Oleh: Gerardus D Tukan
Dosen Kimia FMIPA UNWIRA Kupang
WARTA-NUSANTARA.CIOM-Feku, nama kampung itu dalam persada Timor Tengah Utara, di salah satu kawasan tapal batas Timor Leste distrik Oekusi. Secara administratif, kampung itu milik desa Noelelo, kecamatan Mutis. Dari nama kecamatan ini menjadi petunjuk bahwa Feku berada di dalam lingkup wilayah Gunung Mutis, gunung tertinggi di Pulau Timor namu bukan tergolong gunung berapi itu.
Feku, dalam bahasa setempat (bahasa Dawan), artinya suling. Nama ini tersemat pada kampung berpenghuni 37 Kepala Keluarga tersebut, bukan karena bentuk kampungnya menyerupai suling, akan tetapi karena warganya pandai membuat suling. Pun suling yang terbuat bukan dari bahan bambu. Di kawasan kampung itu serta hutan belantara di sekitarnya, tidak ada bambu. Nenek moyang dari masyarakat ini mewarisi sebuah kreasi luar biasa yakni membuat suling dari akar kayu merah. Bentuk suling yang diwarisi nenek moyang orang Feku tidak seperti alat music suling pada umumnya. Panjang suling ini sekitar 10 cm.
Bentuknya menyerupai rubber bulb, yaitu karet penyedot untuk larutan kimia. Bagian ujung atas dibuat cekungan untuk menempelkan bibir bawah jika hendak meniup suling ini. Kemudian bagian yang mengembung, lalu selanjutnya makin ke bawah adalah lengan lanjutannya yang semakin kecil hinga ke ujung. Di tengah terdapat rongga saluran udara sehingga saat ditiup, udara akan melewati rongga hingga keluar di bagian ujung. Pada bagian yang kembung, dibuat sebuah lubang kecil, dan pada tepian yang lain dibuat telinga untuk menyangkutkan tali. Tali ini dapat berfungsi sebagai kalung agar suling ini dikalungkan di leher pria pemilik suling tersebut, atau diikatkan pada peralatan lain sehingga alat suling ini selalu dibawah ke mana-mana, tidak tercecer dan tidak jatuh.
Setiap pria dewasa memiliki suling (feku) ini. Suling ini selalu dibawa ke mana-mana, yang disatukan dengan peralatan lain seperti parang, atau digantung di leher. Alat mmusik suling ini berperan sebagai bunyian untuk memanggil hewan piaraan, terutama sapi dan anjing. Setiap pria dewasa mempunyai jenis bunyi suling yang berbeda dan khas, yang dihasilkan melalui cara meniup suling tersebut. Biasanya perbedaan bunyi terbentuk ketika peniup membuat variasi membuka dan menutup lubang pada bagian yang kembung dengan menggunakan ibu jari tangan kanan, jari telunjuk tangan kiri melakukan gerak buka tutup pada bagian ujung bawah, serta pola hentakan saat meniup. Perbedaan bunyi yang khas yang dihasilkan saat meniup suling tersebut, menjadi tanda untuk dapat dikenali hewan piaraannya. Jadi, hewan piaraan yang dilepas liar, hanya mengenal bunyi suling yang ditiup oleh tuannya, dan hewan-hewan itu pun berdatangan. Demikian fungsi suling feku tersebut, yang dapat digolongkan sebagai warisan kreasi intelektual tergolong tinggi dari nenek moyang orang feku terhadap anak cucunya itu.
