilan. Dalam kerangka ini, pemberian dapat berubah menjadi alat membungkam kebenaran. Dan ketika itu terjadi, pemberian itu bukan kebajikan, melainkan jebakan moral.

Budaya kita pun mengajarkan bahwa memberi adalah tindakan luhur. Namun leluhur-luhur bijak Nusantara selalu menambahkan syarat penting: “Bantuan yang membuat orang takluk bukan bantuan, itu jerat.” Dalam budaya timur, memberi harus dilakukan dengan hormat dan tanpa maksud merendahkan martabat orang lain. Memberi untuk menundukkan orang lain adalah tindakan rendah, bukan mulia.

Di banyak daerah adat, memberikan bantuan sambil mengumumkannya atau menuntut imbalan moral justru dianggap tindakan malu, atau tidak tahu diri. Orang baik memberi tanpa membuat penerimanya kehilangan harga diri.

Dalam Catholic Social Teaching (Ajaran Sosial Gereja), terdapat prinsip fundamental: “Keadilan adalah syarat pertama kehidupan moral; amal tidak pernah boleh menggantikan keadilan.” Jika seseorang memberi tetapi membiarkan ketidakadilan, melindungi mafia, menutup mata terhadap perampasan hak rakyat, atau menjadi bagian dari lingkaran kekerasan dan penindasan, maka seluruh amalnya tidak memiliki nilai moral. Amal tidak pernah dapat menebus ketidakadilan. Karena itu, derma yang lahir dari uang kotor atau relasi kotor tidak pernah menjadi kebajikan. Ia justru menjadi alat pengukuhan ketidakadilan.

Motif itu Menentukan Nilai Seseorang
Maka pertanyaan moral menjadi sangat tegas: Apakah seseorang yang memberi sumbangan gereja, membantu imam, membantu warga, namun berada di lingkaran mafia tanah, mafia BBM, mafia galian C, mafia esek-esek, dan dekat dengan oknum polisi bermasalah, dapat disebut tokoh baik?

Jawaban sesungguhnya hanya satu: Bergantung pada niatnya. Jika ia memberi demi citra, itu manipulasi. Jika memberi untuk membuat penerima diam, itu penjinakan moral. Jika memberi dari uang yang tak bersih, itu pembenaran kejahatan. Jika memberi sambil menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil, itu kemunafikan sosial.

Tidak semua pemberian adalah suci. Tidak semua derma adalah amal. Tidak semua kebaikan adalah kebaikan. Dalam etika sejati, niat adalah kompas yang mengungkap siapa seseorang sebenarnya. Karena itulah tulisan ini dibuat.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyerang pribadi. Bukan itu tujuan moralnya. Tulisan ini adalah seruan agar kita berani melihat bahwa di balik banyak pemberian, ada niat yang menyimpang. Bahwa di balik derma, kadang tersembunyi upaya membungkam suara kebenaran. Bahwa di balik senyum kebaikan, dapat tersembunyi cengkeraman jaringan kekuasaan gelap. Bahwa di balik senyum, tersembunyi tangan berdarah.

Saya menyerang sistem mafia, suatu jaringan busuk yang telah merampas hak-hak rakyat kecil di Nagekeo. Dan bila ada siapa pun, betapa pun namanya besar, betapa pun pernah berjasa, terlibat, melindungi, atau membiarkan jaringan itu bekerja, maka masyarakat berhak bertanya: Niatmu sebenarnya apa? Datang untuk rakyat, atau untuk kekuasaan, bisnis pribadi dan kelompok?  Memberi untuk menolong, atau untuk menaklukkan? Karena perbuatan baik tanpa niat baik hanyalah topeng. Cepat atau lambat, topeng itu akan jatuh, meninggalkan wajah asli di baliknya.

Kita mengapresiasi GM. Namun, fakta menunjukkan, GM bukan satu-satunya tokoh yang berjasa dalam proses panjang pembangunan Waduk Lambo. Banyak pihak lain-para tua adat, pemerintah daerah, para pemuka agama, serta warga terdampak sendiri-telah bekerja tanpa lelah meyakinkan komunitas-komunitas di sekitar lokasi agar bersedia menerima proyek tersebut. Mereka bekerja dalam diam. Namun dalam berbagai kesaksian masyarakat dan narasi publik yang beredar, nama GM kerap muncul sebagai figur penting yang memainkan peran strategis di balik terwujudnya waduk yang kemudian masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sejumlah testimoni menggambarkan GM sebagai aktor kunci yang melakukan lobi langsung kepada Presiden Joko Widodo agar Nagekeo memperoleh waduk sebagai solusi jangka panjang bagi persoalan kekeringan dan krisis air. Ia disebut bolak-balik Jakarta-Nagekeo hingga sekitar 30 kali, mengatur pertemuan, mengikuti prosesi adat, dan melakukan pendekatan intensif kepada berbagai suku yang semula menolak rencana pembangunan. Pada beberapa kesempatan, ia mengundang Kapolres dan Iptu Serfolus Tegu untuk membantu komunikasi lapangan, mulai dari sosialisasi awal hingga pembahasan skema ganti untung. Jejak perannya terlihat dalam ritual adat pemulihan, rapat-rapat warga, dan konsolidasi dukungan masyarakat.

