Oleh: Gerard D Tukan
Dosen Kimia FMIPA UNWIRA Kupang
WARTA-NUSANTARA.COM-Namanya Klaudius. Pria berkumis tebal ini wajahnya kalem dan menampakkan perangai sebagai orang yang tidak banyak bicara. Bagi yang baru berjumpa dengannya, tentu agak gerogi menatapnya. Sebab, agak sulit didapati senyumnya. Suaranya pun agak berhitung untuk keluar. Namun jika terlontar keluar kata-kata dari balik bibirnya yang terbalut kumis tebal itu,, keteduhan pun menyiram seketika.
“Kami senang dengan mahasiswa Unika yang KKN di desa ini karena mereka berbaur dengan kami warga dan mereka kompak serta saling mendengar” Lontaran kata-kata sejuk itu menjadi pemicu untuk mengorek lebih jauh tentang pria pendiam ini. Bertandang ke rumahnya, yang terletak di tanjakan yang cukup menguji nyali, di tanah miring nan terjal, di kawasan perbukitan desa Tonggo, saya temui rumah itu hanya satu, dan menjadi tempat tinggal Klaudius bersama keluarganya. Tanah miring dan curam, namun disulap menjadi satu area rata untuk
dibangun rumah tinggal. Hal itu menggambarkan bahwa Klaudius seorang pekerja keras. Dari halaman rumahnya kita harus melihat pantai dan air laut dengan pandangan menukik ke bawah. Kemiringan sekitar 80-an derajad. Pokoknya curam. Dan, dari pekarangan rumahnya itulah Klaudius setiap hari melihat laut Tonggo, laut Nangaroro, laut Teluk Ende yang biru membentang. Dari halaman rumahnya, ia kerap memandang arus laut mengalir dari samudera laut Sawu yang tentu membawa plankton-plankton dan makanan ikan lainnya. Selalu timbul gelora dari dalam benaknya untuk meraup isi laut yang membentang di setiap pandangannya, demi memajukan desa Tonggo.
Nama lengkapnya Klaudius Moi. Lahir di Pauwua Tonggo, 8 November 1978. Ia menggenggam ijasah pendidikan formal terakhir yakni STM Sanjaya Bajawa. Setelah tamat STM, ia merantau ke Malaysia. Ia kembali ke kampung halamannya, Tonggo, tahun 2006. Suami dari Klara Tuwa Azi dan ayah dari Klementinho, Yohanes, Hermanus, Claudiana, Gracela dan Leliana ini hidup membaur bersama warga desa Tonggo lainnya, dan terlibat dalam proses pembangunan desa Tonggo, yang ada dalam wilayah kecamatan Nangaroro kabupaten Nagekeo. Tahun 2012, warga desa Tonggo mempercayakannya menjadi ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Jabatan ini dipercayakan kepadanya selama 2 periode. Pada Tahun 2019, ketika desa Tonggo menjalani suksesi kepala desa, Klaudius ikut mencalonkan diri. Warga desa Tonggo pun mempercayakannya sebagai Kepala Desa Tonggo,

Klaudius Moi,
Kepala Desa Tonggo (2019 – 2024) Desa Tonggo yang ada di tepi pantai antara Nangaroro dan Maunori, (Maunori di kecamatan Keo Tengah), didominasi oleh topografi berbukit terjal. Potensi alam di darat (perkebunan), tidak seperti yang dimiliki oleh desa-desa di tepi pantai dalam wilayah kecamatan Keo Tengah, arah ke bagian Barat dari desa Tonggo tersebut. Kondisi itu memacu niat dan gagasan Klaudius, sang Kepala Desa, untuk mengoptimalkan potensi isi laut. Niat dan tekad membara itu didukung oleh infrastruktur jalan raya yang telah dibangun cukup memadai oleh pemerintah kabupaten Nagekeo. Jalan raya tersebut menghubungkan wilayah kecamatan Nangaroro dengan kecamatan Keo Tenga melalui jalur pantai
Selatan (jalur Pantasan), yang mana merupakan satu hasil atau terobosan pihak pemda Nagekeo membuka isolasi kawasan kecamatan Nangaroro dan kecamatan Keo Tengah. Sebelumnya, tidak ada jalan raya di jalur Pantasan itu yang memadai, lantaran topografi daratan tepi pantai yang berbukit dan curam. Akses ke desa Tonggo serta desa-desa tepi pantai dalam wilayah Kecamatan Keo Tengah harus melewati laut dari arah Kota Ende.

