Oleh : Alwi Uri Murin, Alumni Sekolah Demokrasi Lembata :
WARTA-NUSANTARA.COM-Satu bulan sudah Lembata dipimpin seorang Penjabat Bupati. Namanya Marsianus Jawa. Ia tiba di Lewoleba tanggal 24/5/22 dijemput secara adat Lamaholot dipadu tarian Bhea-sa dari daerah asalnya Nagekeo. Tak banyak orang Lembata mengenalnya karena sebelumnya ia seorang pejabat provinsi NTT yang tinggal di Kupang. Saya pun tak mengenalnya. Namun dalam beberapa hari saja, wajahnya tak asing bagi masyarakat kota Lewoleba. Ini karena cara dia memperkenalkan dirinya agak unik. Ia datang ke Gereja, ikut misa lalu bersosialisasi diri. Berawal pada misa kenaikan Isa Almasih di paroki kami, Kristus Raja Wangatoa, Kamis 26/5/22.
Misa itu dipimpin oleh Romo Selo Soge, Pastor rekan dari Paroki Oeleta Kupang yang ikut mengantar Marsianus ke Lembata. “Kami ikut mengantar pak Marsianus, ketua DPP paroki kami ke Lembata”, begitu kata Romo Selo dalam kata pengantarnya. Setelah misa, Marsianus diberi kesempatan memperkenalkan diri dan menyapa umat. Poin penting yang ia sampaikan yaitu mohon doa restu dan dukungan, serta niatnya bekerja dengan landasan kasih. “Lembata ini semuanya harus dikerjakan dengan landasan Kasih”, kata Marsianus.
Setelah perkenalan singkat di dalam gereja, dilanjutkan ramah tamah sederhana di pendopo pastoran. Tak hanya di Wangatoa, dengan cara yang sama ia datangi juga paroki lainnya
Sebagai seorang Katolik, saya bersimpati pada cara dia beradaptasi melalui Gereja. Sepertinya ia hendak memberi pesan bahwa sebagai seorang Kristiani, ia membutuhkan “gembalanya” serta kawanan “domba” yang lain. Ia butuh sahabat seperjalanan dalam pengabdiannya sebagai Bupati Lembata. Apalagi, karena semangat yang hendak ia perjuangkan adalah Kasih, semangat yang diajarkan Kristus, Sang Mahaguru. Saya bersimpati karena ia memulai langkah kepemimpinannya dengan mengedepankan nilai kristiani – nilai yang hilang dari pemimpin Lembata selama sepuluh tahun terakhir ini. Bagi saya, ini peristiwa langka. Karena sebelumnya Lembata memiliki seorang pemimpin yang sangat disanjung, namun sangat jarang ia datang berdoa di Gereja ataupun Masjid dan membaur dengan umat.
Setelah peristiwa di Wangatoa itu, saya tak ikuti lagi apa yang dikerjakannya. Sampai suatu saat saya mendengar bahwa pak Marsianus mengurusi WC atau kakus yang jorok. Seorang Bupati Lembata mengurusi WC jorok. Ia mendatangi kantor-kantor dinas, melihat sendiri WC jorok dan memerintahkan para pegawai membersihkannya. Saya teringat filosofi orang tua dulu tentang kakus. Katanya, orang lain menilai kepribadian kita dari WC. Kalau WC di rumah kita jorok, pasti perilaku penghuninya jorok. Rupanya pak Marsianus menganut filosofi itu juga. Saya terkesan sekaligus malu dan mengeluh di hati,.
“ Ah Lembataku, engkau yang mentereng di atas mobil-mobil dinas, yang necis dengan keki, PSR dan PDH, yang rajin pergi nginap di hotel-hotel mewah di kota besar, tetapi untuk mengurusi kakusmu, masih perlu seorang Nagekeo datang mengajarimu membersihkan WC-mu yang jorok?”.
Ceritera WC jorok berlalu, saya dengar lagi bahwa para perajin tenun ikat ketiban rejeki. Jualan mereka laris dibeli ASN. Ini karena Bupati Marsianus mewajibkan ASN mengenakan pakaian daerah yang tadinya sekali seminggu, sekarang menjadi dua kali seminggu. Tadinya hanya mengenakan baju tenun, sekarang mengenakan juga sarung tenun dan selendang tenun. Dengan kebutuhan ribuan ASN Lembata, sudah tentu berdampak besar pada ekonomi perajin tenun ikat. Saya bergumam lagi, “ Ah, orang Nagekeo satu ini datang ajari orang Lembata menghargai pakaian tradisionalnya sekaligus memberdayakan perajin tenun”.
