Oleh : Lorensius Gabun, S. Fil, Mahasiswa Strata 2 MIPA Unindra Jakarta Timur

Catatan Redaksi : Artikel ini merupakan Karya Tulis Ilmiah dalam rangka menyel;esaikan jenjang pendidikan S2 pada Program Studi MIPA Unindra, Jakarta Timur. Karena itu, Redaksi menerbitkan secara lengkap tulisan tersebut.

ABSTRAK
WARTA-NUSANTARA.COM–Manusia sebagai makhluk holistik terdiri dari unsur biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Satu-satunya Upaya yang dapat dilakukan untuk menyingkapi hakikat eksistensi manusia adalah melalui secara holistik adalah melalui Pendidikan. Pendidikan adalah usaha dasar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan seluruh potensi dirinya yang meliputi aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Dalam ranah Pendidikan formal kehadiran seorang pendidik adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Pendidik menurut Ki Hajar Dewantara adalah idividu yang berada di depan siswa sebagai tokoh yang bisa diteladani. Hadir ditengah-tengah siswa untuk memberi semangat dan tampil dari belakang untuk meberikan dukungan bagi siswa. Konsep pendidan Ki Hajar Dewantara adalah Pendidikan yang holistik Dimana peserta didik dibentuk menjadi insan yang berkembang secara utuh meliputi; olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui proses pembelajaran dan lainnya yang berpusat pada murid dan dilaksanakan dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan
Kata kunci: Pendidik, Ki Hajar Dewantara, Manusia,
Abstract
Humans as holistic creatures consist of biological, psychological, social and spiritual elements. The only effort that can be made to reveal the nature of human existence holistically is through education. Education is a basic, planned effort to create a learning atmosphere and learning process so that students actively develop their full potential which includes cognitive aspects, affective aspects and psychomotor aspects. In the realm of formal education, the presence of an educator is absolutely necessary. ccording to Ki Hajar Dewantara, educators are individuals who are in front of students as figures who can be emulated. Be present in the midst of students to encourage them and appear from behind to provide support for students. Ki Hajar Dewantara’s educational concept is holistic education where students are formed into fully developed human beings including; exercise ratio, exercise taste, exercise soul and exercise through learning and other processes that are student-centred and carried out in a conducive and enjoyable atmosphere
Keywords: Educator, Ki Hajar Dewantara, Human,
PENDAHULUAN
Pengantar
Manusia sebagai makhluk yang kompleks dan penuh misteri, telah menjadi subjek kajian para ahli sepanjang sejarah. Dalam upaya untuk memahami hakikat keberadaan manusia, berbagai konsep dan pandangan telah dikemukakan oleh para ahli di berbagai bidang. Dalam perspektif filosofi, manusia sering dianggap sebagai makhluk rasional yang memiliki kemampuan berpikir, merasakan, dan bertindak. Menurut Filsuf Plato, manusia adalah komposisi jiwa dan raga. Manusia itu makhluk ganda. Manusia memiliki tubuh yang “berubah” yang tidak terpisahkan dengan dunia indera, dan tunduk pada takdir, sama seperti segala sesuatu yang lain di dunia ini. Plato mengkategorikan manusia atas tiga: Pertama, Philoshopos, adalah manusia yang diikat oleh logos. Fokusnya pada logos. Ia berjuang mencari pengetahuan dan kebijaksanaan, agar tetap meneguhkan derajatnya sebagai ciptaan yang rasional dan bermartabat. Kedua, Philonikon atau Philotimon yaitu manusia yang sibuk dengan mencitrakan diri, mencari nama, mencari kehormatan dan memperjuangkan status. Ketiga, Philokremation adalah manusia yang mencari kesenangan, mencari harta, dan mencari kebahagian diri. Manusia tidak akan lepas dari tiga kategori ini. Ketiga kategori ini tidak “mutlak” mendominasi diri seseorang. Ketiganya dapat “terkomposisi” dalam diri setiap orang. Manusia yang Philosophos memiliki kecenderungan seperti yang ada pada manusia Philonikon dan Philokremation, dengan batas-batas tertentu. Menurut Plato idealnya, manusia haruslah Philosophos untuk tetap rasional dan bijaksana dalam menimbang dan menilai segala pengalaman hidupnya. Tetapi tanpa menghilangkan kecenderungan wajar sebagai manusia philonikon, yang mencari status dan kehormatan dan philokremation yang mencari kesenangan, dirinya.
