Rom. 6:3-11; Luk. 24:1-12
Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
B
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, dalam seluruh perayaan gereja katolik, yang paling lama dan meriah adalah Perayaan Malam Paskah, Malam ini, kita telah memulai perayaan suci ini yang diawali dengan Upacara Cahaya. Nyala api baru melambangkan keilahian Kristus dan cahaya lilin menjadi lambang kebangkitan Kristus. Cahaya itulah yang membantu kita untuk berjalan dalam terang. Upacara Cahaya yang ditutup dengan Pujian Paskah mengungkapkan kegembiraan dan sukacita kita akan Kristus yang telah Bangkit.
Seandainya Yesus tidak bangkit, sepanjang hidup kita tidak akan pernah mendengar sesuatu pun tentang Dia lagi. Malam ini, kita mendengar injil yang mengisahkan tentang inisiatif perempuan-perempuan untuk mendatangi Yesus di makam-Nya. Mereka memiliki niat yang mulia. Mereka hendak merempa-rempahi jenasah Yesus. Namun sayang, niat mereka tiada kesampaian. Justru bukan jenasah Yesus yang dijumpai, melainkan batu yang sudah terguling dari makam. Bagi mereka, batu yang terguling dari makam memudahkan mereka untuk masuk dan menemui jenasah Yesus. Ternyata, yang dijumpai perempuan-perempuaan itu adalah kekosongan. Mereka tidak melihat jenasah Yesus. Tetapi tiba-tiba, berdirilah di hadapan mereka dua orang pemuda berpakaian putih berkilau-kilauan. Kedua pemuda itu berkata:” Mengapa kamu harus mencari yang hidup di antara orang mati? Dia tidak lagi di sini. Dia sudah bangkit. Rupanya kedua pemuda itu tahu bahwa perempuan-perempuan pemberani itu, telah lupa atau (tidak percaya?) tentang apa yang dikatakan Yesus. Karena itu, memory kolektif mereka, segera disadarkan oleh kedua pemuda itu. Coba ingat baik-baik, apa yang pernah dikatakan-Nya kepadamu. Untuk membantu melawan lupa perempuan-perempuan itu, kedua pemuda itu mengulangi kembali kata-kata Yesus:” Putra Manusia harus diserahkan ke tangan orang berdosa, disalibkan dan bangkit pada hari ketiga.” Setelah mendengar kata-kata
itu, baru teringatlah mereka akan apa yang telah dikatakan oleh Yesus. Bagi perempuan-perempuan itu, kata-kata kedua pemuda itu ditambah dengan fakta bahwa batu telah terguling dan kubur pun telah kosong, adalah kabar sukacita, warta kebangkitan. Warta Paskah. Sekembali dari makam, mereka menceritakan semuanya itu kepada kesebelas murid Yesus. Ternyata para rasul itu tidak percaya; mereka menganggap cerita itu omong kosong, bualan mereka belaka. Tetapi tidak untuk Petrus. Sikap Petrus berbanding terbalik dengan sikap kesepuluh murid yang lain. Bagi Petrus, cerita dari Maria Magdalena, Yohana, dan Maria Ibunda Yakobus serta wanita-wanita lain adalah warta sukacita. Bagi Petrus kabar itu adalah kabar kegembiraan paskah. Maka tanpa tunggu lama-lama, ia bangkit berdiri dan berlari ke makam. Ia tidak berhenti di makam. Ia masuk menjenguk ke dalam makam tetapi yang dilihatnya hanya kain kafan. Ia pun kembali keheran-heranan memikirkan apa yang terjadi.
Ternyata, kubur kosong dan tertinggalnya kain lenan di kubur itu, tidak serta merta membuat memory Petrus kembali ingat akan kata-kata Yesus. Rupanya Petrus belum percaya pada apa yang dikatakan Yesus. Karena itu, dia tinggal dalam kegamangan pikiran sendiri, sebelum ia mendapatkan pencerahan iman. Warta perempuan-perempuan itu, tidak membuatnya percaya. Ia hendak membuktikan sendiri. Namun tak dijumpai dua orang pemuda di makam, yang bertugas untuk memberikan pencerahan iman. Karena itu, ia berkutat dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Pertanyaannya, mengapa Petrus heran dengan fakta-fakta yang dilihatnya, kubur kosong dan kain lenan yang tertinggal dan kesepuluh murid yang lain tidak percaya akan kabar dari para wanita?
