Oleh: Stanis Ola
WARTA-NUSANTARA.COM–Ile Boleng, sebuah negeri di bawah naungan gunung Ile Boleng, kini bernafas dengan udara kering kemarau yang tiada henti. Kehidupan di sini seperti tanah retak yang merindu tetes air. Saat musim hujan berlalu, bak-bak penampung air hanya menyisakan jejak suram, debu dan harapan yang mulai memudar. Air, sumber kehidupan, menjadi barang mewah yang harus diperjuangkan dengan kaki-kaki yang tak lelah melangkah menuju pantai, berharap sumur-sumur di sana masih menyimpan sisa-sisa kesejukan.
Anak-anak yang seharusnya menggenggam pena dan buku, kini tak hanya mengemban ilmu. Sepulang sekolah, mereka pulang dengan tubuh lelah, memikul air lima liter di pundak, demi memenuhi kebutuhan rumah yang kering. Mereka adalah tunas-tunas muda, yang sudah diajarkan untuk bertahan sejak dini, untuk memahami bahwa hidup di tanah tandus adalah perjuangan.
Para petani, pejuang kehidupan yang tak kenal menyerah, menjerit di bawah terik matahari yang membakar. Lahan mereka gersang, tanahnya keras, namun tangan mereka tak berhenti menggali. Mereka mencari kehidupan di balik retakan tanah yang seolah menolak tumbuhnya harapan.
Namun, di tengah kesulitan ini, ada kekuatan yang terpatri di hati masyarakat Ile Boleng. Mereka mungkin kehabisan air, tapi tidak kehabisan semangat. Seperti embun yang jatuh di pagi hari, mereka percaya, kemarau ini akan berakhir. Karena di setiap kekeringan, selalu ada harapan yang mengalir, walau setetes demi setetes.
Kemarau mungkin telah membuat tanah Ile Boleng menjadi tandus, namun hati mereka tetap subur dengan rasa saling membantu. Inilah potret kehidupan di tengah kemarau panjang. Sebuah kehidupan yang berjalan di antara retakan tanah, namun tetap menggenggam erat asa di bawah langit yang sepi dari awan.
Merindu Hujan di Tanah Tandus Ile Boleng
Di bawah langit Ile Boleng yang membiru tanpa awan, kita, penghuni tanah tandus, merindu hujan yang tak kunjung datang. Mei hingga Oktober, waktu panjang yang dituliskan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), seolah mengunci harapan kita dalam kemarau yang tak berkesudahan. Angka-angka itu berbicara lebih keras dari sekadar hitungan hari—144 hari di Kota Kupang, 97 hari di Lembata, dan puluhan hari lainnya di pelosok Nusa Tenggara Timur—semua menjerit dalam sunyi. Tanah ini, tubuh kami, hati kami, semakin merapuh.
Tak ada tetesan air dari langit yang dinantikan. Setiap helai daun menggulung kering, retakan tanah menjadi jejak yang menganga, dan sumur-sumur mulai membisu. Sementara mata kita memandang cakrawala yang kosong, ada rasa pasrah yang menjalar di hati—kemana lagi kita hendak meminta? Kami menggenggam doa dalam bisikan lirih, berharap langit yang mendung tak sekadar bayang-bayang.
Masyarakat pasrah, pasrah dalam doa yang tak tahu kapan akan terjawab. Di bawah langit yang serupa samudera kering, tangan-tangan yang pernah tangguh kini terkulai lelah. Kami, yang hidup di tanah ini, terkurung dalam kebisuan alam yang semakin dingin dan kejam. Setiap pagi, kami bangun dengan rasa rindu yang makin pekat, rindu pada hujan yang tak lagi mengenal jalan pulang.
Petani menatap ladang yang mati sebelum sempat hidup, anak-anak menggenggam ember kosong dengan tatapan tak berdaya, dan di setiap napas yang dihembuskan oleh kami, ada doa yang terikat pada angin. Doa itu terbang menuju langit, namun apakah hujan mendengarnya?
Tak ada yang tahu kapan rindu ini akan terjawab. BMKG mengabarkan bahwa kekeringan tahun ini akan lebih panjang, lebih menggigit, hingga musim penghujan tak lagi pasti datang. Harapan kami terombang-ambing antara statistik dan kenyataan. Apa yang bisa kami lakukan selain berserah? Pasrah kepada alam, pasrah kepada Tuhan, mengadukan kegelisahan di tanah yang telah mengajarkan kami arti perjuangan tanpa jaminan kemenangan.
Ile Boleng, tanah yang dahulu subur dengan harapan, kini menjadi lambang penantian yang tak berujung. Namun, di balik kesunyian ini, kami masih merindu. Di tanah yang tandus ini, kami masih percaya bahwa hujan, walau terlambat, akan datang mengetuk tanah kami. Dan saat hujan itu tiba, biarkan ia menghapus segala luka dan kerinduan yang telah tertanam dalam-dalam.
- Ditulis dari Tanah Serani- Larantuka.
Catatan Buram 30 Oktober 2024.