Dalam artikel ini, penulis akan menjelajahi corak berpikir dari pendiri Sekolah Taman Siswa tempat penulis mengabdi. Pendiri Taman Siswa adalah Bapak Pndidikan Nasional Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Melalui konsep pendidkan yang telah digagas Dewantara memberikan wawasan mendalam tentang hakikat keberadaan manusia. Penting bagi kita untuk terus menggali dan memperdalam pemahaman Dewantara tentang manusia, dari konteks Pendidikan, tidak hanya untuk pengetahuan akademis, tetapi juga untuk memahami diri sendiri dan masyarakat di sekitar kita. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pendidkan akan hakikat manusia, kita dapat hidup dengan lebih bermakna, berkontribusi secara positif, dan membangun dunia yang lebih baik. Dengan demikian, kita dapat terus tumbuh dan memperkaya pemahaman kita tentang diri sendiri, manusia, dan alam semesta.
PEMBAHASAN
PROFIL KI HAJAR DEWANTARA SANG PAHLAWAN PENDIDIKAN INDONESIA
Biografi Singkat
Ki Hajar Dewantara atau yang memiliki nama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia adalah putra dari pasangan pangeran Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandiah. Ia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Saat kecil beliau menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah Belanda III yang merupakan sekolah rendah untuk anak-anak Eropa. Setelah menyelesaikan Pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), Ki Hajar Dewantara mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA) atau yang sering disebut Sekolah Dokter Jawa. Namun, karena kondisi kesehatannya tidak baik, Ki Hajar Dewantara tidak dapat melanjutkan dan tidak tamat dari sekolah tersebut.
Api semangat yang berkobar di dalam jiwa Dewantara terus meronta dan mendorongnya untuk tetap bergerak maju. Bagi Dewantara kegagalan bukan menjadi penghambat untuk berhenti berjuang. Ki Hajar Dewantara tidak patah semangat dan sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman, Ia memiliki kepribadian yang sangat sederhana dan rendah hati. Dewantara sosok yang dekat dengan rakyat (kawula) pada masa itu. Kedekatan inilah yang membuat jiwanya terikat dengan pendidikan dan budaya lokal. Perjuangan Ki Hajar Dewantara belum selesai untuk mendidik penerus bangsa, namun ia sudah wafat terlebih dahulu pada 26 April 1959 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta.
Karya-karya Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah seorang Pendidik, Budayawan serta Jurnalis. Ia memiliki beberapa karya di masa hidupnya. Karya-karya tersebut telah banyak dipublikasikan dan telah memberikan sumbangsih terhadap perkembangan Pendidikan di Indonesia. Karya-karya tersebut antara lain: Buku Bagian Pertama: Tentang Pendidikan. Buku ini membahas gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam bidang Pendidikan di antaranya mengenai Pendidikan nasional. Pendidikan kanak-kanak, Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan etuka keteladanan, Pendidikan dan kesusilaan. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan bangsa untuk mendapat kesejahteraan tidak hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Bukunya Bagian Kedua: tentang Kebudayaan. Dalam buku ini, Ki Hajar Dewantara menulis tentang kebudayaan dan kesenian antara lain: Pembangunan Kebudayaan Nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Asosiasi antara Barat dan Timur.
Bukunya Bagian Ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan. Buku ini berisi tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922 yang membuat ramai dunia imperialis Belanda dan tulisan-tulisan mengenai wanita dan perjuangannya. Bukunya Bagian Keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis. Pada buku bagian keempat ini, Ki Hajar Dewantara banyak melukiskan kisah kehidupan dan perjuangan hidup perintis.
Profesi yang Pernah di digeluti oleh Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh politisi (pendiri partai politik nasionalisme pertama), Budayawan, Jurnalis serta. Pendidik.
Mendirikan Inische Partij
Bersama dengan Danudirdja Setyabudhi atau yang dikenal dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada 25 Desember 1912 dengan tujuan untuk kemerdekaan Indonesia, kemudian ditolak oleh Belanda karena dianggap dapat menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat. Setelah pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak, Ki Hajar Dewantara ikut membentuk Komite Boemipoetra pada November 1913. Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa. Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada pemerintah kolonial Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Berhubungan dengan rencana perayaan tersebut, Ki Hajar Dewantara mengkritik melalui tulisannya yang berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een yang artinya (Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga) dan Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Akibat dari tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda”, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukum interning (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk ia bertempat tinggal. Ki Hajar Dewantara akhirnya dihukum buang di Pulang Bangka.
