Oleh : Pater Steph Tupen Within,SVD
“Janganlah kamu takut...” (Mat 10:26).
Yeremia 20:10-13.
II Roma 5:12-15
Matius 10:26-33
WARTA-NUSANTARA.COM–Rasa takut itu punya kita. Ia bisa selalu menjadi teman setia kita. Kapan dan di mana saja. Rasa takut itu menyelinap masuk dalam: pikiran, harapan, cita-cita, kehendak, dan segala rencana apapun. Rasa takut dan gelisah bisa menerobos tembus pada soal menyangkut kuasa, jabatan, pangkat, karier. Karena manusia sudah terlanjur terlekat pada ‘punya pengaruh, dikagumi, polularitas, bahkan nama besar atau ketenaran’. Rasa takut itu sekurang-kurangnya membuat kacau suasana hati. Ketika itu berkaitan dengan keberhasilan karena kita takut gagal. Dan terutama berkaitan dengan keselamatan karena itu berkaitan dengan penderitaan dan rasa sakit, serta terutama nyawa.
Rasa takut itu juga muncul saat kita memandang siapapun sebagai musuh. Karenanya kita seringkali mulai bersikap ‘jaga-jaga’ serta mempersenjatai diri. Ya, demi menghadapi musuh. Betapa sekian banyak hal yang membangkitkan rasa takut yang membunuh ‘kegembiraan sebagai anak-anak Allah.
Saudara-saudari…
Tuhan dan Guru mengantisipasi situasi cemas yang bakal dihadapi para murid. Saat Ia telah kembali. Ia sungguh tahu apa yang bakal dihadapi oleh para murid-Nya. Ia tahu bahwa derita dan wafat-Nya di salib adalah potensi ‘unggul’ untuk alam hati penuh ketakutan yang mendera para murid. Tuhan meyakinkan para murid untuk tegar hadapi kekuasaan dan kekuatan yang terbatas pada kematian ragawi. Tuhan tunjukkan pula betapa para murid itu lebih mulia dan berharga dari apapun ciptaan di dunia. Tiada yang perlu ditakuti.
Para murid ditantang untuk “mengakui” Tuhan dan Guru di depan manusia. Tentu, ini tidak terbatas pada pengakuan iman akan Tuhan dan Guru. Tetapi juga berkaitan dengan kesaksian akan apa yang diajarkan Tuhan. Memberi kesaksian tentang kebenaran, belas kasih, keadilan, pengampunan, kegembiraan dan hidup yang berpengharapan.
Saudara-saudari… Ketakutan membunuh kebesaran jiwa untuk ceriah dan lepas bebas dalam memberi kesaksian. Menjadi soal adalah jika saat kesementaraan hidup ini, kita cemas dan gentar memberikan kesaksian. Maka kita tak ada kekuatan pula untuk memberikan kesaksian tentang Tuhan dan Guru di hadapan Bapa Surgawi. Hidup di dunia adalah pengalaman manusiawi yang terbatas. Pada waktunya kita harus berpulang dan menghadap takhta keabadian. Bekal yang kita bawa adalah kepahlawanan iman dalam memberikan kesaksian tentang Tuhan dan pengakuan akan peristiwa hidup-Nya yang menyelamatkan.
Bahaya menjadi takut atau dikuasai rasa cemas bisa membuat kita ‘berdamai saja’ dengan kekuasaan (suram); bisa membuat kita lari dan menghindar untuk menghadapi persoalan yang hakiki berkaitan dengan kebaikan bersama. Mencari kenyamanan dan keamanan diri sendiri juga sering ciutkan nyali untuk hadapi risiko iman dalam Tuhan, pun dalam tanggung jawab praktis.
Tetapi seruan Tuhan “janganlah kamu takut” sesungguhnya dapat kita maknai juga sebagai satu “proklamasi kemerdekaan isi jiwa” kita sendiri bahwa kita berani menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri, mengakui kelebihan dan memahami keterbatasan sesama, hadapi situasi hidup paling getir, penuh tantangan dan dengan segala keterbatasannya dan melepaskan segala atribut hanya demi “nama besar” semata. Demi nilai-nilai Injili, demi hidup Kristiani menuntut banyak pengorbanan.
Marilah kita singkirkan rasa mudah takut dan kecenderungan untuk ‘ciut nyali’ dalam pengorbanan demi kesaksian iman dan nilai-nilai Injil. Kata Nelson Madela:
“Seorang penakut dan pengecut akan mati berulang-ulang kali (dalam hidup) sebelum ia pada akhirnya benar-benar mati” Yesus, Tuhan dan Guru meneguhkan hati kita: “Sesungguhnya Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20). ***