Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Penetapan Muhaimin Iskandar (MI) sebagai cawapres Anies Rasyid Baswedan (ARB) menjadi sebuah kejutan di awal September. Minimal geliat pemilu mulai terasa. Harapannya, dengan semakin cepat deklarasi, akan semakin banyak waktu untuk menggodok program demi memenangkan pertaruhan.
Tetapi apakah ilusi seperti ini realistis dan akan terwujud? Harapannya sih begitu. Kekuatan nahdliyin (NU) diharapakn berbondong-bondong menyalurkan suaranya MI adalah hal yang wajar. Dengan demikian penetapan itu pada jangka pendek minimal menempatkan ARB dan MI memperbaiki posisinya di survei, minimal ada kenaikan.
Tetapi apakah ekspektasi seperti ini wajar adanya?
Untuk menilai hal ini maka kita perlu membandingkan elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono (HAY) dengan MI. Hal ini penting karena yang didengung-dengungkan sebelumnya adalah duet antara ARB dan AHY. Bahkan digambarkan hubungan itu begitu ‘mesra’ hingga ARB menulis ‘surat cinta’ bakal dipinang.
Dari 4 survei yang dilaksanakan Juni – Agustus 2023, terlihat perbedaan signifikan antara AHY dan MI. Suveri Indikator Politik menempatkan 11,4 % untuk AHY dan 0,8 (MI). Litbang Kompas 5,1 (AHY) dan 0,4 (MI). Lembaga Survei Indonesia, 1,6 (AHY) dan 0,7 (MI). Lembaga Survei Jakarta memberikan 3,1 untuk AHY dan 1,5 untuk MI.
Dengan keunggulan survei di atas (yang kita anggap profesional), tentu memunculkan pertanyaan, mengapa justru arah ‘cinta’ diarahkan kepada MI dan bukan AHY? Ternyata harapan besar diarahkan kepada kaum nahdiyin yang dianggap akan mengdongkrak perolehan suara. Sebuah asumsinya yang tentu bisa dibenarkan.
Tetapi kalau ARB seorang akademisi, maka ia mestinya tahu bahwa dalam membuat survei, telah diakomodir faktor jumlah penduduk dengan memberikan responden yang proporsional. Artinya kenaikan itu bisa saja ada tetapi tidak bisa menjadi ukuran final karena masih harus dibandingkan dengan daerah lain.
Tidak hanya itu. Data ini mengingatkan bahwa dari survei ditemukan fakta menarik. Dari total 9.8% pemilih PKB hanya 1 – 2 % yang memilih MI (Kompas TV 3/9/203). Itu artinya, bahkan dari pemilih NU sendiri tidak semuanya memilih MI. Malah angkanya sangat rendah sekitar 10-20% saja.
Program Perubahan
Hal yang tentu jauh lebih penting adalah menilai tagline ‘Perubahan dan Perbaikan’ yang dibawa oleh Koalisi Perubahan selama ini. Kalau dilihat, promosi perubahan itu menjadi kuat (dan menggigit) oleh hadirnya Demokrat. Hal itu karena masyarakat diarahkan pandangannya untuk mengingat berbagai program kerakyatan yang dibawa oleh SBY. Itula yang bisa menjadi faktor penentu atau penyumbang tersebesar suara terhadap koalisi perubahan.
Lalu apa yang terjadi ketika Demokrat meninggalkan Koalisi Perubahan? Faktor inilah yang barangkali kurang terpikirkan oleh Surya Paloh dkk. Mereka terlanjur memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemilih Kekuatan nahdliyin yang disangka akan seluruhnya mendukung ARB – MI tanpa ingat bahwa justru yang terjadi akan mengalir keluarnya pemilih yang selama ini ‘kecantol’ dengan Koalisi Perubahan oleh bayangan akan program nyata yang pernah dialami selama SBY.
Dalam konteks ini maka ekspektasi boleh ada, tetapi kenyataan nampaknya akan susah berpihak. Ungkapan seperti ini tentu tidak terlalu enak didengar oleh Nasdem dan PKB, juga buat Surra Paloh dan ARB. Tetapi mesti diungkapkan bahwa sebuah pilihan mesti juga mempertimbangkan aneka survei dan pemikiran kritis yang diharapkan dapat mengikutinya. Tetapi jawaban seperti dari ARB dengan mengingatkan bahwa dulu ketika jadi cagub DKI juga survei yang dimiliki sangat rendah tetapi akhirnya keluar sebagai pemenang adalah 1 bukti yang tidak lantas dijadikan alasan untuk menarik kesimpulan yang begitu luas.
Persoalannya, bagaimana Nasdem dan PKB mengkritisi hal ini? Dengan keluarnya Demokrat dari koalisi dan sikap PKS yang masih ‘abu-abu’ menandakan bahwa akhirnya harapan itu ada di tangan Nasdem dan PKB. Yang terpikir tentunya, apakah mungkin mengambil posisi seperti Gerindra yang juga mengambil Jokowi sebagai bidikan karena memang keduanya menjadi bagian dari koalisi?
Sekilas bisa saja membantu. Pilpres nantinya tidak akan lagi memecahbelahkan anak bangsa ini. Sebaliknya semuanya yakin bahwa siapapun yang menang akan tetap meneruskan program Jokowi. Tetapi harus diakui bahwa ARB sebagai capres sudah terlanjur memosisikan diri sebagai ‘oposan’ dari Jokowi. Permainan kata-kata (M)anies untuk menggugah emosi masyarakat demi memilihnya (sambil mengurangkan apresiasi masyarakat terhadat Jokowi) sudah kian dipahami oleh masyarakat. Dengan demikian perubahan di ‘last minute’ justru akan menurunkan apresiasi masyarakat terhadap ARB maupun Nasdem (juga PKB). Hal itu akan berefek pada prediksi akan adanya penurunkan simpati masyarakat.
Di atas semuanya kita tentu diingatkan bahwa memang politik dan berpolitik bisa saja kita mengikuti kata hati (dan ekspektasi) tetapi jangan lupa membawa akal sehat. Frase “Follow your heart but take your brain with you” (Ikuti hatimu tetapi bawa juga akal(sehatmu) bisa menjadi sebuah pembelajaran berarti bagi siapa saja tidak saja pada ARB dan Nasdem dan siapapun bahwa politik tidak berarti bermain (api) dengan kata-kata. Kalau terlalu bermain kata-kata, maka ekspektasi akan berlebihdan dan terlalu manis melampaui kenyataan pahit yang justru terjadi.
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.