Saya jadi semakin ingin tahu apa lagi yang dikerjakan Bupati Lembata. Saya coba mencarinya di Akun Medsos Humas Pemkab Lembata. Ternyata Pemkab Lembata tak punya Akun Medsos. Saya heran, di era informasi digital ini, pemkab Lembata seolah merasa tak penting menyebarkan informasi kepada masyarakat melalui medsos. Padahal sebelumnya pak Marsianus mengaku mendengar situasi sosiaL Lembata dari medsos. “Saya lihat di media online, Lembata ini panas. Apa tidak ada hal baik tentang Lembata ini?”, katanya dalam acara di Wangatoa itu. Saya coba membuka Wesbsite resmi Pemkab Lembata. Tak ada juga kabar tentang Marsianus.
Fotonya pun tak ada. Malah halaman depan website itu masih terpampang wajah dua “Sunday” seolah masih menjabat. Saya pun coba membuka Akun Kominfo Lembata, tak ada berita kegiatan Marsianus di Lembata, kecuali tentang pelantikannya di Kupang. Semoga Pak Marsianus dapat membenahi fungsi Humas Pemkab Lembata, karena masyarakat berhak tahu apa yang dikerjakan pemerintah sebagai pelayan publik. Itu bentuk pertanggungjawaban public yang simple.
Tak saya dapati dari Humas Pemkab, informasi tentang rencana kerja Bupati Marsianus justru datang dari seksi komsos paroki Wangatoa. Beliau diundang dalam acara dialog yang digelar di pendopo pastoran 19/6/22, membahas isu stunting dan even sepakpola piala Eltari di Lewoleba bulan September nanti. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, dimana menurutnya Lembata memiliki potensi mencapai enam belas ribu anak.
Ditanya tentang apakah yakin Lembata akan mencapai zero stunting pada oktober mendatang, beliau dengan jujur mengatakan bahwa bila dengan kinerja ASN Lembata seperti sekarang ini ia tidak yakin. Ia malah menimpali, “Dari kondisi kantor-kantor yang saya kunjungi, bagaimana kita bisa mengatasi stunting kalau kantormu saja jorok. Kebersihan itu faktor utama. Wajah daerah ini orang datang lihat dari toilet”, katanya. Pernyataannya ini saya maknai bahwa ia akan membenahi etos kerja ASN Lembata penyebab kejorokan itu. Begitu pun ketika beliau menekankan agar kontraktor tidak boleh main-main dalam pekerjaan proyek pembenahan stadion, saya maknai bahwa tak akan ada lagi kontraktor yang memberi upeti kepada Bupati dan panitia lelang, seperti yang terjadi selama ini.
Ceritera diatas tentu tak cukup untuk menilai kerja Bupati Marsianus. Namun yang saya soroti adalah nilai-nilai moral yang dipegangnya. Nilai itu yang hendak saya refleksikan. Bahwa pemimpin itu teladan. Pemimpin itu manusia biasa yang dituntut menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnya. Karena itu ia selalu membutuhkan Tuhan untuk membimbing hati dan budinya. Pemimpin itu harus bersih. Ia bekerja bukan demi uang. Ia mampu mencukupkan diri dengan gajinya, tidak menerima upeti dengan berbagai modus, karena kata rasul Paulus, akar segala kejahatan adalah cinta uang. Pemimpin itu bukan majikan melainkan pelayan publik. Ia digaji untuk melayani masyarakat, bukan dilayani. Pemimpin itu bukan raja yang bertitah namun ia harus mau berdialog dengan masyarakat dan siap menerima kritik.
Meski kagum pada pak Marsianus namun saya tak ingin menyanjungnya setinggi gunung, karena belum seumur jagung ia berada di Lembata. Apalagi di pusaran kekuasaan pasti ada godaan, terutama godaan kolusi, nepotisme dan uang. Iblis selalu ada di area itu, Saya berdoa semoga kuasa Roh Kudus selalu membimbing pak Marsianus, amin.
Kini saya bersyukur, hari-hari ini Lembata tak sepanas dulu lagi. Hujan masih mengguyur di Juni ini, mendinginkan tanah Lembata helero. Awan hitam masih setia bergayut di langit kota. Sekarang Lewoleba makin teduh, adem. Ini pertanda Lewotanah ini tak lagi dipimpin seorang raja, melainkan seorang pelayan. Maka saya berusaha menjadi sahabat seperjalanannya dengan menuliskan ini, demi Lewotanah Leuawuq, Lembataku manis.
Namun disana ada suara bertanya, seberapa kuat seorang Marsianus akan memegang nilai-nilai moral itu dalam kepemimpinannya? Jawab saya, “Tena banger”. Itu bahasa kami orang Edang, artinya, kita lihat nanti. ***
Wangatoa-Selandoro, Hari St. Aloysius Gonzaga, 21 Juni 2022.
Tulisan iini telah dimuat di Media Online MEDIANTT, Jumat, 24/6/2022.