• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Senin, November 10, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Lembata dan Fundasi Rumahnya

by WartaNusantara
Oktober 13, 2022
in Uncategorized
0
Lembata dan Fundasi Rumahnya
0
SHARES
377
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum

Pengantar Redaksi : Salah seorang narasumber pada Seminar dan acara Launching buku sejarah Lembata adalah, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, putra asal Lembata yang kini sebagai Dosen Bahasa dan Sastra di Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Ia menulis Epilog dalam buku karya Penulis, Thomas Ataladjar yang bertajuk, ” Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya”. Karena itu, Redaksi Warta Nusantara menurunkan secara lengkap agar pembaca dapat memahaminya secara utuh.

Acara seminar dan Launching Buku sejarah di Hotel Palm Indah, Lewoleba Barat, 12 Oktober 2022, hasil karya Penulis, Thomas Ataladjar bertajuk, ” Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya”, dihadiri Penjabat Bupati Lembata, Marsianus Jawa, Ketua DPRD Lembata, Petrus Gero, Wakil Ketua l, Gewura Fransiskus, Wakil Ketua ll, Begu Ibrahim, Para pimpinan OPD, para Camat, para Kepala Desa, pejuang otonomi Lembata dan ratusan undangan lainya.

Narasumber yang tampil dalam seminar dan launching buku sejarah setebal 550 halaman itu adalah : H. Sulaeman Hamzah, Anggota DPR RI Fraksi Partai Nasdem Dapil Provinsi Papua (menyampaikan Sambutan Penerbit), Prof. Dr. Alo Liliwei, MS, Guru Besar dan Pakar Komunikasi Lintas Budaya Universitas Nusa Cendana Kupang yang menulis prolog ,” Lembata, Dari Zaman Nirleka Sampai Kini”, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, Dosen Bahasa dan Sastra pad Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, dan Dr. Goris Lewoleba, Dosen di Jakarta yang bertindak sebagai moderator memandu jalannya seminar. Sementara Doa dibawakan oleh Pater Steph Tupen Witin, SVD, mantan Pemred Harian Flores Pos dan Penulis Buku.

Dr. Yoseph Yapi Taum mengawali tulisan Epilog dengan mengungkapkan narasi sebagai berikut. “Kau tak pernah cerita bahwa bulan lebih besar dan indah dilihat dari sini. Aku juga tak pernah tahu langit di sini lebih biru dan lautannya begitu jernih….” (Sari Narulita dalam novel Cintaku di Lembata, 2016) saya merasa terhormat ketika penulis buku’ini, Thomas Ataladjar, meminta saya menuliskan catatan penutup untuk bukunya Lembata dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya yang sangat berharga ini.

RelatedPosts

Kadis Pendidikan Lembata : “Tidak Benar Data Siswa 85 Persen Seks Bebas”

Kadis Pendidikan Lembata : “Tidak Benar Data Siswa 85 Persen Seks Bebas”

Dinas P3A Lembata Gelar Dialog-“Tobo Baung”: Apa Kata Masyarakat Adat Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dalam Tradisi Lamaholot

Dinas P3A Lembata Gelar Dialog-“Tobo Baung”: Apa Kata Masyarakat Adat Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dalam Tradisi Lamaholot

Load More

Inilah sebuah buku tentang sejarah Lembata yang komprehensif, yang disusun secara cermat dan sistematis. Sejarah Lembata diawali dengan menelusuri kisah-kisah prasejarah, migrasi penduduk, sejarah kolonialisme, swapraja, sistem pembagian wilayah Paji dan Demong, perjuangan otonomi, sampai dengan terwujudnya Kabupaten Lembata. Buku ini menjawab hampir semua pertanyaan tentang masa lampau Lembata di dalam
konteks sejarah peradaban lokal, nasional, regional, maupun global. Selain memiliki kecermatan dan ketelitian di dalam mengumpulkan data dan informasi, Thomas Atalajar juga memiliki ingatan fotografis tentang tanah Lembata, sekalipun beliau cukup lama tinggal di Jakarta.


