Oleh : Germanus S. Atawuwur
Am. 6:1a.4-7; 1 Tim.6:11-16; Luk.16:19-31
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, hemat saya, bacaan-bacaan suci hari ini, masih memiliki kesinambungan utuh dari bacaan-bacaan suci seminggu yang lalu. Seminggu yang lalu saya berkotbah bahwa harta duniawi yang kita punyai bersifat fana, namun ia bisa menjadi batu penjuru untuk menuju keselamatan tetapi sebaliknya, harta itu pula dapat saja menjadi batu sandungan menuju keselamatan. Harta itu bisa jadi batu penjuru bila harta itu memiliki nilai altruis. Harta itu bernilai social. Harta duniawi itu adalah kepemilikan kita secara pribadi, tetapi dia harus berdampak secara social, menolong orang miskin, membantu orang susah yang benar-benar membutuhkannya. Harta tidak boleh mengkerangkeng kita di dalam sifat kikir dan pelit. Harta juga tidak boleh membuat orang menjadi serakah. Tetapi sebaliknya, di dalam hartamu, terdapat rezeki bagi sesamamu. Seseorang itu, – entahkah siapa – tanpa nama juga punya hak atas hartamu asalkan kau rela member-sedekakan untuk sesamamu yang berkekurangan.
Sejalan dengan kotbah saya minggu lalu, hari ini bacaan-bacaan suci masih menegaskan hal yang sama, soal harta kekayaan dan sikap peduli bersesama dengan mengangkat dua sosok kontradiktif. Seorang kaya vs seorang miskin, hidup di dunia kini dan dunia nanti. Kontras keduanya dilukiskan dengan tajam. Si kaya berpakaian halus dan berjubah ungu, si miskin berbalutkan borok bau. Si kaya berpesta-pora dengan sesama hartawan, si miskin bersama anjing-anjing yang ‘berpesta’ dengan luka-lukanya. Si kaya-terbekati berada di dalam rumah, si najis-terkutuk tergeletak di gerbang orang kaya itu. Gerbang mustinya menjadi peluang dan kesempatan, untuk berbagi dan mengundang sesama masuk rumah. Akan tetapi, keduanya terpaku pada tempatnya. Tidak satupun kata tegur-sapa apalagi uluran tangan. Hanya ada kerinduan si miskin akan remah yang jatuh dari meja si kaya. Kerinduan yang tak terkabulkan!
Saudara, kontradiksi , – pertentangan – dua sosok ini, tidak saja pada kepemilikan harta benda versus ketiadaan apapun, tetapi, cerita ini juga punya “kejutan”: si miskin di beri nama, si kaya tidak. Si miskin hanya punya nama, meski tidak punya apa-apa. Lazarus berarti “Allah menolong”, pratanda akhir hidupnya yang bahagia. Sebagaimana dilukiskan Lukas:” Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham.” Tetapi sebaliknya, si kaya tidak punya nama meski ia punya segalanya. Itu pratanda nasib akhirnya yang hampa, bahkan setetes airpun tidak akan ia punya!
Kontradiksi ini jelas memberi pesan kehidupan yang tidak boleh dilupakan. Pesan kemanusiaan itu, hendak melawan gaya hidup segelintir orang kaya sebagaimana dilukiskan nabi Amos dalam bacaan I:” bagaimana perilaku sebahagiaan orang kaya yang menikmati kekayaannya. Dikatakan bahwa orang kaya itu:tempat tidur dari gading duduk berjuntai di ranjang, makanannya anak-anak domba dan lembu, berpesta dengan nyanyian dan anggur, memakai parfum dari minyak yang paling baik dan yang meminum air dari bokor. Namun dalam kemeriahan pesta pora yang mereka pertunjukkan terdapat dosa yang begitu besar: ketidakadilan, kemerosotan moral dan praktek keagamaan yang palsu yang mereka lakukan hanya demi untuk mendapatkan harta.

Berangkat dari bacaan I, Paulus pun lembut berpesan kepada Timotius, bahwa engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Nasehat Paulus untuk mengingatkan Timotius agar jangan berlaku seperti segelintir orang kaya Israel di zaman nabi Amos. Orang kaya itu. Mereka bersukacita atas harta dan pesta pora yang mereka punyai, namun sayang, harta kekayaan itu didapatkan dengan cara haram, yakni menipu, memeras, mencekik dan mencurangi orang-orang lemah dan miskin.
