Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Setiap tahun kita merayakan Pesta Keluarga Kudus. Hari raya ini diresmikan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1893. Hingga Januari 1969 dirayakan pada hari Minggu dalam Oktaf dari Epifani atau Penampakan Tuhan.
Kita tidak tahu, apa yang melatari refleksi Paus Leo XIII hingga beliau meresmikan pesta keluarga kudus ini. Namun bagi kita, merayakan pesta keluarga kudus hendak menunjukkan kepada kita bahwa Yesus yang Maha Tinggi itu, telah berkenan menjadi manusia dan tinggal dalam sebuah keluarga yang kita sebut sebagai Keluarga Kudus Nasaret.
Hadirnya Yesus dalam keluarga kudus di Nasaret membawa pesan kepada para keluarga di dunia ini, bahwa keluarga di mana saja berada, dalam kondisi apapun adalah lembaga yang kudus. Maka tidak heran, ada kebiasaan di paroki-paroki tertentu merayakan pembaruan janji nikah pada pesta keluarga kudus bagi pasutri yang sudah memasuki usia perkawinan yang ke-25, 40 dan 50 tahun. Melakukan pembaruan janji suci perkawinan dan saling mendoakan adalah praktek-praktek baik yang senantiasa menyadarkan setiap anggota keluarga bahwa keluarga memiliki dimensi Trinitaris. Karena itu relasi suami istri, orang tua dan anak sejatinya adalah representasi dari relasi Tritunggal yang Maha Kudus; hal mana telah ditunjukkan oleh Yesus dalam injil hari ini. Selama tiga hari berturut-turut Maria dan Yusuf mencari Yesus Putra mereka. Ternyata Dia ada di dalam Bait Suci di Yerusalem.
Begitu melihat Yesus, mereka tercengang lalu ibu-Nya berkata kepada-Nya:” Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami?” Lihatlah, Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Namun apa yang dikatakan Yesus kepada mereka? “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan Yesus kepada mereka. Lalu Yesus pulang bersama-sama mereka kembali ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Yesus makin bertambah besar, dan bertambah pula hikmat-Nya; Ia makin besar, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.
Dalam adegan singkat ini pesan yang hendak ditampilkan oleh penulis injil kepada pembaca dan pendengar bahwa hendaknya relasi suami-istri, anak-bapa, atau mama-anak, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu dalam kebersamaan di dalam keluarga saja tetapi harus mencapai puncaknya dalam membangun relasi dengan Tuhan sebagai inisiator dan pendiri keluarga. Dikala kita membangun relasi yang intim mesra dengan Allah sebagai inisiator tunggal keluarga, kita berharap ada kebahagiaan dan sukacita terus mengalir di dalam keluarga kita.
Namun manusia di dalam keluarga bukanlah kaum kherubim dan serafim. Mereka adalah manusia biasa sehingga tidak heran muncul problematika di dalam rumah tangga; hal mana secara sengaja ditampilkan oleh penginjil dalam cerita kudus hari ini. Yesus pergi begitu saja. Dia tidak memberitahukan orang tua-Nya. Orang tuanya menjadi cemas dan gelisah. Apalagi mereka sudah mencari selama tiga hari berturut-turut. Saat itu, tidak muncul pikiran dari Maria dan Yosef untuk melapor kepada polisi sebagai berita anak hilang, sebagaimana kebiasaan dewasa ini.
Mereka punya pandangan lain. Mereka tidak hilang akal. Pikiran mereka kemudian tertuju kepada Bait Allah di Yerusalem. Karena itu mereka bergegas ke sana setelah tiga hari mencari Yesus di rumah sanak keluarga. Tentu ada kontak bathin antara Sang Anak dengan orang tua. Benar adanya. Ternyata Yesus ada di dalam Bait Allah. Begitu melihat Maria dan Yusuf, Yesus berkata kepada mereka:” Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Terhadap jawab Putra mereka, Maria hanya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.
Jawaban Yesus, Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku mau menegaskan bahwa Yesus adalah serentak anak Manusia tetapi juga adalah – Anak Allah -. Sebagai Anak Allah, Dia merasa memiliki kewajiban untuk berada di dalam Rumah Bapa-Nya. Sikap Yesus ini mengajarkan kita untuk menyadari bahwa kita juga adalah anak Allah, putra dan putri Allah sebagaimana dikatakan dalam surat pertama Yohanes:” Saudara-saudaraku terkasih, lihatlah, betapa besar kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.”
Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih,
sekalipun kita sekarang ini adalah anak-anak Allah, bukan berarti di dalam keluarga kita hidup tanpa masalah. Masalah tentu senanitasa datang menimpah keluarga kita. Ada persoalan kecil, tetapi juga ada masalah berat, sebagaimana yang dialami oleh mayoritas keluarga di dunia dewasa ini.
Bahwa virus corona adalah biang kerok dari munculnya problematika dalam rumah tangga. Bahwa setiap keluarga di dunia tentu tidak bisa luput dari situasi ini. Malah keluarga harus menanggung beban dan kesulitan yang maha dasyat ketika pandemi covid-19 menerpa setiap bahtera rumahtagga baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak keluarga mengalami goncangan, stres dan tidak siap, membawa akibat yang sangat luas dan beragam. Krisis itu semakin parah ketika ada anggota keluarga yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), kehidupan ekonomi semakin tak menentu.
Para orangtua semakin bingung dan gelisah ketika harus bekerja dari rumah. Apa yang bisa dikerjakan di rumah kalau selama ini kehidupannya sangat bergantung pada apa yang dikerjakan di tempat kerja dan sekarang harus tinggal di rumah? Beban itu belum saja berakhir, ketika anak-anak yang harus ke sekolah tidak bisa ke sekolah dan harus belajar dari rumah. Entah melalui daring juga melalui tugas-tugas yang terasa sebagai beban. Tidak hanya anak-anak, tetapi orangtua semakin terbebani ketika harus mendampingi anak dalam belajar secara daring dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
Ketika keluarga-keluarga menghadapi dan mengalami situasi sulit dan berat seperti disebutkan di atas, banyak kali orang bertanya dan menggugat: di manakah Tuhan? Apakah Tuhan tidak peduli dan membiarkan kita berlarut-larut dalam prahara ini? Terkadang orang meragukan dan mungkin tidak percaya akan kehadiran Tuhan, ketika keluarga-keluarga kita tidak tau jalan keluar. Padahal, Tuhan selalu hadir dan turut merasakan kecemasan, kebingungan dan kesulitan serta penderitaan yang sedang kita hadapi dan alami.
Bacaan injil hari ini mengajarkan kita untuk tetap kuat dan bertahan sebagaimana yang diteladankan oleh Yosef dan Maria. Mereka resah dan gelisah namun tidak putus asa ketika harus mencari Yesus hingga tiga hari berturut-turut. Yesus ternyata ada di Bait Suci, di Rumah Bapa-Nya. Di dalam Rumah Bapa itu terjadi perjumpaan yang membahagiakan antara Maria Yusuf dan Putra mereka. Di dalam Rumah Bapa ini mereka menimbah kekuatan iman. Kekuatan untuk membawa kembali putra mereka dan membesarkannya hingga ia bertumbuh dewasa dalam kebijaksanaan dan semakin dicintai Tuhan dan manusia.
Apapun situasi kita, sebagai anak-anak Allah, mari kita pergi ke Rumah Bapa. Menjumpai Yesus yang sudah menunggu kita di sana. ***