Lautan batu
Menjangkau kampung Feku, perjalanan dimulai dari cabang Naekake A, pada ruas jalan Oepoli ke Eban. Ruas jalan raya Oepoli ke Eban merupakan ruas jalan utama lintas kawasan perbatasan dengan Timor Leste Distrik Oekusi. Dari Oepoli ke Eban, jalan raya yang telah terbalut aspal butas, baru mencapai Aplal. Lalu dari Aplal ke Eban yang berjarak sekitar 25 km serta didominasi pendakian, jalan raya pada ruas ini belum diaspal. Terdapat sejumlah titik di ruas jalan tersebut yang merupakan titik rawan, karena pendakian yang cukup menanjak dan didominasi jalan berlubang. Namun dari ruas jalan mendaki (jika dari Aplal ke Eban), atau menurun curam (jika sebaliknya dari Eban ke Aplal), dapat terlihat wilayah Timor Leste dari jarak yang cukup dekat. Masyarakat Timor Leste yang menghuni daerah perbukitan pun tentu dapat memandang wilayah Indonesia melalui kawasan Eban ke Aplal dimaksud, sebab topografi sangat terbuka. Kembali ke perjalanan menuju kampung Feku. Dari cabang Naekake A, harus menyusur jalan tak beraspal menuju ke arah Selatan. Perjalanan melewati jalan berbatu-batu. Sejak keluar dari jalan utama Naekake A tersebut, hamparan batu-batu mulai ditemui, dan menjadi medan bebatuan hingga mencapai dusun Feku yang berjarak sekitar 9 km. Dapat dikatakan bahwa perjalanan menuju dusun Feku, ibarat berenang di lautan batu. Tekstur batu pun merupakan batuan padas serta berpermukaan licin. Di tepi kiri dan kanan jalan hingga radius ribuan meter, tampak batu-batu bertebaran dalam berbagai ukuran, hingga membentuk gunung-gunung batu yang tinggi menjulang. Pada daerah yang agak landai, masyarakat pemilik lahan berupaya membuka kebun ladang. Lahan yang telah bersih, tampak bertebaran batu-batu
yang menutupi permukaan tanah sehingga dapat dijuluki sebagai ladang-ladang berbatu. Di celah-celah batu itu, warga menanam Lombok sebagai salah satu sumber hasil tani andalan.
Listrik belum ada.
Dusun Feku mempunyai salah satu sumber ekonomi andalan yaitu sirih. Dusun yang berada pada ketinggian sekitar 800 meter dpl ini berada dalam kawasan gunung Mutis dan berhawa sejuk. Terdapat tanaman niaga bernilai ekonomi tinggi, seperti kopi, namun tidak dibudidaya secara besar-besaran. Hanya beberapa pohon milik masyarakat di pekarangan rumah. Menurut warga setempat, tanaman kopi selalu berbuah lebat. Namun ketika buah kopi telah ranum, biasanya habis direbut oleh hewan kera. Penduduk cukup sulit menaklukan kera-kera yang telah terholong sebagai hama tanaman. Oleh karena itu, kopi tidak menjadi andalan, dan terganti dengan tanaman sirih, sebab buah sirih tidak diganggu oleh hewan kera. Sirih merupakan salah satu tanaman andalan sumber uang bagi masyarakat dusun Feku (dusun 3 desa Noelelo) ini. Masyarakat yang tersebar dalam 2 RT dalam dusun 3 ini memanfaatkan semua jenis tanaman, seperti Mangga, Kepok, dan berbagai tanaman pohon lainnya untuk menjadi media bagi tanaman sirih utuk merambat. Buah dan daun sirih menjadi bahan jualan utama yang dibawa oleh warga dusun ini ke pasar tradisional di ibu kota kecamatan, pada setiap hari Kamis, untuk dipasarkan. Uang hasil penjualan, dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan, biaya anak sekolah dan berbagai keperluan hidup lainnya. Mereka tidak mengalokasikan uang hasil pendapatan ini untuk membayar energy listrik, sebab jaringan listrik belum masuk di dusun ini.