Perjalanan sejarah yang panjang dan penuh dinamika telah membuat Lembata memiliki karakteristik tertentu yaqg berbeda dengan kabupaten tetangganya Flores Timur, yang samasama tergolong ke dalam rumpun bahasa dan budaya Lamaholot. Bahkan karena perbedaan prinsip itulah, sejak tahun 1954 tokoh-tokoh cendekiar’van Lembata memperjuangkan otonomi yang terpisah dari Kabupaten Flores Timur. Perjuangan itu baru terwujud 45 tahun kemudian. Pertanyaannya adalah, apa alasan pokok yang membuat tokoh-tokoh Lembata memperjuangkan otonomi selama lebih dari dua generasi? Apa makna perjuangan itu bagi Lembata saat ini? Catatan epilog ini mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut. Untuk itu, secara befiurut-turut tulisan ini mengungkap keragaman asal-usul, kolonialisme dan luka swapraja, dan akan diakhiri dengan penutup. Keragaman Asal-Usul Belumbanyaktersedia dokumen-dokumen tertulis yang mengungkap sejarah demografis Lembata secara utuh. Akan tetapi, beberapa dokumen yang ada menunjukkan bahwa sejak awal kemunculannya, penduduk Lembata sangat beragam. Dalam buku ini, khususnya pada Bab 3 yang berjudul “Melacak Asal Usul dan Migrasi dari Hindia Belakang ke Nusantara”, Thomas Atalajar merunut sejarah manusia purba, mulai dari migrasi homo erectus ke Nusantara (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu) sampai peilemuan homo Floresiensis (diperkirakan hidup di Flores 18.000 tahun yang lalu). Kedatangan homo sapiens –yang dipercaya sebagai asal-usul semua manusia modern– khususnya Melayu Austronesia sejak 5.200 tahun yang lalu ke wilayah Nusantara turut memberi gambaran tentang gelombang perpindahan sukusuku, yang kemudian membentuk suku Lamaholot. Di Lembata, dapat dilacak suku vang berasal dari wilayah nusantara bagian Barat (suku Sina Jawa Malaka atau “Lau Wai” yang datang dari seberang) maupun nusantara bagian Timur yang berasal dari “Seran Goram,” “Keroko Puken,” atau orang “Tena Mau ” (yang datang karena perahu mereka mau terdampar). Dalam buku Orang Ataili: Rekonstruksi Jejak-Jejak yang krcecer karya Pater Patrisius Dua Witin, CP., (2014) diungkap asal-usul dan jati diri orang Ataili (di dalam konteks orang Lembata pada umumnya). Orang-orang Ataili merupakan kaum imigran yang terusir dua kali karena bencana yang sangat besaq pertama dari Pulau Seram dan kedua dari Pulau Lepanbatan. Kerabat dekat orang Ataili tersebar di Smuki, Belgele, Bakaor, Waikomo, Roga, Bakalerek, dan Ong Lerek. Leluhur satu rombongan imigran Ataili adalah orang Udak, Lewuka, dan Snaki. Sementara itu, Gorys Keraf dalam bukunya berjudul MorJblogi Dialek Lamalera (1978) mengungkap keragaman suku dan asal usul orang Lamalera.

Lamalera dihuni oleh suku yang berasai dari Seram Goran, Abo-Mua,
Wato Bela, Nila, Roma, Sina-Jawa, Soge, Paga, Sika, dan suku asli Lamalera.
Dari segi bahasa dan budaya, Lembata sebagai sebuah daerah administratif tidak menunjukkan kesatuan linguistik seperti di wilayah lainnya. Gorys Keraf menyebutkan bahwa terdapat tiga cabang utama bahasa Lamaholot di Lembata, yang sudah memenuhi kriteria sebuah bahasa yakni 1) Lamaholot Barat yang meliputi Ile Ape, Lamalera, Mulan, Kawela, dan Lebatukan;2) Lamaholot Tengah yang meliputi bahasa Labalekan, Mingar, Lewuka, Lewokukr-rng, dan Painara; dan 3) Lamaholot Timur yang meliputi Lewoeleng dan Lamatuka. Inyo Yos Fernandez dalam bukunya Relasi
Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Lingnistik Historis Komparatif’terhadap Sembilan Bahaso di Flores (1996) menyebutkan bahwa Bahasa Kedang merupakan cabang bahasa tersendiri yang bukan termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia.


Karena itu, terdapat empat cabang bahasa utama di Lembata.
Dengan mengungkapkan keragaman asal-usul, bahasa, dan
budaya di Lembata ini, saya lrendak menegaskan bahwa Letnbata merupakan sebuah melting pot, tempat berhimpunnya berbagai suku dan bahasa yang kemudian melebur menjadi satu atatanah Lembata. Perjumpaan dengan agama-agama besar dunia memperlihatkan pula bahwa di Lembata hidup dua agama besar, Katolik dan Islam. “yang hidup berdampingan penuh toieransi hingga hari ini”. Kolonialisme dan Luka Swapraja Fakta tentang Lembata sebagai sebuah melting pot disadari sepenuhnya oleh tokoh-tokoh cendekiawan Lembata.