Saudara-saudaraku, Lukas menggambarkan secara baru untuk maksud sebagai peringatan bagi segelintir orang kaya yang harta kekayaannya dikumpulkan dengan cara haram, tetapi kemudian harta itu sendiri membelenggunya di dalam kepongahan dan ketidakpedulian. Lukiskan dua figur dalam injil itu menggambarkan orang kaya yang telah mati rasa. Rasa empatynya sudah jauh tenggelam dalam sikap individualistis. Ia telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia Allah. Inilah alasan terdalam, mengapa orang kaya itu hanya dilukiskan secara anonim, – tanpa nama -. Karena nama menunjukkan identitas. Karena nama mengekspresikan tabiat. Karena nama menggambarkan jati diri seseorang. Ketiadaan nama, maka anda bukan siapa-siapa alias no body.
Karena dia hanyalah no body maka walaupun meninggal dan dikuburkan secara terhormat, namun kehormatan yang diberikan manusia di akhir hajatnya, tiadalah setara dengan kehormatan yang Tuhan berikan kepada Lazarus, si miskin itu. Tuhan memperhitungkannya dalam barisan keselamatan. Karena Tuhan menolongnya tatkala ia mati meregang nyawa. Tuhan tidak ingin “memperlakukan” jasad busuk yang mungkin saja tiada dikuburkan. Tuhan terlebih dahulu menyingkirkan cibiran dan tutup hidung serta makian terhadap jasad si miskin itu. Maka Tuhan memuliakan dia tatkala dia meninggal. Jasad Lazarus dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Tuhan memuliakan Lazarus dengan cara malaekat-malaekat membawanya ke pangkuan Abraham.
Saudara-saudaraku…Lazarus naik ke pangkuan Abraham, sedangkan si kaya turun ke dalam kuburan. Sekarang, jurang antar-keduanya sudah amat lebar dan tak lagi dapat dijembatani. Nasib akhir keduanya sudah definitif: Lazarus menjadi tamu terhormat dalam jamuan abadi, sedangkan si kaya menderita di alam maut.
Kenyataan tragis yang dialami orang kaya tanpa nama itu membuatnya sadar. Mata hatinya sekarang baru terbuka tatkala melihat Lazarus. Sebab, selagi ia masih hidup, mata hatinyanya tertutup untuk membantu. Setelah wafat, matanya terbuka untuk meminta tolong. Tetapi, ia hanya menyapa Abraham, karena baginya, Lazarus tetap saja si miskin dan suruhan. Karena itu ia berteriak minta tolong:” Bapa Abraham, kasihanilah aku!” Namun jawaban Abraham sungguh menyayat hati:” di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. Jawaban Abraham hendak menegaskan kepada si kaya bahwa Lazarus yang setiap saat berbaring di depan gerbangmu, sejatinya adalah “keluhan, rintihan dan teriakan tanpa suara, memohon bantuan dan uluran tanganmu.

Namun ternyata pintu hatinya telah tertutup rapat. Sementara itu, kisah ini memberikan pelajaran humanisme kepada kita bahwa hanya di dunia ini ada peluang dan kesempatan untuk membantu sesama. Di dunia inilah ada kesempatan untuk membuka pintu hati bagi sesama yang menderita. Di dunia inilah ada peluang untuk membuka gerbang rumahmu untuk berbagi dengan mereka yang papa. Lalai membuka pintu Jawaban Abraham hendak menegaskan kepada si kaya bahwa Lazarus yang setiap saat berbaring di depan gerbangmu, sejatinya adalah “keluhan, rintihan dan teriakan tanpa suara, memohon bantuan dan uluran tanganmu. Namun ternyata pintu hatinya telah tertutup rapat. Sementara itu, kisah ini memberikan pelajaran humanisme kepada kita bahwa hanya di dunia ini ada peluang dan kesempatan untuk membantu sesama. Di dunia inilah ada kesempatan untuk membuka pintu hati bagi sesama yang menderita. Di dunia inilah ada peluang untuk membuka gerbang rumahmu untuk berbagi dengan mereka yang papa. Lalai membuka pintu dan menjembatani jarak kini dan di sini, pasti akan melebarkan jarak kita dengan perjamuan abadi nanti. Amin!!
Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero