Oleh : Robert Bala
WARTA-MUSANTARA.COM–Saya pernah melihat sebuah gambar tentang paku yang bengkok dalam sebuah gambar yang disejajarkan dengan paku yang lurus. Saya merasa tidak adil. Mengapa yang bengkok ‘dikasihani’ oleh si pemaku dan tidak terus memukulnya seperti yang terjadi dengan paku bengkok? Bukankah yang seharusnya yang ‘bengkok’ itu harus diberikan ‘balasan’ sepadan dengan ‘kebengkokan’ perilaku hidupnya?
Inilah ketidakadilan yang saya (dan mungkin juga pembaca) terhadap ‘tindakan’ yang dilakukan oleh orang yang melepaskan beban di atas kepala paku itu. Harusnya tidak seperti itu. Demikianlah protes yang tentu saja dipahami dan diterima oleh pembaca.
Tetapi mengapa harus begitu? Mengapa yang dilakukan justru apa yang menurut saya (dan pembaca) itu bersifat tidak adil? Ya karena yang lurus masih punya peluang untuk ‘masuk jauh lebih ke dalam lagi’. Yang lurus masih bisa menerobos batas-batas agar seperti paku ia dapat menyatukan yang terpisah. Oleh penderitaannya menerima sakit, banyak yang terpisah disatukan.
Itulah salah satu fungsi dari paku: paku digunakan untuk menyatukan material bangunan seperti kayu, logam, atau plastik dalam pembangunan struktur bangunan seperti rumah, jembatan, dan bangunan lainnya.
Tidak hanya itu, Berkat paku yang menyelinap jauh ke dalam, hal yang rusak bisa direparasi. Paku digunakan untuk memperbaiki atau merekatkan kembali material yang rusak atau terpisah, baik di rumah maupun di tempat kerja. Sebaliknya tanpa paku yang sudah rusak akan menjadi lebih rusak lagi. Atau mengikuti lagi: biarkan yang hitam menjadi hitam, jangan harapkan jadi putih. Artinya kalau tidak ada paku yang sudah jatuh, rusak, ya sudah, teruskan saja tingkat keparahannya sampai ke titik yang terakhir.
Dan paling akhir, paku memiliki unsur seni. Dalam seni dan kerajinan tangan, paku dapat digunakan sebagai bagian dari karya seni atau sebagai alat untuk membuat karya seni. Itu berarti dengan menyatukan dan mereparasi maka yang tidak indah menjadi indah, atau yang sudah indah menjadi lebih indah lagi. Itulah manfaat dari paku.
Hari ini (Jumat Agung), refleksi paku ini menjadi begitu kuat saat saya menatap secara sangat mendalam dan khusuk karena di tangan dan kaki ‘Yesus dari Nazaret’ terdapat paku.
Sejak abad 12 dan 13 (melalui St. Bernard dari Clairvaux dan St. Fransiskus dari Asisi) dalam ada refleksi populer tentang 5 luka Yesus, 4 di antaranya karena dipaku (2 di tangan dan 2 di kaki dan 1 di lambungNya). Luka-luka itu ditampilkan dengan jelas (karena itu disebut ostentatio vulnerum atau ‘tampilan luka’) yang senga ditampilkan agar orang seperti Thomas yang tidak percaya menjadi percaya.
Luka terutama pada tandan dan kaki itu menjadi begitu kuat pesannya. Kalau luka pada lambung biasanya menjadi begitu terbuka setelah tombak yang menusuk itu sudah ditarik keluar. Yang terjadi luka pada tangan dan kaki tidak pernah ditampilkan terbuka tetapi dengan paku yang masih tetancap. Di sinilah refleksi tentang paku itu menjadi lebih kuat lagi karena tusukan itu terus mendalam lagi.
Pertanyaannya: apakah ditemukan paku bengkok dalam gambaran salib seperti ini?”Mengapa semua paku itu lurus yang berarti memberi peluang bagi pemaku (para algojo) untuk terus mengulang ayunan tangan untuk terus menekan dengan pukulan pada kepala paku yang sama?
Dengan paku yang lurus maka terjadi proses penyatuan antara manusia (badan) dengan kayu yang tadinya terpisah. Si pemilik tubuh, Yesus, disatukan dengan kayu (benda mati) untuk mengingatkan bahwa perjalanan manusia yang berbadan dan jiwa tidak memiliki satu kepastian untuk menyatu dengan kefanaan (kayu). Tidak ada yang punya badan dalam keabadian. Bahnya ketika lebih ekstrem lagi kalau dibakar, maka semuanya menjadi tiada.
Tetapi ketiadaan karena menyatu dengan alam fana bukan sebuah kesia-siaan. Paku justru semakin membenam karena selain menyatukan ia juga mereparasi alias memperbaiki. Itulah yang terjadi dengan fungsi paku Yesus yang ‘memperbaiki’ hubungan manusia dengan Tuhan yang terputus oleh dosa. Di sinilah fungsi paku pada Yesus yang karena begitu mendalam setelah dipaku berulang, ia bisa memperbaiki hubungan manusia yang sudah tidak ‘nyambung’ sebelumnya.
Di atas semau ini terdapat unsur seni yang hari ini coba saya (dan pembaca) refleksikan dalam acara adorasi salib. Kita semua, masing-masing diajak berjalan untuk mencium salib. Sebuah ritual yang tentu begitu menyapa karena kita terajak untuk melihat ternyata di atas pengorbanan membiarkan paku lurus itu dipaku berulang kali menghadirkan sebuah makna (karya seni) yang begitu memukau.
Memukau? Ya. Memukau karena ternyata itulah manfaat sebuah paku lurus yang ada pada kaki (2 paku) dan tangan (2 paku). Semuanya adalah paku lurus bukan paku bengkok. Semuanya masuk begitu dalam dan menukik begitu kuat (dan tentu saja sakit dan menyakitkan). Tetapi ia berubah menjadi sebuah karya seni yang memunculkan rasa kagum tetapi sekaligus menghadirkan pertanyaan mendalam: ‘‘Dan engkau, apakah juga membiarkan paku itu lurus terus dipaku sampai mendalam dam menyakitkan hidupmu?’
Saya terdiam karena pertanyaan ini sangat menukik. Saya terdiam karena yang terjadi dalam hidupku adalah mengelu dan iri hati mengapa orang yang bengkok tidak ‘dipaku’ sementara saya (yang anggap diri lebih baik) itu terus dipaku? Apakah saya terus mengeluh dengan keadaan ini atau seharusnya saya menerima karena dengan membiarkan diri dipaku, saya pun ambil bagian dalam penderitaan Dia yang terpaku?
Robert Bala. Penulis buku HOMILI YANG MEMIKAT (Masa Khusus, Hari Raya, dan Hari Pesta, Tahun A, B, C) Penerbit Ledalero, Maret 2024