Beberapa tokoh pejuang warwah Lembata, yang harus disebut namanya dengan penuh hormat, antaralain Petrus Gute Betekeneng (ketua Partai Katolik ranting Lomblen Utara) dan Mas Abdul Salam Sarabiti (ketua Masyumi cabang Kedang). Dalam rapat di Hadakewa yang menghasilkan Pemyataan 7 Maret 1954 untuk Lomblen Bersatlr, keduanya menyampaikan pidato monumental yang menginginkan Lernbata bersatu, bebas dari pengaruh politik kolonial yang memecah-belah yang dilanjutkan dengan goresan luka akibat pembagian Lembata ke dalam dua wilayah swapraja. Pembagian itu telah membuat Len-rbata terpuruk dan terbelakang dalam segala hal. I(ita mengetahui bahwa pemerintah kolonialis Belanda membuat pengelompokan wilayah Flores Timur atas sepuluh kakang-schap di bawah Kerajaan Larantuka yang disebut Demon Lewo Pulo atau sepuluh wilayah Demon. Di Lembata terdapat dua kakang, yakni: Kakang Hadung dan Kakang Lamalera. Dalam perkembangannya kemudian, dipaksanakan tiga haminte untuk tunduk ke Swapraja Larantuka, yakni: Haminte Lewoleba, Haminte Lamalera, dan Haminte Labala. Selain itu, terdapat pengelompokan wilayah watan yang dihuni oleh kaum Paji, yang disebut Paji Watan Lema dan dipimpin oleh Raja Adonara. Di Lembata terdapat tiga wilayah Paji, yakni: Lewotolok, Labala, dan Kedang, yang kemudian membentuk tiga haminte suku Paji, yakni Haminte Kedang, Haminte Lewotolok, dan Haminte Kawela.

Dalam pertempuran yang terjadi berulang kali antara Belanda dan Portugis dalam abad ke-17, orangorang Belanda selalu bersekutu dengan raja-raja Islam dari wilayah Paji, sedangkan Portugis bertumpu pada Kerajaan Larantuka yang rujanya dibaptis tahun 1645. Dalam buku Kisah trl/ato Wele-Lia Nurat dalum Tradisi Puisi Lisan Flores Timur (Taurn, 1997) sudah diungkap tentang pertentangan dan peperangan yang terjadi terus-menurus antara Paji melawan Demon. Perang itu bermula dari pertikaian antara keturunan Lia Nurat (Ile Jadi) melawan keturunan Wato Wele (Larantuka). Dalam perkembangan selanjutnya, perang itu bergeser menjadi perang antara Paji melawan Demon, yakni perang antara pengikut raja-raja Katolik dari Larantuka (Demon) melawan pengikut rala-raja Islam dari Adonara dan Solcr tanpa melihat apakah mereka Islam, Katolik, atau kafir. Perang itu memuncak pada masa pemerintahan Raja Igo dan Raja Enga dari kerajaan Larantuka, di mana Raja Igo berpihak pada kaum Demon dan raja Enga berpihak pada kaum Paji. Selaras dengan itu, dibedakan antara orang Demon (Demon l{ara) yang hidup di tanah Demon dengan orang Paji (Paji Nara) yang hidup di atas Tanah Paji. Perselisihan dan peperangan antara Paji dan Demon ini beriangsung berabad-abad lamanya dan sukar sekaii didamaikan sampai pada abad ke-19. Hal yang sangat mengenaskan dan memprihantikan adalah, ketika Indonesia mencapai kemerdekaannya di tahun 1945, sistem pemerintahan berbasis konflik clivide et impera itu justru diawetkan ke dalam pembagian wilayah swapraja.

Lembata dibelah rnenjadi dua: swapraja Larantuka yang meliputi wilayah Demon dan swapraja Adonara yang meliputi wilayah Paji. Dasar pembagian ini terasa melecehkan akal sehat dan menusuk perasaan tokoh-tokoh Lembata. Hal inilah yang membakar jiwa dan menggelorakan semangat para cendekiawan asli Lembata untuk memperjuangkan otonomi dan membebaskan Lembata dari politik berbasis konflik dan perang warisan penjajah. N4ereka menyadari bahwa sistem pemerintahan kolonial dan swapraja inilah yang telah membuat Lembata terpuruk: rakyatsaling curiga dan hidup dalam ketakutan, kebodohan, kemiskinan, kemelaratan, keterisolasian. Di pihak iain, para pemimpin terus saja menindas rakyatnya untuk kepentingan kedudukan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan dirinya di barn’ah kekuasaan swapraja Larantuka dan Adonara.