Ki Hajar Dewantara seorang Jurnalis Kondang
Ki Hajar Dewantara adalah pribadi yang berbakat dan multitalenta. Ia memulai karier sebagai penulis dan wartawan. Kepiawaiannya dalam merangkai diksi membuat dia menguasai berbagai platform media masa pada dan majalah. Ia menulis di beberapa surat kabar, seperti Sedioetoemo, De Expres, Kaoem Moeda, Poesara, Midden Java, Oetoesan Hindia, dan Tjahaja Timmore. Dia dikenal andal dan komunikatif karena aktif mengutarakan gagasan mengenai antikolonial. Dewantara juga dikenal aktif dalam berorganisasi di bidang sosial dan politik. Salah satunya adalah Boedi Oetomo (BO), perkumpulan pemuda yang mendiskusikan tentang kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Pada 1922, Ki Hajar Dewantara bersama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo mendirikan sebuah organisasi yang berfokus pada pendidikan untuk rakyat pribumi di Indonesia saat itu. Kegigihannya dalam membangun Pendidikan bagi pribumi inilah yang menjadikannya sebagai bapak pendidikan Indonesia. Wujud nyata kecintaan Dewantara dalam dunia pendidkan adalah mendirkan Lembaga Pendidikan Taman Siswa.
Mendirikan Perguruan Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada 3 juli 1922 di Yogyakarta. Pendirian Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap diskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) karya Robert Van Niel, pada masa Politik Etis (1901-1916), Belanda menerapkan sistem pendidikan bertingkat sesuai dengan status sosial masyarakat Indonesia. Pendirian Taman Siswa bertujuan untuk memberikan pendidikan yang setara bagi masyarakat pribumi di Indonesia karena saat itu pendidikan merupakan sesuatu yang sangat mahal dan hanya ditujukan untuk keturunan Belanda dan bangsawan. Taman Siswa memberikan akses pendidikan kepada masyarakat yang sebelumnya tidak mendapatkan pendidikan. Taman siswa menjadi sumbu penerang untuk mengahalau kegelapan Bangsa.
PARADIGMA PENDIDIKAN SECARA UMUM
Pengertian Pendidikan
- Secara Yuridis
Adapun makna pendidikan menurut yuridis atau perundang-undangan yang berlaku, dapat disimak dari dua undang-undang pendidikan yang berlaku terakhir di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan adalah upaya sadar yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan pengajaran, bimbingan dan /atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat dan bangsa.
- Secara literer
Secara etimologis, kata pendidikan berasal dari kata dasar didik, yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran pe-an. Berubah menjadi kata kerja mendidik, yang berarti membantu anak untuk menguasai aneka pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakatnya. Istilah ini pertama kali muncul dengan bahasa Yunani yaitu paedagigiek, yang berarti ilmu menuntun anak, dan paedagogia adalah pergaulan denga anak-anak, sedangkan orangnya yang menuntun atau mendidik anak adalah paedagog. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan didunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai erziehung, yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam ayau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Inggris dikenal kata education (kata benda) dan aducate (kata kerja) yang berarti mendidik.
Dalam kamus bahasa Inggris Oxford Learner’s Pocket Dictionary, kata pendidikan diartikan sebagai pelatihan dan pembelajaran (education is training and instruction). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan. Sedangkan dalam terminologi Jawa dikenal dengan istilah panggulawentah yang berarti pengolahan, penjagaan dan pengasuhan baik fisik maupun kejiwaan anak.
