Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero

Luk.5:1-11

WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, mari kita berimajinasi tentang kisah Yesus sebagaimana diceritakan Lukas. “Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah.Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab: “Guru,telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa,tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”

Pertanyaan bagi kita adalah, mengapa Yesus harus naik ke perahu Simon Petrus? Karena Dia tahu sang nelayan ini sedang mengalami kegalauan hati. Bahkan lebih jauh, Petrus terlihat stres karena dia merasa gagal. Ia gagal menangkap ikan sepanjang malam. Dan ini tentu berdampak pada asap dapur. Tiada lauk ikan yang dimakan hari ini. Tiada pula bahan makanan yang dapat dibarter untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Dia sadar ini kebutuhan dasar yang mesti terpenuhi. Kalau tidak terpenuhi akan membawa dampak lanjutan. Makanya dia terlihat putus asa. Dia patah arang. Dia merasa tak berdaya. Karena itu dalam keputusasaan karena gagal menangkap ikan semalam, ia membantah perintah Yesus. “Guru,telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa.”
Namun ia pun menyesal dengan kata-katanya itu. Karena itu pada akhirnya ia berkata:” Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”
Dia sadar, siapakah yang menyuruhnya. Dan karena itu dia percaya bahwa perintah Yesus, “ Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan,” bukan sekedar hanya pindah tempat dari yang dangkal ke tempat yang lebih dalam. Petrus itu nelayan tulen, kesehariannya adalah menangkap ikan. Karena itu dia pasti tahu dengan sangat baik, di mana tempat ikan-ikan itu. Makanya, mengapa dia seolah protes kepada Yesus oleh karena kegagalannua menangkap ikan semalam. Maka bagi dia, perintah itu mengandung optimisme. Di balik perintah itu tersembul pengharapan. Pengharapan yang tentunya tidak mengecewakannya. Perintah itu adalah berkat. Maka sekali lagi, dengan penuh keyakinan akan perintah Yesus itu dia berkata:” tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Maka Lukas kemudian secara tegas bersaksi tentang berkat berlimpah yang didapatkan Petrus:” Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.”
Ketaatan Petrus menghasilkan berkat, bukan tanpa alasan. Dia sadar, sepanjang malam ketika dia menangkap ikan, dia mengandalkan kehebatannya sendiri. Dia percaya pada kemampuannya sebagai nelayan tulen, lalu lupa melibatkan peran Tuhan sehingga hasinya nihil.
Maka bertolaklah lebih dalam, – duc in altum – dapat dimaknai sebagai melibatkan Tuhan dalam ziarah hidup. Dia sadar bahwa dia hanya mengandalkan kemampuan dan kehebatan dirinya sendiri. Maka begitu berkat didapatnya, dia pun berkata kepada Yesus:” Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.”
Jelaslah di sini, letak pembaruan diri Petrus. Ia mengalami metanoia ketika berjumpa dengan Tuhan. Yesus yang semula disapanya sebagai Guru, berubah sapaannya menjadi Tuhan. Berkat yang didaptkannya begitu berlimpah membuatnya mengakui kesalahannya bahwa dia manusia berdosa. Dia lebih mengandalkan kehebatannya sendiri dan lalai menghadirkan peran Tuhan dalam perjuangannya. Karena itu, dia seolah tidak sanggup menatap Yesus:”Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.”
Pertanyaanya adalah apakah Yesus pergi dari hadapan Petrus? Tidak!! Yesus tidak bergeming sedikitpun. Dalam kerapuhan manusiawi Petrus, Yesus justru meneguhkannya. Dia menguatkannya dengan kata-kata:” Jangan takut,mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, merekapun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.”
Jadi saudara duc in altum, – bertolaklah lebih dalam – adalah juga panggilan kepada sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar, yakni menjadi penjala manusia.
Yang dimaksudkan dengan penjala manusia ialah bahwa melalui hidup kita : apapun profesi dan pekerjaan kita, apapun karunia, dan talenta, serta berkat-berkat yang Tuhan anugerahkan, kita pakai menjadi kesaksian sehingga orang lain akan datang dan menjadi percaya kepada Tuhan Yesus.
Saudara-saudaraku, sebagai Tuhan, Yesus tahu bahwa Petrus dapat diandalkan menjadi penjala manusia. Bahkan kelak menjadi Kepala Gereja. Karena itu Yesus naik di perahu Petrus dan menyuruhnya untuk bertolak lebih jauh, adalah proses pertama yang dilaksanakan oleh Yesus untuk “mempersiapkan” Petrus menjadi penjala manusia dan kelak sebagai Kepala Gereja. Untuk menggembalakan domba-domba, proses kedua pun dilakukan oleh Yesus untuk mengetahui bahwa apakah Petrus sudah siap menjadi Gembala militant sebagaimana dia sudah menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan yang militant pula. Proses kedua untuk mempersiapkan Yesus sebagai Gembala diceritakan dalam injil Yoh. 21:14-22:” Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Saudara-saudara yang terkasih, kita kadang seperti Simon Petrus. Bila menghadapi badai dan tantangan hidup, kita lalu menyerah dan berpasrah terhadap kenyataan itu. Kita bahkan putus asa. Lebih jauh dampaknya adalah kita menjadi stress. Kita menjadi manusia tak berdaya karena tidak mengandalkan Tuhan dalam hidup kita. Tetapi kita tidak boleh berlarut dalam problematika hidup. Kita harus sadar seperti Simon Petrus, bahwa Tuhan sedang berjalan bersama di dalam perahu kehidupan kita masing-masing. Karena itu satu-satunya syarat adalah mengasihi Tuhan. Mengasihi Tuhan berarti mengandalkan Tuhan dalam seluruh aktivitas dan perjuangan hidup. Mengasihi Tuhan berarti menempatkan Tuhan untuk ikut memproses kita. Kita berharga di mata Tuhan, karena itu Dia hendak memproses kita untuk menjadi manusia yang semakin beriman teguh kepada-Nya, dan menjadi manusia yang semakin berbela rasa bagi sesama, dalam semangat kesetiakawanan yang paripurna. Dalam semangat inilah kita percaya kata-kata Yesus:” Dum In Altum.”