Oleh : Dr. Goris Lewoleba, M.Si
Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA
Hari-hari belakangan ini, masyarakat Indonesia di seantero Tanah Air masih sedang melakukan serangkaian acara silahturahmi dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah.
Meskipun perayaan dimaksud tidak semeriah seperti beberapa tahun yang silam, karena situasi ekonomi yang sedang terasa sangat sulit, tetapi hilir mudik masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menyongsong Hari Raya Idhul Fitri tahun ini tetaplah semarak sebagai ciri khas masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya.
Dikatakan demikian karena pada dasarnya, Hari Raya Idul Fitri di Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan perayaan serupa di negara lain. Hal ini disebabkan karena, adanya beberapa keunikan perayaan Idul Fitri di Tanah Air yang sudah menjadi semacam trade mark dalam kehidupan beriman dan beragama di Indonesia.
Salah satu ciri khas yang menjadi tautan benang budaya dalam perayaan Idul Fitri di negeri ini adalah Budaya Mudik Lebaran.
Mudik Lebaran merupakan tradisi pulang kampung atau “mudik” yang telah menjadi salah satu ciri khas utama Idul Fitri di Indonesia. Dalam hubungannya dengan hal ini maka, tampak nyata dalam pandangan mata bahwa, ada jutaan orang dari kota besar kembali ke desa di daerah asal untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Lebaran bersama keluarga di kampung halaman.
Demikian juga, secara ritual dengan basis kultural yang kuat dalam ikatan emosional dengan citarasa yang mengesankan, baik di pedesaan maupun di perkotaan, semarak perayaan Idul Fitri dapat diungkapkan dengan kegiatan Takbiran Keliling yang dilaksanakan pada malam hari sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Dalam ritual ini, masyarakat mengadakan takbiran keliling, dengan membawa obor atau lampion serta menggunakan kendaraan hias sambil mengumandangkan Takbir.
Kemudian, pada momentum puncak acara rohani ritual Idul Fitri adalah kegiatan Salat Id Berjamaah di Lapangan Terbuka. Sebagaimana diketahui bahwa, di banyak daerah, Salat Id dilakukan di lapangan terbuka, bukan hanya di masjid. Dan hal ini menciptakan suasana kebersamaan yang lebih luas dan humanis.
Dalam konteks yang lebih komprehensif, perayaan Idul Fitri juga semakin memperkuat Tradisi Sungkeman sebagai salah satu tautan benang budaya dengan menjahit kembali keretakan hati nurani yang selama ini mungkin saja terpisah, melalui saling mendoakan dan memaafkan dalam keluarga dan kerabat serta sahabat dan handai taulan, sembari menikmati hidangan kuliner khas Hari Raya Lebaran.
Perlu pula dinarasikan bahwa, makanan khas dalam Hari Raya Idul Fitri di Indonesia sangatlah beragam, seperti ketupat, opor ayam, rendang, sambal goreng ati, dan kue-kue kering seperti nastar dan lain sebagainya.
Kecuali itu, hal lain yang sangat fenomenal adalah soal THR (Tunjangan Hari Raya) serta Angpao Lebaran.
Dalam hubungannya dengan soal ini, pada umumnya, para karyawan biasanya menerima Tunjangan Hari Raya (THR), sementara anak-anak mendapatkan angpao, berupa uang dalam amplop dari orang tua atau kerabat.
Dalam tautan benang budaya di Indonesia, perayaan Idul Fitri itu, tidak hanya sampai di situ saja, tetapi akan ada acara lanjutan yang disebut sebagai Halalbihalal
Dikatakan demikian karena setelah Lebaran, masyarakat Indonesia mengadakan acara yang disebut sebagai halalbihalal, yaitu acara silaturahmi dan saling memaafkan, baik di lingkungan keluarga, tempat kerja, maupun komunitas lainnya yang terkait dengan konteks dan situasi dimana masyarakat itu berada.
