Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Keb.2:12,17-20; Yak.3:16-4:3; Mrk. 9:30-70


WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, Pemberitahuan tentang penderitaan Yesusmelalui pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya:” Menurut kamu, siapakah Aku?” Atas pertanyaan itu, Petrus kemudian menjawab:” Engkau adalah Mesias.” Terhadap jawaban Petrus itu, Yesus pun menjelaskan tentang ke-Mesias-an-Nya. Bahwa “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit”

Hari ini, pernyataan ke-Mesias-an yang sama diulangi lagi oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” Pengajaran ini bahkan diulangi untuk ketiga kalinya dalam injil Mrk. 10:33-34.“Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit.”

Yesus mengulangi lagi ajaran-Nya itu karena terdorong dari perihal yang dipercakapkan oleh murid-murid-Nya, siapakah yang terbesar di antara mereka. Yesus tahu, yang dipercakapkan murid-murid-Nya itu. Tetapi begitu Dia bertanya kepada mereka, mereka malah diam membisu. Mereka diam membisu, karena motivasi mereka untuk menjadi yang terbesar, hanya untuk kepentingan diri. Hanya untuk sekedar cari prestise dan kedudukan, tetapi tidak berdampak bagi kepentingan orang banyak, terutama keberpihakan kepada yang lemah dan tidak berdaya.

Pertanyaannya, mengapa harus diulang-ulang pengajaran itu? Sebelum Dia wafat Yesus harus tanam benar-benar sikap pelayanan ini kepada murid-muridNya sampai mereka paham bahwa untuk menjadi yang terbesar, tujuannya demi untuk pelayanan kemanusiaan secara universal, pelayanan kepada mereka yang “kecil” dan terpinggirkan. Yesus hendak mengajarkan kepada mereka bahwa ketika mereka menjadi yang terbesar, hal utama yang harus mereka berikan adalah demi kepentingan orang-orang pinggiran. Maka kemudian Yesus katakan kepada murid-murid-Nya: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”

Untuk menegaskan bahwa mereka kelak menjadi pelayan untuk semua, Yesus kemudian mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

Pertanyaannya, mengapa Yesus justru mengambil seorang anak kecil, kemudian memeluknya sambil menyampaikan kata-kata itu kepada para murid? Anak kecil sebenarnya adalah symbol ketidakberdayaan. Anak kecil symbol ketidak mampuan. Anak kecil symbol ketergantungan. Anak kecil representasi orang-orang pinggiran. Anak kecil adalah sampah masyarakat. Kelompok ini sering tidak digubris, bahkan diabaikan. Karena mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka juga tidak memiliki akses apapun kepada “orang-orang besar.”
Maka pelukan Yesus sambil mengajarkan murid-murid-Nya adalah symbol kepedulian. Tanda keberpihakan terhadap kaum lemah tak berdaya. Yesus mau ingatkan bahwa ketika mereka menjadi orang besar, tugas utama adalah menaruh keberpihakan, memberikan perhatian kepada semua, teristimewa kepada orang-orang kecil. Orang yang terbesar harus berani mengutamakan pilihan untuk mendahulukan pelayanan kepada orang-orang miskin, kepada siapapun kaum yang rentan tak berdaya. Itulah tanggungjawab moral untuk mengangkat orang-orang seperti itu agar mereka merasa setara, sederajat dengan orang-orang lain. Dengan demikian maka bila kemarin mereka dianggap bukanlah siapa-siapa, – no body – maka dengan pelayanan kasihmu, mereka akhirnya diperhitungkan sebagai some body.
Singkatnya, Yesus memeluk anak kecil sambil mengajar murid-murid-Nya, Dia mau pesan kepada mereka, bila kelak menjadi yang terbesar, orang-orang seperti inilah yang menjadi prioritas pelayanan. Mereka harus dirangkul, tidak boleh diabaikan. Menjadi yang terbesar, maka wajib dekat dan berbelarasa kepada sesama, teristimewa orang-orang yang dianggap sebagai sampah masyarakat.
Untuk menjadi yang terbesar, mungkin saja, jalan yang dilalui seperti yang Yesus alami. Jalan penderitaan. Jalan salib. Maka dari itu Yesus pada minggu yang lalu sudah mengingatkan murid-murid-Nya barang siapa mengikuti Aku, harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Maka, bila menjadi yang terbesar, yang harus dilakukan adalah mengurbankan diri sehabis-habisnya demi untuk kebahagiaan orang, teristimewa mereka yang terpinggirkan, mereka yang hina dan tak berdaya, mereka yang kadang disebut sebagai sampah masyarakat.
Jadi, saudara-saudaraku, pengajaran Yesus itu menyadarkan para murid-Nya dan juga kita bahwa kebesaran yang sejati bukanlah terletak pada menjadi pemimpin, memiliki kekuasaan, atau prestasi perorangan yang tinggi, melainkan sikap hati yang dengan sungguh-sungguh ingin hidup bagi Allah dan bagi sesama manusia, teristimewa keberpihakan kepada yang miskin dan terlantar, yang penyakitan dan tak berdaya. Yesus hendak mengatakan kepada kita bahwa bila pada suatu menjadi yang terbesar, dalam pelayanan terhadap orang-orang yang tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Jadi, seseorang tidak boleh menjadi yang terbesar untuk kemuliaan dirinya, keluarga dan kroni-kroninya, tetapi harus menjadi yang terbesar demi kemuliaan manusia, teristimewa mereka yang tersingkir dan tidak diperhitungkan dalam kehidupan sosial.
Saudara-saudaraku, ajaran Yesus masih sangat relevan hingga saat ini. Muder Teresa dari Calcuta, India benar-benar melaksanakan pesan Yesus itu. Dia meninggalkan kemapanan hidup di biara, dan pergi menyusuri jejalanan kumuh dan sempit di Calcuta dan memberikan diri untuk orang-orang miskin yang terlempar dari kehidupan sosialnya. Ia menaruh empathy dan berbelarasa. Dia menghayati apa yang menjadi ajaran bapa-bapa Konsili Katikan II:”Kegembiran dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang miskin dan hina, menjadi kegembiraan dan harapan murid-murid Kristus.” Muder Teresa telah melaksanakan kemuridannya dengan patuh hingga titik darahnya yang terakhir. Karena karya besar kemanusiaannya ini ia digelari kudus, – hamba Allah -.
Pesan pelayanan dan pesan kemanusiaan itu ditujukan juga kepada kita hari ini.

Maka jika Anda dan saya hendak menjadi yang terbesar, perlulah kita ingat dan praktekan kata-kata santa Teresa dari Calcuta yang saya kutip untuk akhiri kotbah saya: “Jika Anda tidak dapat melakukan hal-hal besar, lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Jika Anda tidak dapat melakukannya dengan cinta yang besar, lakukan dengan sedikit cinta. Jika Anda tidak bisa melakukannya dengan sedikit cinta, lakukan saja.” ***
.