Dusun Feku ini tergolong sebagai dusun terpencil yang jauh dari perkampungan yang lain, jauh dari akses jalan umum dan tidak ada jaringan listrik. Jaringan telekomunikasi juga tidak menjangkau dusun ini. Keterpencilan dan letak dusun Feku yang berada di antara bukit-bukit batu dan hutan serta cukup sulit dijangkau, maka dusun ini dijuluki sebagai Fatu Bola-Hau Bola (lubang batu-lubang kayu). Istilah Fatu Bola-Hau Bola ini menyatakan bahwa dusun Feku terkurung dan terpencil, tersekap dalam lubang batu atau di dalam lubang kayu. Kondisi itulah yang dapat menjadi penyebab jaringan listrik belum dapat menjangkau dusun ini.
Batu sebagai salah satu solusi Batu-batu yang terdapat pada kawasan menuju dusun Feku serta gunung-gunung batu menjulang yang mengapiti dusun Feku, patut dilirik sebagai potensi sumber daya alam atau sumber ekonomi masyarakat Feku maupun desa Naekake A secara keseluruhan. Batu-baru dalam kawasan tersebut berpotensi sebagai sumber daya material bangunan yang perlu dioptimalkan dalam rangka pembangunan infrastruktur jalan maupun bangunan. Tentu dengan tetap ramah lingkungan. Optimlisasi potensi material batu sebagai sumber ekonomi, dapat menjadi solusi untuk memanfaatkan kekayaan tersebut. berbagai keperluan hidup lainnya. Mereka tidak mengalokasikan uang hasil pendapatan ini untuk membayar energy listrik, sebab jaringan listrik belum masuk di dusun ini.
Dusun Feku ini tergolong sebagai dusun terpencil yang jauh dari perkampungan yang lain, jauh dari akses jalan umum dan tidak ada jaringan listrik. Jaringan telekomunikasi juga tidak menjangkau dusun ini. Keterpencilan dan letak dusun Feku yang berada di antara bukit-bukit batu dan hutan serta cukup sulit dijangkau, maka dusun ini dijuluki sebagai Fatu Bola-Hau Bola (lubang batu-lubang kayu). Istilah Fatu Bola-Hau Bola ini menyatakan bahwa dusun Feku terkurung dan terpencil, tersekap dalam lubang batu atau di dalam lubang kayu. Kondisi itulah yang dapat menjadi penyebab jaringan listrik belum dapat menjangkau dusun ini.
Batu sebagai salah satu solusi Batu-batu yang terdapat pada kawasan menuju dusun Feku serta gunung-gunung batu menjulang yang mengapiti dusun Feku, patut dilirik sebagai potensi sumber daya alam atau sumber ekonomi masyarakat Feku maupun desa Naekake A secara keseluruhan. Batu-baru dalam kawasan tersebut berpotensi sebagai sumber daya material bangunan yang perlu dioptimalkan dalam rangka pembangunan infrastruktur jalan maupun bangunan. Tentu dengan tetap ramah lingkungan. Optimlisasi potensi material batu sebagai sumber ekonomi, dapat menjadi solusi untuk memanfaatkan kekayaan tersebut. Penyingkiran batu-batu untuk dimanfaatkan, dapat pula menjadi upaya optimalisasi lahan guna meningkatkan potensi pertanian masyarakat setempat.
Aktivitas ‘menambang’ batu-batu di kawasan tersebut dan mengolah menjadi aneka material bangunan, dapat memancing terjadinya peningkatan persebaran penduduk untuk menempati kawasan dalam jalur 9 km menuju dusun Feku. Persebaran penduduk untuk menempati kasawan-kawasan kosong tersebut, tentu dapat menjadi daya dorong untuk perbaikan ruas jalan raya menuju dusun Feku dan juga perluasan jaringan listrik. Perbaikan kedua sarana ini (jalan dan listrik), tentu akan mendukung aktivitas masyarakat, termasuk anak-anak kampung Feku dalam proses belajarnya. Perbaikan keadaan ini dapat pula menghemat waktu dan tenaga anak-anak SMP untuk lebih cepat sampai di rumah seusai dari sekolah. Sebab pelajar SMP dari kampung Feku ini harus berjalan kaki sepanjang 9 km pergi dan pulang sekolah***