Idul Fitri dalam Teori Politik Klasik
Dalam sudut pandang dinamika politik kontemporer, kerap kali sebagian pihak mengajukan konstatasi pemikiran dalam nada tanya yang retoris bahwa, apakah ada hubungan yang kompatibel antara kegiatan agama dan politik atau sebaliknya hubungan antara politik dan kegiatan agama dengan segala perangkat ritualnya seperti Hari Raya Keagamaan Idul Fitri ?
Pertanyaan ini menjadi basis argumentasi yang signifikan untuk dapat menjelaskan mengenai fenomena hubungan yang resiprokal atau timbal balik antara praktek kehidupan beragama di Indonesia dengan perilaku politik dari para politisi di negeri ini sejak melakukan Ibadah Puasa sampai kepada Perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Dalam praktek dan kenyataan hidup, dapat dikatakan bahwa, Bulan Puasa dan Idul Fitri memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku politik di Indonesia, baik dari sisi elite politik maupun masyarakat pada umumnya .
Hal ini dapat dinarasikan bahwa, dalam konteks praktek politik, para elit politik dapat menggunakan momentum Bulan Puasa dan Hari Raya Idul Fitri sebagai salah satu strategi politik yang paling relevan.
Hal ini disebabkan karena, para elite politik dan kandidat (eksekutif maupun legislatif), sering memanfaatkan momentum ramadan untuk meningkatkan citra religius mereka. Misalnya, kegiatan seperti buka puasa bersama, pembagian sembako, dan santunan anak yatim sering digunakan untuk menarik simpati publik. Dalam hubungannya dengan hal itu maka, penggunaan narasi keagamaan dalam komunikasi politik menjadi semakin meningkat, terutama di daerah dengan basis pemilih religius yang relatif besar.
Lebih daripada itu, para politisi, baik di ranah eksekutif maupun legislatif, kerap kali menggunakan dinamika elektoral dan opini publik untuk mengkapitalisasi momen Hari Raya Idul Fitri sebagai sumber Modal Sosial dan Politik melalui publikasi media selama Bulan Suci Ramadan, terutama melalui siaran televisi dan media sosial. Hal seperti ini dapat selalu dimanfaatkan oleh politisi untuk memperkuat branding dan menyampaikan pesan politik secara halus dan terselubung kepada publik.
Meskipun demikian, dalam konteks yang paradoksal, dapat terjadi bahwa situasi dari polarisasi politik cenderung mereda sementara waktu, karena masyarakat lebih fokus pada ibadah dan kegiatan sosial. Namun, menjelang Idul Fitri, politik bisa kembali memanas, terutama jika ada isu-isu strategis yang dimainkan.
Disamping itu, dalam momentum Idul Fitri, para politisi dapat melakukan kegiatan
mobilisasi politik dan juga memperkuat jaringan sosial. Hal dimaksud, dapat dilakukan melalui kegiatan Silaturahmi Idul Fitri, dimana momen ini dapat menjadi semacam ajang konsolidasi politik. Para politisi dapat memanfaatkan momen ini untuk mempererat hubungan dengan tokoh agama, kepala daerah, dan komunitas strategis lain yang terkait.
Fenomena ini dapat dijelaskan dengan Teori Fungsionalisme dalam hubungan antara agama dan politik, misalnya Émile Durkheim (1858–1917), dengan bukunya
The Elementary Forms of Religious Life (1912), yang menegaskan bahwa, Agama dengan segala perangkat ritualnya, berfungsi sebagai perekat sosial yang menciptakan solidaritas dan legitimasi terhadap norma-norma masyarakat, termasuk sistem politik.
Demikian juga dengan Talcott Parsons (1902–1979), dengan kayanya yang legendaris,
The Social System (1951), yang menegaskan bahwa, politik dan agama memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan sosial. Agama memberikan legitimasi moral bagi sistem politik yang ada.
