FLORES TIMUR : WARTA-NUSANTARA.COM– Bagi sebagian besar pelajar, ujian akhir sekolah adalah momen menentukan. Tapi bagi 129 siswa kelas III SMKN 1 Wulanggitang, momen ini bukan hanya soal nilai. Ini adalah perjuangan untuk tetap bisa belajar di tengah puing-puing harapan yang belum dibangun kembali.
Sudah enam bulan sejak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki meruntuhkan bangunan sekolah mereka.
Sejak itu, proses belajar-mengajar dilakukan di tenda-tenda darurat di Konga.
Ketika angin bertiup, terpal bergoyang. Ketika hujan datang, air mengalir di bawah kaki mereka. Di situlah mereka mengeja masa depan, di antara tanah becek dan papan tulis yang nyaris lapuk.
“Kami memilih SMA Negeri 1 Titehena sebagai lokasi ujian akhir karena tidak mungkin anak-anak ini bisa berkonsentrasi di tenda darurat. Mereka bukan hanya belajar, mereka juga mengungsi,” ujar Yakobus Milan Dawan, Kepala SMKN 1 Wulanggitang, kepada Wartawan, Selasa (8/4/2025).
Masalahnya tidak berhenti di situ. Hingga kini, belum ada kejelasan dari pemerintah provinsi maupun pusat: apakah sekolah mereka termasuk kawasan rawan bencana yang harus direlokasi, atau tidak.
Sementara status itu masih digantung, pembangunan kembali gedung sekolah pun tak kunjung dimulai.
“Saya sudah sampaikan ke dinas provinsi, bahkan sudah bertemu langsung dengan Gubernur. Tapi sejauh ini belum ada tindakan nyata. Hanya permintaan data, laporan, dan foto. Sementara murid-murid kami belajar di bawah terpal,” tambah Milan Dawan.
Antara Pendidikan dan Pengungsian
Dari total 329 siswa, sebagian besar kini tersebar di berbagai titik pengungsian. Sebagian lain masih bertahan di kampung karena tidak sanggup mengungsi. Guru-guru pun bernasib serupa, banyak yang rumahnya hancur, namun tetap mengajar meski dengan segala keterbatasan.
“Ada siswa dari Ile Bura yang harus keluarkan ongkos besar hanya untuk bisa ikut ujian. Kami tidak punya fasilitas penampungan. Transportasi dan akomodasi jadi beban orang tua yang, jujur saja, sekarang ini sudah tak punya apa-apa lagi,” lanjut Milan.
Tak hanya soal tempat, mereka juga dihadapkan pada masalah keuangan.
Hingga kini, tunggakan SPP kelas III mencapai hampir 80 juta rupiah. Tapi tak ada ancaman larangan ikut ujian, karena Milan tahu: pendidikan bukan untuk dihukum, apalagi dalam bencana, namun imbasnya pada pembayaran gaji para guru honorer.
Sekolah yang Dulu Didirikan dengan Keringat, Kini Hancur dalam Hitungan Menit
“Saya sudah di SMKN Wulanggitang sejak 2013. Saya bangun sekolah ini dari nol. Lalu semuanya hancur hanya dalam beberapa menit saat erupsi. Sedih, tapi saya tidak boleh berhenti. Saya harus bangun lagi,” ujar Milan dengan suara yang nyaris patah.
Namun membangun kembali sekolah bukan soal semangat pribadi. Ia butuh tangan pemerintah, niat baik birokrasi, dan kehadiran negara yang nyata.
Sayangnya, hingga kini, sekolah-sekolah di wilayah terdampak erupsi seolah dilupakan dalam daftar prioritas pemulihan bencana.
“Saya sering bilang ke pemerintah: pendidikan itu penting. Jangan abaikan. Kita sedang mencerdaskan anak bangsa, bukan sekadar menampung korban.”
Sementara siswa-siswa itu duduk di ruang ujian sekolah lain, mungkin pikiran mereka masih tertinggal di tenda-tenda pengungsian.
Di mana buku mereka basah, dan harapan mereka digantung langit tanpa atap. Kini, semua menanti: kapan negara betul-betul hadir untuk mereka? *** (Stanis Tarwan)