Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Keb 18:6-9; Ibr II:1-2.8-19; Luk 12:32-48
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, Pada Minggu Biasa XIX ini Gereja menyuguhkan kepada kita tokoh-tokoh iman seperti yang kita dengar dalam bacaan II. Dari tokoh-tokoh iman itu, yang paling terkenal adalah Abraham. Kitab Suci memberikan kesaksian tentang tokoh iman ini sebagai berikut:” Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya,lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.”
Iman adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari hidup manusia, karena itu ia menjadi begitu penting dalam hidup seseorang sebagaimana dikatakan dalam bacaan II, bahwa “ iman adalahdasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksiankepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi.
Menyadari betapa pentingnya iman ini maka Abraham sungguh menyerahkan seluruh penyelenggaraan hidupnya kepada Allah. Apa yang dikatakan Allah kepadanya, dia lakukan karena dia yakin, Tuhan tentu mempunyai rancangan dan rencana yang lebih baik dan lebih indah untuk hidup dan kehidupannya di kemudian hari. Maka ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya,lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. Karena itu ia merasakan dirinya sebagai orang asing dalam ziarah itu, bahkan sampai ia menetap di tempat yang baru. Ia tetap menyadari dirinya sebagai “ orang asing” di tempat tinggalnya itu. Kendati demikian, ia menjalani hdiupnya di tempat yang sudah ditentukan Allah baginya. Sikap Abraham ini mau mengajarkan kepada kita bahwa iman dan ketaatan tidak dapat dipisahkan. Karena iman dan ketaatan itulah maka Abraham mengetahui bahwa negeri perjanjian yang di bumi ini bukanlah menjadi akhir dari pengembaraannya. Sebaliknya, negeri itu sejatinya menunjuk kepada kota yang akan dating yakni Yerusalem Sorgawi yang telah dipersiapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang setia. Karena imannya yang total kepada Allah inilah maka iman Abraham merupakan panutan untuk seluruh umat Allah. Karena itu maka apa yang diyakini Abraham, bahwa bumi tempat pijaknya cumalah sementara dan karena itu dia adalah orang asing di negeri yang baru itu maka kita pun harus menyadari bahwa kita juga hanya merantau di dunia ini dan sedang menuju ke kota yang akan datang, yakni Yerusalem Surgawi. Karena itu maka di dalam hidup ini janganlah kita mencari keamanan mutlak atau terpesona oleh dunia yang sekarang, atau janganlah pula hati kita terikat kepada harta duniawi, tetapi kita harus memandang diri kita sebagai orang asing dan pendatang di bumi ini. Bahwa bumi bukanlah tanah air kita yang terakhir, tetapi adalah negeri asing. Akhir dari perantauan kita adalah “tanah air yang lebih baik” yakni “Yerusalem sorgawi” Pertanyaannya, kapankah kita akan menggapai Kota yang Akan Datang, “Yerusalem Surgawi?” Jawabannya, hanya Tuhanlah yang tahu. Namun untuk sampai kepada Kota yang akan datang itu, yang harus dilakukan oleh kita semua adalah berjaga-jaga, selalu waspada, selalu siap sedia, sebagaimana nasehat Yesus kepada para murid-Nya hari ini:” Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan.” Kita berjaga-jaga untuk menyongsong kedatangan Yesus yang kedua kali. Karena itu dalam bahasa kiasan yang digunakan oleh Lukas untuk melukiskan agar kita tetap berjaga-jaga adalah:” Hendaklah pinggangmu tetap terikatdan pelitamu tetap menyala.”
Maksud nasehat di atas tidak lain ialah bahwa hendaklah kita senantiasa berjaga-jaga dalam iman. Kita berjaga-jaga sambil menyadari bahwa bumi cumalah tempat persinggahan sementara. Kita adalah orang asing di tanah ini. Karena itu kita suatu ketika harus bergerak menuju ke Yerusalem Surgawi, Kota yang akan datang.
Karena itu kita harus memasrahkan hidup sepenuhnya pada rancangan dan kehendak Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Abraham. Berjaga-jaga juga bermakna dinamis dan proaktif, yakni bahwa kita harus melakukan segala sesuatu yang baik dan berguna sebagaimana yang dicontohkan oleh Yesus dalam perumpaan itu. Bahwa hamba yang terlihat siap sedia melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan benar sambil menunggu kedatangan tuannya, maka kepadanya akan disebutkan berbahagialah. Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang.
Bila dalam seluruh ziarah hidup kita, kita seperti hamba yang selalu berjaga-jaga dengan pekerjaan rumahnya sambil menunggu kedatangan Tuhannya, maka kata-kata peneguhan penginjil Lukas terpenuhi: Janganlah takut,hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu.” Maka saudara-saudaraku, kita tidak usah merasa cemas dan takut apabila kita telah mengisi hidup kita dengan perbuatan-perbuatan baik yang berguna yang daripadanya menjadi jembatan untuk kita menggapai kota yang akan datang, Yerusalem Surgawi. Jadi, kita yang menghormati Allah dengan hidup sebagai “pendatang dan perantau” dan yang menginginkan suatu tanah air yang lebih baik akan mendapatkan kehormatan dari Allah ketika Ia bersedia disebut sebagai Allahkita. Ia tidak akan malu untuk mengakui kita sebagai anak-anak-Nya sendiri.Maka dengan demikian terpenuhilah kata-kata Kitab Kebijaksanaan hari ini:” Kaumuliakan kami, setelah kami Kaupanggil.” ***