Petrus dan murid-murid lain adalah kelompok patrialkat, kelompok yang masih mendominasi segala dimensi kehidupan sesuai dengan tradisi Yahudi, yang melihat wanita itu makhluk kelas dua. Maka tidak heran, karena mereka masih terkungkung dengan tradisi itu, warta perempuan-perempuan itu tidak mereka percaya. Petrus berusaha keluar dari kekangan tradisi itu, dengan cara “memisahkan dirinya” dari kesepuluh murid yang lain, untuk pergi sendirian ke makam Yesus. Namun yang dijumpai Petrus: batu yang terguling, kubur kosong dan kain lenan, tidak menjadi cukup bukti bagi dia untuk percaya pada apa yang dikatakan perempuan-perempuan itu. Apalagi, dia pun tidak diingatkan oleh dua orang pemuda akan kata-kata Yesus. Maka ia pun sama seperti kesepuluhs murid yang lain, gagal percaya. Kegagalan dia membuatnya kebingungan dan bertanya-tanya dalam hatinya. Ia terlilit dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia belum menjadi murid yang merdeka, murid yang mengimani kebangkitan Yesus Gurunya, Ia lupa kata-kata Gurunya sendiri:”
Putra Manusia harus diserahkan ke tangan orang berdosa, disalibkan dan bangkit pada hari ketiga.” Kesebalas murid, tidak terkecuali Petrus, mereka ternyata masing merasa superior. Mereka akhirnya menjadi korban budaya patrialkat orang Yahudi lalu gagal menjadi manusia paskah. Mereka masih menjadi manusia lama, manusia yang tidak saja terlilit oleh dosa-dosa pribadi mereka, tetapi juga tersandra oleh budaya mereka. Patutlah disesalkan, ternyatamereka adalah murid-murid Yesus, yang sehari-hari selama tiga tahun ada bersama Yesus, tetapi tidak mengenal dengan baik siapakah Guru mereka itu. Mereka hanya sebatas tahu tentang Yesus, tetapi tidak benar-benar mengenal Yesus.
Saudara-saudaraku yang terkasih, Yesus bukanlah seorang pribadi atau seorang tokoh yang sekadar dijumpai dalam buku sebagai figur dalam sejarah. Ia adalah seorang Pribadi, yang kini pun hidup dan hadir. Karena itu kita bukan sekadar ingat akan Dia, melainkan sekarang pun kita harus mengenal dan bertemu dengan Dia!
Kabar Paskah Perempuan-perempuan kepada para murid Yesus mengandung pesan untuk kita bahwa hidup kita sebagai orang kristiani sejati bukanlah sebagai seorang yang hanya tahu tentang Yesus melainkan sebagai orang yang mengenal Dia. Mengetahui tidak sama dengan mengenal! Kita semua, khususnya kita yang sedang merayakan Paskah Yesus, harus sungguh berusaha mengenal Kristus. Untuk bisa mengenal Kristus, kita harus menjadi manusia baru, manusia paskah Yesus sebagaimana kata-kata Paulus:” Seperti halnya Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian pula kita akan hidup dalam hidup yang baru. Sebab jika kita tidak bersatu dengan kematian_nya kita juga akan menjadi satu dengan kebangkitan-Nya.”Maka, marilah kita belajar dari ketidak-percayaan kesebelas murid Yesus, bahwa iman kita akan kebangkitan Tuhan bukanlah iman yang sekali jadi. Iman kita bukan pula iman yang statis. Tetapi iman yang terus berkembang, yang dilukiskan dengan kata-kata:” Dia tidak ada di sini.
Kata-kata ini mengandung makna perubahan. Ia memuat pesan reformasi, sebuah pembaharuan iman. Bahwa Tuhan Yesus Kristus yang kita imani adalah Tuhan yang hidup. Tuhan yang sudah bangkit. Karena itu Dia tidak ada di sini lagi. Maka, kita tidak boleh diam menunggu. Iman kita musti jadi iman yang proatif. Ia harus jadi iman yang kreatif. Bila kita memiliki iman yang proaktif-kreatif, maka kita adalah wanita-wanita tanpa nama dalam injil Lukas tadi, yang berjalan bersama Maria Magdalena, Yohana dan Maria Ibunda Yakobus ke makam Yesus.Di sana. Dalam dinamika kehidupan kita, kita harus menjumpai Dia, dan mendengarkan Dia, pada akhirnya kita mengenal Dia. Bila kita sudah mengenal Dia maka kita percaya kata-kata dua pemuda tadi:” Dia tidak lagi di sini, Dia sudah Bangkit!”