Secara terminology para ahli mengemukakan berbagai pendapat terkait dengan pendidikan, antara lain: John Dewey (1859-1952) mengartikan pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara intelektual maupun emosional ke arah alam dan sesama manusia.J. Gielen and S. Strasser, menyebut pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
- Menurut para ahli
Secara terminology para ahli mengemukakan berbagai pendapat terkait dengan pendidikan, antara lain: John Dewey (1859-1952) mengartikan pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara intelektual maupun emosional ke arah alam dan sesama manusia.J. Gielen and S. Strasser, menyebut pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Secara terminology, para ahli mengemukakan berbagai pendapat terkait dengan pendidikan, antara lain: John Dewey (1859-1952) mengartikan pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara intelektual maupun emosional ke arah alam dan sesama manusia.J. Gielen and S. Strasser, menyebut pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
John S. Brubacher (1898-1988), mengartikan pendidikan sebagai proses dimana potensi-potensi, kemampuan, kapasitas yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik dengan alat disusun sedemikian rupa dan digunakan manusia untuk menolong orang lain atau diri sendiri dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pendidkan Menurut Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai usaha menuntun segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak baik sebagai individu manusia maupun sebagai anggota masyarakat agar dapat mencapai kesempurnaan hidup. Aksentuasi pemikiran Dewantara terletak pada kapasitas kodrati mausia dalam memanusiakan manusia. Sebagai seorang pendidik di Taman Siswa saya pun di tutut untuk mengutamakan apa yang menjadi spirit dari Ki Hajar Dewantara sang pendiri Taman Siswa dan Bapa Pendidikan Nasional Indonesia. Ki Hajar Dwantara adalah protipe bagi seorang pendidik yang mengajar di Taman Siswa. Ada tiga semboyan pamungkas yang menjadi landasan bagi pendidik di Taman Siswa yang diajarkan langsung oleh Ki Hajar Dewantara antara lain: pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang berarti ‘di depan memberi contoh. Pendidik yang berada di depan hendaknya menjadi contoh. Sung dalam bahasa Jawa berarti memberi, berasal dari kata asung. Sung berarti menjadi. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang pertama ini menggambarkan situasi di mana seorang pendidik bukan hanya sebagai orang yang berjalan di depan tetapi juga harus menjadi teladan bagi semua orang yang mengikutinya. Selain mendidik dan transfer ilmu, pendidik juga harus memberikan contoh kepada peserta didik setidaknya mengenai hal yang diajarkannya.
Kata Ing Ngarsa tidak dapat berdiri sendiri jika tidak mendapatkan kalimat penjelas di belakangnya. Artinya seorang yang berada di depan jika belum menjadi teladan maka belum pantas menyandang gelar pendidik. Pandangan jika ditelisik lebih mendalam, menekankan pada ranah afektif yang berkaitan dengan sikap, perilaku, emosi, dan nilai. Ranah ini mengenai perilaku-perilaku pendidik yang akan menjadi teladan bagi peserta didik karena sejatinya setiap apapun yang dilakukan pendidik akan menarik perhatian dan contoh bagi peserta didik. Pendidik tidak bisa memerintahkan peserta didik untuk melakukan hal-hal yang pendidik sendiri belum memberikan contoh kepada peserta didik. Di dalam Undang-undang disebutkan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, salah satu di antaranya adalah kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal guru yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, arif, dewasa, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta didiknya.
Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, “di tengah membangun semangat. Ing Madya artinya di tengah-tengah. Mangun memiliki arti membangkitkan atau menggugah dan Karsa artinya bentuk kemauan atau niat. Makna dari Ing Madya Mangun Karsa ialah seseorang di tengah harus juga mampu melibatkan diri membangkitkan atau menggugah semangat. Ing Madya Mangun Karsa berarti seorang pendidik jika berada di tengah-tengah peserta didiknya harus mampu terlibat dalam setiap pembelajaran yang dilakukan siswa agar semua bisa mempersatukan semua gerak dan perilaku secara serentak untuk mencapai tujuan bersama. Ajaran Ing Madya Mangun Karsa ini erat kaitannya dengan kebersamaan, kekompakan, dan kerjasama. Seorang pendidik tidak hanya melihat kepada orang yang didiknya, tetapi juga harus berada di tengah-tengah orang yang dididiknya. Pendidik harus memberi wawasan pengetahuan kepada peserta didik. Sebisa mungkin pendidik menanamkan pendidikan kepribadian kepada siswa meskipun tidak secara langsung. Pendidik yang dapat bekerjasama dengan peserta didiknya yang berada di tengah-tengah kelompoknya dan secara kooperatif berusaha Bersama sambal membantu peserta didik. Di dalam Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru di antaranya kompetensi pedagogic artinya bahwa seorang guru harus mampu mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya. Seorang guru harus memfasilitasi siswanya untuk membentuk kepribadian baik secara akademik maupun non akademik.
