Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM-Terlalu cepat memberikan cap negatif terhadap beberapa orang yang melakukan kekacauan di GOR 99 untuk mewakili sebuah kabupaten yang merupakan induk darinya hadir Lembata. Tindakan mereka tentu saja sangat dibenci dan dikubutuk oleh mayoritas warga Flotim yang sangat menjunjung tinggi budaya Lamaholot.
Tetapi apakah tindakan segelintir orang itu dianggap ‘biasa saja le’ atakah membenarkan bahwa memang kultur kekerasan dan kesemrawutan itu memang bukan kali ini saja? Lihat saja. Kalau kapal Pelni memasuki Pelabuhan Lewoleba, tidak pernah terlihat nyata adanya pemaksaan atau pemalakan penumpang. Tetapi hal itu menjadi sangat nyata di Pelabuhan Larantuka dan Waiwerang.
Namun bukan hal terakhir ini yang ingin dibahas meski bsia ‘dihubung-hubungkan’. Yang mau ditanyakan, apakah budaya kekerasan yang terjadi di GOR 99 itu perlu ditanggapi secara serius?
Untuk menjawab hal ini maka kita tidak bisa tidak melihat sejarah ‘ultra’ yang kini sangat menyata dalam dunia sepak bola.
Aksi brutalisme yang dipertontonkan supporter Flotim itu mengingatkan akan hoologanisme dan hooligan yang dikaitkan dengan kekerasan dalam dunai olahraga khususnya sepak bola pada tahun 1970an di Inggris. Ha itu berawal dari kelompok fanatik inggris terhadap timnasnya. Di mana para supporter menami timnasnya, pasti diikuti aksi brutalitas.

Dalam perjalanan, fanatisme itu kemudian dibabtis menjadi ‘ultra’. Istilah memang lahir dari konteks fanatisme politik di Perancias yang disebut ultrarealis. Di sana kelompok ekstrem baik kiri atau kanan lebih berani melakukan aksi. Hal itu kemudian digunakan dalam sepak bola sebagai kumpulan orang yang sangat fanatik terhadap sebuah klub tertentu.
Real Madrid, misalnya terkenal dengan Ultra Sur. Kelompok ultra kanan ini yang didirikan tahun 1980.
Di Barcelona ada Boixos Nois yang artinya anak-anak gila. Ia merupakan kelompok ultra paling ganas yang terbentuk tahun 1981 yang terkenal karena kekerasan, bentrokan dengan pihak berwajib. Bahkan beberapa anggotanya ditangkap karena mengirimkan ancamanan kematian, pembunuhan dan penyelundupan obat-obat terlarang. Tidak aneh bila sejak tahun 2003, Presiden Barcelona kala itu, Joan Laporta, melarang kehadiran Boixes Nois di laga-laga barcelona. Namun meski telah dilarang, mereka tetap hadir di tiap-tiap lagai, dan biasanya berkumpul di belakang gawang bagian utara.
Lalu apakah dengan sejarah ultra sepak bola di atas bisa dijadikan cap untuk kelompok penonton fanatic Flotim yang melakukan perusakan saat pertandingan Perseftim-Perse 23/9? Tentu tidak mudah. Bisa saja aksi itu spontan yang tidak dikoordinasi. Apalagi hal itu dilakukan oleh kelompok kecil yang tidak bisa juga mengatasnamakan sebuah kabupaten. Sekali-kali tidak.
Tetapi bila pengrusakan yang dibuat seseorang diikuti secara serampangan oleh orang lain, maka bisa menjadi indikasi untuk menggambarkan ada provokator yang ada di baliknya.
Pada sisi lain, kalau sebuah kekerasan mudah menyulut dan disambugn oleh yang lainnya, maka menjadi juga indikasi bahwa bibit kekerasan itu sudah ada. Dengan demikian, apabila orang lain juga cepat tersulut maka aksi itu bisa saja tidak dirancang tetapi memang beberapa orang yang terlibat dalam perusakan memang telah lama menyulut dengki itu meski hal itu secara tak sadar.
Bibit itu bisa saja sedikit dipaksakan ketika kita kaitkan dengan ulah para portier di Pelabuhan Larantuka dan Waiwerang. Bila di tempat lain di NTT cukup sopan di pelabuhannya, tetapi orang akan merasa heran ketika berada di dua Pelabuhan ini. Banyak orang yang akhirnya menghalikan pelabuhannya hanya karena memiliki trauma atas tindakan kekerasan di atas kapal.
Hal seperti ini tentu saja bisa didebatkan. Tetapi hanya menjadi pintu masuk untuk berpikir lebih jauh untuk mengatakan bahwa bisa saja pemaksaan di atas kapal Pelni yang selalu dipertontonkan ada kaitan dengan aksi ‘ultra Flotim’ yang terjadi di Gelola 99 yang nota bene belum dimiliki oleh Flotim. Di tahun 2020 misalnya, seharusnya Lembata dan Flotim jadi penyelenggara, tetapi hanya Lembata yang sukses (meski tertatih-tatih) sementara Flotim baru sukses bangun fundasi tanpa tahu kapan diselesaikan.
Lalu apa yang bisa dipelajari dan menjadi pembelajaran?
Pertama, mestinya panitia sejak awal mengendus bahwa aura kekerasan itu nyata dan menjadi ancaman. Malah dalam babak pengisian, supporter tuan rumah malah lebih ‘jinak’ ketimbang keberingasan supporter Flotim.
Dengan demikian pengawasan mestinya bisa diantisipasi sehingga tidak terjadi hal seperti ini yang sudah terjadi. Lebih jauh, harusnya diindrai bahwa keberingasan itu sudah menjadi potensi. Orang Lembata misalnya karena berada dalam satu pulau, meski ada isu ‘asal’(Lamaholot-Kedang), Selatan – Utara – Tengah, tetapi tidak terjadi friksi yang sangat kuat. Di sana dengan mudah orang yang memiliki visi sama bisa bergabung tanpa mempertanyakan lebih jauh asal usulnya.

Hal itu berbeda di Flotim. Isu ‘asal’ itu di atas permukaan tidak terungkap tetapi masih sangat jelas dalam ungkapan menyindir. Orang Adonara misalnya selalu menganggap sebelah mata orang Solor atau malah dianggap bed akelas. Orang Flores Darat masih melihat orang dari pulau tidak sederajat dengan mereka. Malah orang Flores Darat sendiri masih membedakan antara yang belakang dan muka gunung.
Potensi friksi seperti ini mestinya disadari bahwa para suporter Flotim tidak semuanya jinak. Memang mayoritas atau malah hampir 99 persen sangat baik. Tetapi di antaranya terdapat kelompok kecil yang bisa merusak ‘susu sebelanga’ dari kebaikan orang Flotim seperti dilakukan para ultra itu.
Kedua, aksi kekerasan itu sebenarnya sudah bisa terbaca dari aroganisme menganggap diri lebih dari Lembata yang merupakan ‘anak’yang lahir darinya. Semboyan Lembata Tuan Rumah tetapi Flotim Tuan Tanah bisa mengungkapkan hal itu. Rasa superioritas itulah yang bisa memunculkan arogansi bahwa kekerasan itu bisa dilakukan di kabupaten yang adalah ‘anak’ atau adik yang lahir darinya.
Memang rasa itu tidak bisa dibenarkan sekali lagi karena mayoritas warga Flotim juga tentu mengutuk hal ini. Tetapi tidak bisa disangkali bahwa bibit arogansi itu menjadi nyata tetapi sayangnya tidak terprediksi. Dalam konteks ini maka PR mengikir habis para ultra ini menjadi tugas penting bagi Flotim.
Ketiga, aksi brutal ‘ultra flotim) telah mencoreng Flotim. Kelompok kecil ini telah merusak nama baik Flotim yang menjadi induk darinya lahir Lembata. Karena itu semua pihak perlu bergerak menanggapi hal ini. Tentu tidak hanya tanggungjawab Pemda Flotim memperbaiki kerusakan (hal mana wajar perlu dilakukan) tetapi perlu membangun nama baik melalu sepak bola.
Vince Lombardi pernah mengungkapkan hal ini. Sepak bola itu seperti kehidupan. Ia membutuhkan ketekunan, penyangkalan diri, kerja keras, pengorbanan, dedikasi, dan rasa hormat terhadap otoritas. Artinya kalau dalam sepak bola dilakukan kekerasan lalu mengapa kita harus bermain? Atau, bila ETMX ke-31 hanya jadi ajang agar ultra itu mendapatkan ekspresinya, lalu untuk apa kita bermain?
Kelompok Ultra Flotim hanyalah contoh jelek yang tentu kita semua (termasuk warga Flotim) kutuk.
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.