Dan hal ini, senada dengan apa yang dikedepankan oleh Robert K. Merton (1910–2003), dalam karya klasik yang fenomenal, yaitu :
Social Theory and Social Structure (1949) yang mengemukakan bahwa, Agama memiliki fungsi manifes (terlihat) dan laten (tersembunyi) dalam kehidupan politik, termasuk dalam membangun norma dan nilai sosial.
Memperhatikan vocal point dari ketiga teori di atas, tampak terlihat dimana, para tokoh ini memberikan pemahaman bahwa agama dengan segala perangkat perayaannya (termasuk perayaan Idul Fitri) itu, bukan sekadar doktrin dan ritual perayaan teologis, tetapi juga merupakan alat yang membantu menjaga stabilitas politik dan sosial dalam suatu masyarakat.
Dinamika Elit Politik Dalam Perayaan Idul Fitri
Sesungguhnya sudah menjadi semacam common sense bahwa, Indonesia merupakan negara pemeluk muslim terbesar di dunia. Hal ini disebabkan karena, berdasarkan data BPS (2024), penduduk pemeluk muslim di Indonesia sebanyak 248,22 juta jiwa atau kurang lebih sebesar 87, 09 persen dari total populasi penduduk di Indonesia.
Dengan demikian maka, tidaklah berlebihan, kalau kemudian dikatakan bahwa, hampir sebagian besar warga negara Indonesia, baik di kalangan akar rumput maupun pada level kelas menengah ke atas, termasuk para elit politik di negeri ini, semuanya merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Oleh karena itu, Perayaan Idul Fitri di Tanah Air memiliki makna yang luas dalam budaya politik di Indonesia, terutama karena pengaruhnya terhadap hubungan antara pemimpin dan masyarakat, serta dinamika politik nasional antar para elit politik yang sedang terjadi di negeri ini.
Dalam kaitannya dengan situasi dan
dinamika politik yang lebih kontekstual maka, Perayaan Idul Fitri dapat menjadi
momentum penting untuk melakukan rekonsiliasi politik antar para elit politik. Ini disebabkan karena, fakta politk kerap kali memperlihatkan bahwa, perayaan Idul Fitri sering dijadikan sebagai momen untuk meredakan ketegangan politik. Para elit politik yang sebelumnya bersaing dalam pemilu atau memiliki perbedaan ideologis sering memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan kedekatan, seperti saling berkunjung atau menyampaikan permintaan maaf secara simbolis. Hal seperti ini mencerminkan nilai utama dari Hari Raya Idul Fitri, yaitu kembali ke keadaan suci dan mempererat tali silaturahmi.
Kecuali itu, dapat pula disaksikan dalam kenyataan dimana, Perayaan Idul Fitri dapat menjadi ekspresi atau ungkapan secara simbolik untuk kepentingan politik pencitraan. Banyak politisi menggunakan momentum Idul Fitri sebagai ajang untuk membangun citra di hadapan publik. Hal ini terlihat dari safari politik, di mana tokoh-tokoh menghadiri acara halal bihalal, berbagi sembako, atau mengunjungi pesantren dan masjid. Aktivitas ini bertujuan untuk memperkuat kedekatan dengan masyarakat dan membangun legitimasi politik di muka publik.
Disamping itu, ada hal lain yang tak kalah penting dalam kaitannya dengan momentum Perayaan Idul Fitri ini, dimana sebagian pihak menjadikan momen Idul Fitri sebagai kesempatan untuk melakukan konsolidasi dan lobi politik. Hal ini dimaksudkan bahwa, Idul Fitri dapat juga menjadi ajang bagi para politisi dan pemimpin politik untuk melakukan lobi politik secara informal.
Sebagaimana kita saksikan bahwa, di berbagai acara halal bihalal yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, terjadi komunikasi yang dapat berujung pada kesepakatan politik strategis, baik dalam pemerintahan maupun di internal partai politik.
Kemudian, ada sudut pandang lain yang lebih terbuka untuk dapat melihat bahwa, perayaan Idul Fitri juga dapat menjadi momentum penguatan identitas keislaman seorang dalam dunia politik praktis. Hal ini disebabkan karena, dalam konteks politik Indonesia, di mana Islam memainkan peran besar dalam politik maka perayaan Idul Fitri sering dimanfaatkan untuk menegaskan identitas keislaman seorang pemimpin politik
Kehadiran tokoh politik dalam acara keagamaan, akan memberikan pesan yang bernuansa Islami, serta interaksi dengan ulama menjadi bagian dari strategi untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok Islam.
Sementara itu, dalam sudut pandang sosiologi politik, ketika tiba hari raya Idul Fitri, sering dilakukan distribusi bantuan dalam hubungan dengan implementasi peran dan orientasi politik kesejahteraan. Hak ini dapat terjadi sebagai ungkapan rasa kemanusiaan dimana pada saat atau momen
Idul Fitri, dijalankan distribusi bantuan seperti zakat, santunan, dan sembako, yang sering dikaitkan dengan figur politik tertentu. Dalam kaitannya dengan tautan benang budaya politik patronase di Indonesia, hal ini dapat memperkuat hubungan antara elite politik dan masyarakat bawah, sekaligus menjadi strategi untuk mempertahankan atau meningkatkan dukungan politik.
Selain itu, suasana Hati Raya Idul Fitri juga dapat dijadikan sebagai refleksi moral dalam kepemimpinan. Perayaan Idul Fitri juga sering dijadikan sebagai ajang bagi para pemimpin untuk menyampaikan pesan moral, seperti pentingnya kejujuran, integritas, dan kepedulian sosial. Hal ini dapat menjadi semacam refleksi dari realitas terhadap kinerja pemerintahan, sekaligus dapat pula menjadi model komunikasi politik kepada rakyat mengenai arah kebijakan pemerintahan ke depan.
Oleh karena itu, Perayaan Idul Fitri dalam tautan benang budaya politik Indonesia, lebih dari sekadar perayaan keagamaan; ia menjadi ruang bagi rekonsiliasi, pencitraan politik, konsolidasi kekuatan, serta sarana untuk memperkuat legitimasi kepemimpinan. Dalam konteks politik elektoral, perayaan Idul Fitri juga sering digunakan sebagai strategi untuk membangun kedekatan dengan pemilih dan memperkuat dukungan sosial.
Open House Idul Fitri antara Prabowo dan Jokowi
Dalam momentum Idul Fitri kali ini, ada fenomena menarik yang sedang menjadi perhatian publik di Tanah Air, terkait dengan Open House yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara dan mantan Presiden Joko Widodo di kediamannya di kota Solo Jawa Tengah.
Bahkan ada sebagian pihak yang sampai memperhatikan dan mengamati dalam silahturahmi Open House itu, siapa yang datang dan siapa yang tidak datang ke tempat kedua Tokoh Politik ini pada saat Idul Fitri.
Sehubungan dengan itu, dalam konteks dinamika politik hari ini dan ke depan, maka dapat dilakukan semacam analisis berbasis untaian benang budaya politik untuk memahami realitas sosial politik antara para Tokoh Bangsa yang sedang terjadi di Tanah Air. Analisis politik terkait dengan kegiatan Open House dalam momentum Idul Fitri 2025 yang dilakukan oleh Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi, menjadi sangat strategis, karena berlangsung di momen sakral umat Islam yang sarat makna kebersamaan, pengampunan, dan transisi, baik secara spiritual maupun politik.
Sebagaimana lazimnya kegiatan Open House oleh siapa pun Presiden Republik Indonesia pada setiap momentum Idul Fitri, sebenarnya merupakan hal yang wajar dan biasa saja.
Akan tetapi pada mementum Perayaan Idul Fitri kali ini, menjadi agak berbeda karena sedang ada “Dua Matahari Kembar” sebagai figur dan daya tarik yang memiliki kekuatan politik secara sentrifugal dan menjadi pusat dan sumber energi politik di Indonesia. Kedua figur ini (Prabowo dan Jokowi), saat ini sedang menjadi sorotan publik domestik di Tanah Air maupun di kalangan mancanegara, karena keduanya sedang berada pada posisi persaingan terselubung dalam meniti jalan politik menuju ke perhelatan politik Pilpres Tahun 2029.
Oleh karena itu, meski Idul Fitri 1446 Hijriah pada tahun 2025 ini, jatuh pada momentum yang sangat spesial secara politik, dimana baru saja terjadi peralihan kekuasaan nasional dari Jokowi ke Prabowo, namun Jokowi tidak seperti mantan presiden yang lainnya, karena meski Jokowi sudah tidak lagi berkuasa, tetapi fakta politik memperlihatkan bahwa, sampai saat ini Jokowi masih terus membangun dan mempertahankan kekuatan politik yang sangat signifikan, dan akan berhadapan dengan kekuatan politik Prabowo pada perhelatan Pilpres Tahun 2029 melalui Putera Mahkota Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjadi Wakil Presiden Prabowo Subianto.
Dengan demikian maka, Open House yang digelar oleh Prabowo dan Jokowi menjadi panggung politik simbolik untuk menunjukkan arah dan warna dari babak baru pemerintahan Indonesia. Perlu pula dipahami bahwa, bagi Presiden Prabowo Subianto, Open House dalam momentum Idul Fitri 1446 Hijriah ini dapat menjadi semacam Simbol
Kepemimpinan Baru. Dan hal ini bukan sekadar silaturahmi Lebaran, melainkan tampilan perdana sebagai Pemimpin Nasional yang menerima rakyat dan elite di Rumah Negara.
Meskipun demikian, dalam konteks narasi dan tafsir politik, kegiatan Open House ini juga dapat dipahami sebagai semacam strategi pencitraan yang semakin menjadikannya sebagai tokoh politik yang kuat dan berpengaruh besar di negeri ini.
Hal ini disebabkan karena, boleh jadi dan besar kemungkinan Prabowo memanfaatkan suasana Idul Fitri untuk memperkuat citra sebagai pemimpin yang hangat, terbuka, dan tidak elitis—melanjutkan branding “gemoy” yang sukses pada saat kampanye di waktu yang lalu, karena akan muncul pesan perdamaian, persatuan, dan semangat rekonsiliasi yang sangat mungkin ditafsirkan publik dalam momentum Open House ini.
Kemudian, ada hal penting lain yang dapat diamati bahwa, dalam acara Open House ini dapat menjadi ajang untuk dilakukannya
Konsolidasi Politik secara lebih masif dan komprehensif.
Sebab, dengan adanya kehadiran tokoh-tokoh lintas partai, bahkan rival politik, akan dimaknai sebagai penguatan koalisi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini dapat juga dibaca sebagai upaya merangkul semua pihak demi stabilitas politik di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sedangkan dalam sudut pandang mantan Presiden Jokowi Widodo, Open House yang dilakukan di rumah kediamannya di kota Solo, dapat dimaknai sebagai warisan politik, kepergian yang elegan, serta legitimasinya atas Presiden Prabowo Subianto.
Adapun makna simbolis dalam sudut pandang lain yang dapat dipahami adalah bahwa dengan itu, Jokowi mau memberikan pesan terselubung sebagai simbol pengunduran diri secara elegan dari singgasana kekuasaan di istana negara
Bagi Joko Widodo, Idul Fitri 2025 menjadi momentum “pamitan” Jokowi secara elegan kepada rakyat Indonesia. Meskipun demikian, pada sisi yang lain, Open House-nya di kota Solo ini, juga memberikan pesan politik yang kuat bahwa, walau sudah bukan di istana lagi, tetapi Jokowi tetap akan menjadi “Faktor Politik” di negeri ini, dan sedang menyimpan kekuatan politik yang tak kalah hebat.