Dalam pernyataan yang legendaris, tanggal 7 Maret 1954, Petrus Gute Betekeneng mengingatkan bahwa rakyat Lomblen adalah satu yang mendiami satu pulau yang dikelilingi oleh laut, yang dahulunya aCalah satu. Karena itu, ia secara lantang mengutuk orang yang menyebabkan keretakan dan perpecahan bagi persatuan Lembata. Sementara itu, Mas Abdul Salam Sarabiti menyerukan, “Kita harus hormat-menghormati. hargait) menghargai, kasihmengasihi hidup bersaudara dalam damai untuk diwariskan kepada anak cucu kita, generasi penerus kita, bukan perpecahan dan kekacauan, karena Injil dan A1 Quran mengajar kita saling mengasihi dan hidup bersaudara antara sesama sebagai anak Tuhan!” Lembata dan Pemimpin lntelektual Panorama sejarahperjuangan intelektual yang heroikdi masa lampauyang digambarkan di atas memperlihatkan identitas, sosok, karakteristik, dan fundasi rumah Lembata dengan terang-benderang. Berabad-abad lamanya Lembata hanya menjadi lahan garupan para pemimpin dan penjajah untuk kepentingan mereka sendiri dan sama sekali tidak memberi manfaat dan menguntungkan rakyat Lembata.

Rakyat Lembata yang majemuk asal-usul dan bahasanya telah jatuh bangun berjuang membangun satu peradaban ata Lembata, telah dikoyak oleh tangantangan ktkuasaan ke dalam kubu-kubu konflik yang tidak ada dasar argumen dan kegunaannya sama sekali bagi kemajuan Lembata. Apa yang dapat dipetik dari sejarah perjuangan para pendahuu itu bagi masa depan Lembata? Lembata perlu dipimpin dan dibangun oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang sejarah, budaya, konflik, dan perbedaan di masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Pemimpin Lembata harus diuji kemampuannya mencema perjalanan sejarah yang panjang dan penuh dinamika ini. Lembata tidak boleh dibiarkan dipimpin dan dibangun olehpetualang-petualang politikdanbisnis, yangtidakmemahami bagaimana Lembata terbentuk, bagaimana membaca.perbedaan yang sungguh-sungguh ada di dalam masyarakat, bagaimana merancang perubahan yang akan terjadi di masa depan, dan bagaimana menciptakan keharmonisan dan integrasi masyarakat. Lembata adalah sebuah payung besar untuk semua ataLembata. Di bawah payung besar itu, berlindung suku-suku, bahasa, agama, dan adat yang berbeda-beda. Lembata adalah tanah yang bisa menerima perbedaan karena sejak awal Lembata tidak dihuni oleh masyarakat yang homogen.

Lembata dibangun di atas fundasi pluralisme dan multikultural. Kesatuan Lembata yang beragam itu dahsyat dan kaya. Inilah saripati pesan terpenting dari buku ini: demokrasi yang harus dikembangkan di Lembata adalah model demokrasi multikultural, bukan unitarian. Karena itulah, Lernbata harus dipimpin dan dibangun dengan menggunakan ide, pikiran, pengetahuan. Hanya dengan demikian, Lembata bisa maju, berkembang, mekar seperti bunga berwarna-warni. Bukan dengan kekuasaan yang memaksa dan parokhial. Primordialisme suku serta perbedaan bahasa dan budaya dapat dengan mudah menlusup ke dalam kekuasaan, sebagai jalan rintuk memperoleh kekuasaan. Akan tetapi, politik identitas yang banyak digunakan dalam pemilihan umum di tempat lain Lembata dan Fundasi fturnhnya tidak dapat digunakan di I-embata.

Jika ini digunakan, kita mengkhianati perjuanga para pendahulu kita dan rakyat Lqmbata akan terus-menerus gelisah. Lembata lebih baik tidak dipimpin oleh kekuasaanyang seperti itu. Lembata membutuhkan pemikir,
pembaca, intelektual, dan pekerja sebagaimana diteladani oleh kaum cendekiawan Lembata yang memperjuangkan otonomi Lembata, yang merindukan Lembata tidak lagi terpuruk dan terbelakang. Mereka pada umumnya adalah guru-guru sekolah dasar yang tidak memburu kekuasaan apalagi kekayaan pribadi. Jika kekuasaan menjadi panglima, maka tangantangan kekuasaan itu mudah men)’usup melalui feodalisme,
politik identitas, kekuasaan yang memaksa dan memecah-belah.