Potensi yang telah ada dan isolasi darat Jalur Pantasan yang telah dibuka tersebut, menggelorakan niat sang Kades Klaudius untuk menjadikan laut sebagai salah satu tiang utama penyanggah ekonomi Tonggo. Diceriterakannnya bahwa di dalam air laut yang membentang di hadapan desa Tonggo, telah ada rumpon-rumpon milik beberapa warga. Rumpon merupakan satu rakit yang di bagian bawahnya digantung daun-daun kelapa yang melayang di dalam air laut. Jika lumut telah tumbuh pada daun kelapa tersebut maka ikan-ikan akan mengerubuti. Sarana lain untuk proses “ternak’ ikan pada rumpon yaitu perlu adanya ‘perahu bakar’. Istilah perahu bakar yakni perahu yang dilengkapi dengan lampu-lampu. Jika di malam hari lampu-lampu menyala maka ikan-ikan akan naik ke permukaan air sehingga mudah ditangkap. Menurut Klaudius, pengelolaan rumpon yang bersifat perorangan serta dalam kapasitas yang kecil menyebabkan lambatnya laju ekonomi warga desa Tonggo dari sektor laut. Pasalnya, warga yang memiliki rumpon, hanya sebagai tempat ternak ikan. Lalu, ketika ikan sudah banyak, pemilik rumpon menghubungi pihak-pihak yang memiliki kapal atau armada berukuran 10 Gross Tonnage (10 GT) atau lebih untuk datang menangkap ikan di rumpon tersebut.
Para penangkap ikan mengambil ikan dalam jumlah yang banyak dan membawa ikan-ikan tangkapan itu pergi, sedangkan kepada pemilik rumpon dibayar dengan nilai yang rendah. Baginya, pemilik armada kapal yang berukuran besar dan berkekuatan 10 GT itulah yang meraup keuntungan berlipat-lipat, bisa mencapai 25 sampai 30-an juta rupiah sekali lingkar rumpon. Apalagi kalau kapal besar itu mempunyai lampu yang bagus dan menyala dalam waktu yang relatif lama maka akan meraup ikan lebih banyak. Sedangkan warganya yang pemilik rumpon kurang diuntungkan. Pengawasan terhadap hal ini demi membela keberadaan warga pemilik rumpon pun sulit dilakukan karena desanya tidak memiliki armada kapal pengawasan dan instrument-instrumen lain yang berkaitan dengan pengawasan. Faktor lain yakni transaksi antar pemilik rumpon dan pihak penangkap ikan terjadi di tengah laut.
Sebagai Kepala Desa, Klaudius sedang berjuang untuk desanya dapat memiliki armada kapal berkekuatan 10 GT atau lebih sehingga kapal milik desa-lah yang membeli ikan dari warga pemilik rumpon, atau melakukan lingkar rumpon. Lalu desa yang memasarkan ikan-ikan tersebut.. Menurutnya, itu merupakan satu program unggulan dirinya ketika kampanye sebagai calon kepala desa saat proses pemilihan lalu. Ia ingin mewujudkan gagasannya itu untuk dikelolah oleh BUMDES desa Tonggo. Namun, perjuangannya itu cukup berat dan menantang, sebab harga kapal kapasitas 10 GT minimal 500 juta rupiah. Perjuangan untuk bisa mendapat sponsor atau dukungan memperoleh satu uit kapal kapasitas minimal 10 GT, sudah ia lakukan. Dikisahkannya bahwa dirinya telah berusaha menjumpai pihak-pihak yang berurusan dengan kelautan dan perikanan, baik di tingkat provinsi maupun ke tingkat pusat.
Namun, belum juga ada kabar baik. Sembari itu, dirinya bersafari ke berbagai desa tetangga untuk coba melempar gagasan membangun BUMDES bersama dalam hal tatakelolah penjualan ikan hasil tangkapan di rumpon, jika kapal 10 GT yang diperjuangkannya telah ada. Diinformasikannya bahwa desa-desa yang diajak berdiskusi tentang hal ini, telah menyatakan siap bekerja sama, karena dianggap sebagai satu peluang yang potensial. Ia masih berjuang mengetuk hati orang untuk desanya bisa memiliki satu unit armada 10 GT. Mungkin satu jalan yang bakal ditempuhnya adalah membenahi kepengurusan dan kapasitas BUMDES agar dapat memiliki badan hukum sehingga bisa berkolaborasi dengan pihak bank. Terkait ini, dirinya membutuhkan pendampingan dan penguatan dari pihak lain yang mau membagi ilmu untuk penguatan kapasitas BUMDES di desanya***.