Dalam narasi yang berkembang di lapangan, GM bahkan diposisikan sebagai figur sentral yang menginisiasi pelibatan Polres Ngada pada masa awal, serta meminta Iptu Serfolus Tegu mendampingi masyarakat sepanjang tahapan pembangunan hingga proses kompensasi. Ia hadir bukan hanya sebagai tokoh nasional asal Flores, tetapi sebagai pribadi yang mengaku terdorong oleh “panggilan moral” untuk menghadirkan infrastruktur air bagi warga Nagekeo.

Namun di balik semua itu, ada sebuah ironi moral yang mencuat. Ketika seseorang mengungkit terus-menerus jasa baiknya membangun Waduk Lambo, membantu Gereja, masyarakat Flores, dan bahkan bantuan kepada pribadi saya, nilai bantuannya justru runtuh. Kebaikan yang sejatinya adalah pemberian tulus berubah menjadi alat tekanan. Ia tampak memberi, tetapi sejatinya ia menagih. Pada titik ini, pertolongan kehilangan makna moral karena ternyata ia memberi untuk menyandera.

KebenaranTidak Bisa Disuap

Pada akhirnya, persoalan ini bukan semata tentang siapa yang pernah berjasa atau siapa yang pernah membantu. Persoalan ini jauh lebih mendasar: tentang niat, tentang moral, dan tentang martabat manusia. Ketika bantuan berubah menjadi alat pembungkaman, ketika kebaikan dijadikan alat menagih kesetiaan, dan ketika derma dipakai untuk menundukkan keberanian bersuara, maka yang rusak bukan hanya hubungan antarindividu, tetapi juga fondasi etika sosial sebuah masyarakat. Di titik itu, tidak ada lagi kebajikan yang tersisa hanyalah manipulasi.

Karena itu, siapa pun yang merasa tersinggung atau gelisah dengan tulisan ini seharusnya bercermin: apakah kegelisahan itu datang dari hati yang jernih atau dari kepentingan yang terusik? Bila tidak ada keterlibatan dengan mafia, tidak ada kepentingan kotor, tidak ada transaksi moral di balik layar, maka kebenaran tidak akan pernah melukai. Hanya mereka yang berada dalam bayang-bayang kekuasaan gelap yang takut pada cahaya. Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyerang pribadi, melainkan untuk menyingkap pola sistemik yang selama bertahun-tahun merampas hak rakyat kecil dan membungkam nurani publik.

Dan kepada siapa pun yang memakai jasa, derma, atau pengaruhnya untuk menagih diam, memaksa tunduk, atau menyandera suara kebenaran, pesan ini sederhana: rakyat Nagekeo tidak bisa dibeli. Kebenaran tidak bisa disuap. Dan mereka yang percaya pada nurani tidak akan pernah tunduk pada ancaman. Bantuan tanpa ketulusan hanyalah topeng; cepat atau lambat, topeng itu jatuh. Sejarah selalu membuktikan bahwa yang tersisa pada akhirnya bukanlah kekuasaan atau citra, tetapi integritas. Dan itulah yang sedang diperjuangkan di Nagekeo hari ini. *

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Hakim Kabulkan Praperadilan Sekretaris KPU Sumba Timur, Ahmad Azis Ismail Ucapkan Terima Kasih
Hukrim

Hakim Kabulkan Praperadilan Sekretaris KPU Sumba Timur, Ahmad Azis Ismail Ucapkan Terima Kasih

Hakim Kabulkan Praperadilan Sekretaris KPU Sumba Timur, Ahmad Azis Ismail Ucapkan Terima Kasih WAINGAPU : WARTA-NUSANTARA.COM —  Permohonan praperadilan yang...

Read more
Upaya Suap Rp 150 Juta dan Tindakan Polres Nagekeo Menolak Laporan PMKRI

Upaya Suap Rp 150 Juta dan Tindakan Polres Nagekeo Menolak Laporan PMKRI

Oditurat Militer III-14 Kupang Hadirkan Ahli Deddy Manafe Pekan Depan di Persidangan Prada Lucky

Oditurat Militer III-14 Kupang Hadirkan Ahli Deddy Manafe Pekan Depan di Persidangan Prada Lucky

Polres Ende Gelar Operasi Penegakan Ketertiban dan Disiplin Tingkatkan Profesionalisme

Polres Ende Gelar Operasi Penegakan Ketertiban dan Disiplin Tingkatkan Profesionalisme

Dugaan Terima Suap 2,6 Miliar Bupati Ponorogo Kena Operasi Tangkap Tangan, KPK Sita Uang Rp 500 Juta

Dugaan Terima Suap 2,6 Miliar Bupati Ponorogo Kena Operasi Tangkap Tangan, KPK Sita Uang Rp 500 Juta

Prabowo Lantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Jimly Jadi Ketua

Prabowo Lantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian, Jimly Jadi Ketua

Load More

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In