Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Why.11:19a-12:1,3-6; Ef.1:16-2:10; Luk. 1:39-56
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, baru saja kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79. Kita merayakan ulang tahun itu dengan gegap-gempita dan sorak-sorai sebagai eksprsi sukacita kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lagu-lagu perjuangan kebangsaan diperdengarkan di mana-mana sebagai ungkapan dan ekspresi kegembiraan kita.
Saudara-saudaraku, ekspresi sukacita itu juga ditunjukan oleh Bunda Maria, perempuan hebat dalam injil pada hari ini. Ekspresi kegembiraan itu kemudian kita kenal sebagai Madah Pujian Maria atau Magnificat Maria yang dilantunkan saat berjumpa dengan sepupunya, Elisabeth. Kedua wanita itu berbagi rasa iman, harapan, dan kebahagiaan. Elisabet perempuan tua, yang bersuami namun mandul, Maria perempuan muda yang bertunangan namun mengandung. Terungkap dalam kisah itu betapa agung kuasa Allah untuk mengadakan dan memelihara kehidupan!
Ekspresi sukacita dua perempuan tangguh ini berkenaan dengan secara istimewa yang kita rayakan pada hari ini, Maria Diangkat Ke Surga. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga, berdasarkan Tradisi Suci yang sudah diimani oleh Gereja sejak lama, namun baru ditetapkan menjadi Dogma melalui pengajaran Bapa Paus Pius XII pada 1 November 1950, yang berjudul Munificentimtissimus Deus. Pada saat Paus Pius XII mengumumkan Dogma ini, ia menggunakan wewenangnya sebagai Magisterium, dan ia bertindak atas nama Kristus untuk mengajar umatnya. Dikatakan bahwa “…dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi” (MD 44). Doktrin ini berhubungan dengan Dogma Immaculate Conception/Maria dikandung tanpa noda, yang diajarkan oleh Bapa Paus Pius IX, 8 Desember 1854.
Dalam perayaan ini kita akan merenungkan makna Maria diangkat ke surga yang sangat relevan, penuh arti bagi hidup kita. Perlu kita ketahui bahwa Bunda Maria ‘diangkat’ke surga, dan bukan ‘naik’ ke surga. ‘Diangkat’ berarti bukan karena kekuatannya sendiri melainkan diangkat oleh kuasa Allah, sedangkan Yesus ‘naik’ ke surga oleh kekuatan-Nya sendiri sebagai Tuhan. Diangkatnya Bunda Maria ke surga merupakan sumber harapan dan kegembiraan. Kita umat Katolik percaya, Maria diangkat ke surga, karena Maria dikandung tanpa noda. Maria dibebaskan oleh Allah dari dosa, maka ia tidak mengalami konsekuensi dosa dan kematian yang akan kita alami. Kita percaya, berkat ketaatan dan kesetiaannya Bunda Maria pada akhir hidupnya di dunia ini diangkat dengan tubuh dan jiwa-nya kepada kemuliaan di surga. Dengan diangkatnya Maria naik ke surga maka terpenuhilah Wahyu Yohanes dalam bacaan I:” Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya, dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.”
Saudara-saudaraku, menarik adalah sukacita dan kebahagiaan yang diterima dan dialami Maria, tidak membuat dirinya bangga apalagi menyombongkan diri sebagai Wanita terbaik yang dipilih oleh Tuhan. Maria dengan penuh kerendahan hati selain bersyukur dan menyadari panggilannya, tetapi juga tergerak untuk membagikan sukacita dan kebahagiaan itu kepada orang lain, Elisabet-Saudarinya. Kunjungan itu melahirkan pujian mendalam dari Elisabet dan pertanyaan penuh makna, “Diberkatilah engkau di antara semua Wanita, dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai ke telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Sungguh, berbahagialah dia yang telah percaya, sebab Firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana” (Luk.1:42-45).
Maria menyadari bahwa ia dipanggil untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah. Maria menanggapi kebesaran dan perbuatan besar dari Allah dengan penuh sukacita sehingga ia melantumkan kidung sebagaimana kita dengarkan dalam bacaan Injil tadi. Dalam Magnificat itu, Maria meluapkan sukacita batinnya karena mengandung Putera Allah dalam rahimnya. Putera Allah itulah yang menggelorakan semangat iman yang besar padanya. Putera Allah itu pula yang menggerakkan Maria untuk membagikan kedamaian dan kegembiraan iman itu kepada Elisabeth, saudarinya.
Maria bersyukur karena Allah memperhatikan dirinya yang hina dina. Ungkapan syukur itu disampaikan dengan penuh kerendahan hati: “jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk.1:46). Maria tidak memegahkan diri karena Allah memilih dia, sebab alasan keterpilihan dirinya itu ada pada Allah, dan bukan karena kehebatan dirinya. Panggilan yang diterimanya bukanlah sebuah prestasi yang mesti ia bangga-banggakan, tetapi suatu pemberian, satu karunia, dan satu rahmat dari Allah bagi dirinya. Karena itu Maria sadar diri, bahwa dia cumalah hamba. bahkan hamba dari segala hamba. Karena itu, dalam semangat kehambaannya ia mengungkapkan fiatnya yang disampaikannya kepada Tuhan melalui malaikat Gabriel; “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk.1:38). Dia pasrah pada kehendak Allah. Dia membuka dirinya seutuhnya untuk Tuhan dan karyaNya. Seluruh hidupnya merupakan ziarah panjang mematuhi kehendak Tuhan dan itu berlangsung dalam suka dan duka, dalam manis dan pahit, dalam senang dan susah.
Saudara-saudaraku, saya mengakhiri kotbah tentang Maria diangkat ke surga ini dengan mengutip ucapan Paus Benedictus XVI ini: “Dengan memandang Maria dalam kemuliaannya di surga, kita memahami, bahwa dunia ini bukanlah tanah air kita yang definitif. Dan bila kita hidup sambil.***