Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Pkh.1:2; 2:21-23; Kol. 3:1-5:9-11; Luk. 12:13-21
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, Pengkotbah pada hari ini mengingatkan kita, bahwa segala sesuatu “sia-sia belaka” (ay. 1:2). Tersebut segala sesuatu itu antara lain, harta duniawi dan ketenaran serta nama besar ada masanya. Kekayaan dan kepandaian itu ada batasnya. Kecantikan dan kecakapan ada umurnya, Semuanya ada batasan waktunya. Semua tak bertahan selamanya. Karena itu semuanya fana.
Sekalipun kita sadar bahwa segala yang tersebutkan di atas adalah hal-hal fana, atau dalam bahasa Pengkotbah, segala sesuatu itu sia-sia belaka, tetapi dasar kita manusia. Tak pernah puas dengan apa yang ada pada kita. Maka tidak heran, selama kita hidup di dunia ini, nampaknya kita berlelah-lelah untuk mengusahakan hal-hal tersebut. Kita lalu sering mengusahakan untuk mendapatkannya dengan cara-cara yang wajar, etis dan elok, namun terkadang pula kita mengusahakan untuk mendapatkannya dengan jalan-jalan sesat: menyikat, menyikut dan mencaplok serta merampas.
Cara-cara sesat yang digunakan untuk mendapatkan, untuk mengumpulkan semua hal yang menjadi keinginan kita adalah ciri khas dari manusia yang memiliki sifat yang tamak. Dalam bahasa Yunani kata tamak diterjemahkan sebagai pleonexia secara harfiah berarti kehausan untuk memiliki lebih banyak. Saking hausnya manusia untuk mendapatkan sesuatu yang lebih itu akhirnya terkadang membuatnya tidak tahu diri, sebagaimana yang diumpamakan oleh Yesus dalam kisah seorang kaya yang bodoh.
Adalah seorang kaya nan bodoh – tanpa nama – datanglah ia kepada Yesus dan meminta Yesus untuk menjadi “hakim” atas warisan yang hendak dia bagikan dengan saudara. Dia sadar bahwa harta peninggalan orang tua, atau harta warisan yang ditinggalkan orang tua mereka, berpotensi memicu pertengkaran, perkelahian atau bahkan pembunuhan di antara mereka sebagai ahli waris. Karena itu, dia datang meminta kepada Yesus untuk menjadi “hakim” untuk memutuskan mana yang menjadi bagian dari para ahli waris itu. Dia pun berkata kepada Yesus:” Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” Yesus memberikan jawaban sedemikian karena Yesus tahu, orang kaya itu mau memanfaatkan atau memperalat Yesus untuk kepentingan dirinya, untuk memenuhi keinginan hatinya, yakni mendapatkan harta . Mungkin saja dia berselisih dengan saudaranya itu dan dia lebih mementingkan harta warisan ketimbang persaudaraannya. Berangkat dari sikap orang kaya ini, Yesus pun menasehati murid-murid-Nya:” Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan , sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”
Kata-kata Yesus ini mengandung pesan bahwa hidup manusia tidak semata-mata tergantung kepada kekayaan, kepada harta yang berlimpah-limpah. Karena semua harta kekayaan itu adalah fana. Atau dalam bahasa pengkotbah:” segala sesuatu adalah sia-sia.” Karena segala sesuatu itu adalah sia-sia maka nasehat Santu Paulus dalam bacaan kedua hari ini jelas:”carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah.Pikirkanlah perkara yang di atasbukan yang di bumi.Maksud dari nasehat Paulus ini adalah supaya kita harus memikirkan perkara yang di atas dan membiarkan sikap kita ditentukan olehnya. Kita harus menilai, mempertimbangkan, dan memikirkan segala sesuatu dari sudut pandangan kekekalan dan sorga. Karena itu tujuan dan sasaran kita hendaknya juga mencari hal-hal rohani. Hal-hal rohani itu adalah mengenakan watak Kristus. Watak Kristus itu adalah semua sifat baik, kuasa, pengalaman, dan berkat rohani. Saudara-saudara, nasehat Paulus tidak berhenti di situ saja.Dia masih melanjutkan nasehatnya:”Matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi.” Segala sesuatu yang duniawi tersebutkan oleh Paulus sebagai percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala. Selain itu, kemarahan, kegeraman, kejahatan, fitnah, kata-kata kotor dan saling mendustai, adalah cara-cara sesat yang harus dijauhkan dan harus dibuang karena hanya mendatangkan murka Allah.
Saudara-saudaraku, nasehat Paulus carilah perkara yang di atas dan pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi, sejalan dengan nasehat Yesus kepada murid-murid-Nya dalam injil hari ini:” Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” Nasehat Yesus ini mustinya menyadarkan kita bahwa keselamatan kita di surga tidak ditentukan oleh seberapa limpahnya harta kekayaan kita, tetapi ditentukan oleh bagamaina seluruh kekayaan kita dimanfaatkan sebesar-besarnya tidak saja untuk kepentingan diri dan keluarga tetapi juga untuk kepentingan orang lain, teristimewa orang-orang yang sungguh-sungguh membutuhkan. Maka sejatinya, Yesus bukan tidak senang atau tidak suka dengan orang yang memiliki harta kekayaan berlimpah, tetapi bagaimana harta kekayaannya itu juga dapat berguna bagi orang lain.
Singkat kata, seseorang yang berlimpah-limpah hartanya, tetapi juga harus kaya di hadapan Allah. Yang hendak ditonjolkan Yesus dalam nasehat ini adalah seseorang tidak boleh terkungkung dan terpenjara karena harta duniawinya yang begitu berlimpah tetapi bagaimana harta duniawi yang berlimpah ini bernilai social untuk kebahagiaan orang lain. Jadi, harta kekayaan itu tidak boleh membuat kita jadi pelit dan kikir. Harta kekayaan itu juga tidak boleh membuat kita untuk semakin serakah dan tamak.
Dengan apa yang ada pada kita, entah sedikit entah banyak, entah berkecukupan, entah berlimpah, dia mustinya jadi sarana keselamatan kita, sarana untuk menolong orang lain yang amat membutuhkannya. Bila kita sudah dapat berbuat sedemikian maka nasehat Paulus terpenuhi hari ini:” Carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah.Pikirkanlah perkara yang di atasbukan yang di bumi.” ***