Ketiga, Tut Wuri Handayani, yang berarti ‘di belakang memberikan dorongan. Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berarti memberikan dorongan moral atau dorongan semangat sehingga memiliki arti seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Pendidik harus mampu memberi kemerdekaan kepada peserta didik dengan perhatian sepenuhnya untuk memberikan petunjuk dan pengarahan. Kemerdekaan pendidikan diberikan pendidik melalui tanggung jawab kepada peserta didik untuk memperlihatkan kemampuannya dan sebagai pendidik ia berdiri di belakang tentang bagaimana para pendidik bisa menumbuhkan dan merangsang serta mengarahkan setiap potensi yang dimiliki peserta didik, merupakan hal yang harus dipikirkan.
Dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen terdapat empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru di antaranya kompetensi sosial, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik maupun siswa. Dalam proses belajar mengajar pendidik tidak membedakan agama, jenis kelamin, suku, latar belakang keluarga, serta status sosial keluarga dalam memberi perlakuan. Pendidik dapat pula berkomunikasi dengan lisan maupun tulisan dalam berperilaku sosial, sebab guru perlu cakap dalam bersosialisasi untuk dapat lebih dekat dengan siswanya. Paradigma Dewantara ini berkelidan dengan hakikat Pendidikan. Pada hakikatnya Pendidikan adalah transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of religius yang semuanya diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang dapat menausiakan manusia.Jadi dari uraian ini secara hendak memberikan gambaran yang jelas bahwa butir-butir pemikiran dan teladan hidup Ki Hajar Dewantar dapat menjadi pedoman bagi para pendidik di Taman Siswa.
PENUTUP
Dalam perjalanan menjelajahi paradidma pendidkan Ki Hajar Dewantara seperti pada pembahasan di atas memberi pedoman yang gamblang bagi seorang Pendidik. Pertama, Menjadi seorang pendidik di Taman Siswa harus mampu menerapkan apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu; menjadi pribadi yang bisa memberi teladan yang baik kepada peserta didik. Sebagai seorang pendidik harus mampu menjadi prototipe bagi pendidik. Pendidik menjadi orang yang terdepan dalam menankan nilai nilai positif yang dapat dicontohi oleh siswa khusunya atau Masyarakat umumnya. Kedua, Pendidik harus dapat melibatkan diri kedalam ruang kehidupan siswa untuk menjadi penyemangat. Guru bukan sekedar menjadi penonton yang hanya memberi support tanpa melibatkan seluruh aspek seperti aspek kognitif, aspek emosional dan aspek psikomotorik. Guru hadir ditengah siswa sebagai pribadi yang bisa memberi semangat agar peserta didik dapat mengikuti Pelajaran dengan hati yang riang. Ketiga, Pendidik juga harus berada dibelakang untuk mendorong para peserta didik agar terus maju untuk mencapai cita-cita mereka. Menjadi seorang pendidik adalah bukan hanya sekedar tugas melainkan suatu panggilan yang mulia. Pendidik bukan hanya orang tertentu saja akan tetapi setiap orang bisa jadi pendidik. Ki Hajar Dewantara menyampaikan bahwa “ setiap orang bisa menjadi guru/pendidik dan setiap rumah bisa menjadi sekolah”. Kita semua dipanggil untuk menjadi pendidik Dimana pun berada untuk mewujudkan hakikat pendidkan itu sendiri yakni Upaya memanusiakan manusia.
REFERENSI
Carter V. Good, (1997), Dasar-Konsep Pendidikan Moral: Alfabeta
Endand linda (2008): Ilmu Pengetahuan Sosial 5, Jakarta pusat perbukuan Nasional
Danim, S. (2010). Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfabeta.
Djumali, dkk. (2014). Landasan Pendidikan. Yogyakarta: Gava Media.
Elfachmi, A. K. (2016). Pengantar Pendidikan. Bandung: Erlangga.
Ilahi, M, Takdir. (2012). Pembelajaran Discovery Strategy & Mental Vocational Skill. Yogyakarta: Diva Press.
Kurniawan, Syamsul. (2017). Pendidikan Karakter Konsepsi dan Implementasi secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Triwiyanto, Teguh. (2014). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Tirtarahardja, Umar & Sulo, La. (2012). Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.