Penutup


Bagi saya buku ini merupakan sebuah mercusuar, cahaya penerang yang membanfu navigasi perjalanan perahu Lembata menuju masa depan yang aman, damai, dan sejahtera. Mercuar biasanya menandai daerah-daerah yang berbahaya, misalnya karcng dan daerah laut yang dangkal. Buku ini telah menandai daerah-daerah yang berbahaya itu. Dalam pidato kepresidenan terakhir pada HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1966
yang diberinya judul “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah,” Bung Karno mengingatkan betapa pentingnya belajar dari sejarah. Beliau menyebutkan beberapa hal penting terutama tahun-tahun yang gawat (vivere pericoloso) dan konflik sesama anak bangsa. Pidato spektakuler tersebut mengingatkan kita agar memahami dengan baik persoalan-persoalan yang dihadapi di masa lampau agar keputusan yang kita
ambil saat ini tidak menimbulkan persoalan baru. Kita menyaksikan, karena melupakan sejarah, orde Baru muncul sebagai algojo yang dengan tangan berdarah-darah membantai sesama anak bangsa. Bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan golongan ini diikatnya dalam sebuah sistem unitarian otoriter. Kita perlu bersyuku bahwa tendensi demokrasi unitarian Orde Baru telah direformasi ke sistem demokrasi multikultural. Upaya segelintir orang untuk menegakkan kembali politik identitas yang
unitarian akan menghadapi perlawanan serius seluruh nkyat Indonesia.


Buku ini memiliki sebuah pesan yang sangat kuat dan penting untuk semua orang Lembata, terutama para pegawai negeri, pelayan LSM, pemimpin-pemimpinnya, termasuk para pendatang dari luar Lembata. Hanya dengan ikatan persaudaraan yag kuat, ditambah pengetahuan yang memadai tentang masa lampau, kita mampu membawa perahu Lembata ini ke masa depan yang lebih baik. Kebersamaan di dalam perbedaan itulah yang membuat tanah Lembata ini akan tampil dengan segala kesegaran perhiasanperhiasan dirinya, bagai bunga yang bangga ketika mekar di pagi hari.

Keindahan dan kesegaran Lembata itu sudah dirasakan banyak orang ketika mengunjungi tanah Lembata. Sasrawan perempuan Indonesia terkemuka, Sari Narulita, menggambarkan keindahan tanah Lembata dan keramahan ata Lembata dalam novelnya, Cintaku di Lembata. “Kau tak pernah cerita bahwa bulan lebih besar dan indah dilihat dari sini. Aku juga tak pernah tahu langit di sini lebih biru dan lautannya begitu jernih. . ..” ***(*/WN-01)


Yogyakarta, Desember 2020

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Kadis Pendidikan Lembata : “Tidak Benar Data Siswa 85 Persen Seks Bebas”
Pendidikan

Kadis Pendidikan Lembata : “Tidak Benar Data Siswa 85 Persen Seks Bebas”

Kadis Pendidikan Lembata : "Tidak Benar Data Siswa 85 Persen Seks Bebas" LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM--  Sejumlah pihak menilai LSM, Pemerhati...

Read more
Dinas P3A Lembata Gelar Dialog-“Tobo Baung”: Apa Kata Masyarakat Adat Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dalam Tradisi Lamaholot

Dinas P3A Lembata Gelar Dialog-“Tobo Baung”: Apa Kata Masyarakat Adat Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dalam Tradisi Lamaholot

Kejari Lembata Setor Uang Korupsi 1 Miliar Kasus Proyek Jalan : Lely Lumina Lay divonis 4 Tahun Penjara

Kejari Lembata Setor Uang Korupsi 1 Miliar Kasus Proyek Jalan : Lely Lumina Lay divonis 4 Tahun Penjara

KH. Ma’ruf Amin Pimpin Dewan Penasehat SMSI

KH. Ma’ruf Amin Pimpin Dewan Penasehat SMSI

Putra NTT Dr. Karolus Lando Pimpin Audit 16 Bandara di Indonesia

Putra NTT Dr. Karolus Lando Pimpin Audit 16 Bandara di Indonesia

Kakek 72 Tahun Setubui Dua Pelajar Kakak Beradik

Kakek 72 Tahun Setubui Dua Pelajar Kakak Beradik

Load More
Next Post
Yuk! Mengenal Lebih Dekat Diabetes Melitus Tipe 2, Berikut Penyebab, Gejala, Pengobatan Serta Pencegahan

Yuk! Mengenal Lebih Dekat Diabetes Melitus Tipe 2, Berikut Penyebab, Gejala, Pengobatan Serta Pencegahan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In