Apalagi dalam momentum Open House kemarin di kota Solo, LPB salah seorang tokoh dan politisi flamboyan, yang menjadi tangan kanan Jokowi hampir selama 10 tahun terakhir menegaskan bahwa, selama berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi sedikit pun tidak melakukan pelanggaran hukum di negeri ini.
Kecuali itu, pada sisi yang lain, momentum Open House Jokowi di kota Solo ini, juga memberikan kesan transisi damai dan legowo, yang merupakan ciri khas budaya politik Jawa yang dianut oleh Joko Widodo. Kemudian, Open House Jokowi di Solo ini bisa menjadi arena untuk memperlihatkan bahwa, Ia telah mewariskan Kepemimpinan Nasional kepada Prabowo secara simbolik dan bermartabat.
Dalam perspektif yang lain, dapat pula dipahami bahwa, meskipun Prabowo dan Jokowi tidak bertemu secara langsung dalam Open House yang dilakukan oleh keduanya, tetapi kehadiran Putera Prabowo Subianto, Mas Didit Hediprasetyo dalam acara Open House Jokowi di Solo ini, telah menjadi semacam momentum powerfull yang menunjukkan kesinambungan relasi kuasa secara elegan dalam sudut pandang dinamika dan tautan benang budaya politik ke arah masa depan, karena dalam dinamika politik dikenal adagium klasik yang menyatakan bahwa, dalam dunia politik praktis, “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan”.
Sehubungan dengan hal itu, maka sudah tampak secara kasat mata di muka publik bahwa, Jokowi akan tetap berperan menjadi semacam “King Maker”, karena bila dipandang secara laten maupun overt, sesungguhnya Jokowi masih mempunyai sumber daya dan kekuatan politik yang tak boleh dipandang sebelah mata oleh lawan politik manapun di negeri ini.
Dikatakan demikian karena, meskipun Jokowi tampak sedang tidak lagi berada di singgasana kekuasaan, dan sudah tidak lagi berkuasa secara resmi, tetapi Ia masih sangat kuat berpengaruh dalam level politik manapun. Dengan demikian, maka Open House-nya ini boleh jadi dan besar kemungkinan menjadi ruang untuk menjaga loyalitas politikus, relawan, dan jaringan kekuasaan lama yang saat ini ada di dalam genggaman tangannya.
Oleh karena itu, kegiatan Open House dalam
Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah ini, baik bagi Presiden Prabowo Subianto maupun mantan Presiden Jokowi Widodo, dalam konteks tautan benang budaya politik telah memberikan resonansi kepada publik dimana, Open House dua tokoh besar ini menunjukkan bahwa, politik Indonesia tetap menjunjung tinggi nilai-nilai silaturahmi dan persaudaraan, meskipun ada perbedaan ideologi atau kepentingan.
Momen ini akan mengurangi ketegangan pasca pemilu dan menunjukkan pula bahwa, demokrasi Indonesia masih berjalan di rel yang damai dan beradab. Dan oleh karena itu, Perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah ini telah memberikan semacam injeksi moril yang baru agar para pemimpin bangsa Indonesia dapat maju bersama rakyat dan mendengarkan suara rakyat jelata di kalangan akar rumput sampai ke level kelas menengah yang saat ini berada dalam posisi seolah seperti hidup enggan, mati tak mau.
Dengan demikian, kepada kedua Tokoh Besar bangsa ini, yang sangat dikagumi oleh seluruh rakyat Indonesia, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, rakyat hanya berharap, dengarkanlah suara rakyat dan bawalah masyarakat bangsa Indonesia ke arah kemajuan dan kesejahteraan yang adil dan beradab.
Dan kedua Tokoh Besar bangsa Indonesia ini, Prabowo dan Jokowi adalah Figur Politik yang sangat kuat dan bisa melakukan apa saja demi kekuasaan politik di negeri ini, dan dalam tautan benang budaya politik, kita semua perlu mendengar suara rakyat, dan hendaklah kita selalu ingat bahwa, “kita sering kali jatuh pada tempat yang kita merasa kita paling bisa”. Merdeka ! ***