Oleh : Dr. Goris Lewoleba, M.Si, Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA


Alumni LEMHANNAS RI Tahun 2002, Seangkatan dengan Kapolri dan Kepala BIN (Jend.Pol.) Sutanto, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof.Dr. Malik Fadjar)
WARTA-NUSANTARA.COM–Judul tulisan ini, hampir seirama dengan judul lagu “Kisah Cinta Antara Anyer dan Jakarta”, karya Oddie Agam, yang dipopulerkan oleh penyanyi legendaris dari Malaysia, si Cantik Jelita, Shella Madjid, pada akhir tahun 1980 an.
Meskipun jarak antara Anyer dan Jakarta “hanya” 125 km dan jarak antara Jakarta dan IKN sejauh 1.260 km, tetapi “Kisah Cinta” yang terjadi di balik kedua ruang wilayah itu dapat menjadi sumber inspirasi untuk menjelaskan suatu fenomena sosial politik yang sedang menjadi sorotan publik secara lebih kontekstual dan kasat mata.

Jakarta adalah kota impian yang monumental, yang adalah Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dan menyimpan sejuta kisah kenangan yang mengesankan bagi masyarakat bangsa dan negara Indonesia.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan kalau kemudian Band Legendaris Koes Plus menciptakan sebuah lagu yang didedikasikan untuk mengenang Kota Jakarta dengan syair lagu yang mendayu.. ke Jakarta aku kan kembali… walaupun apa yang telah terjadi….
Sebagai kota metropolitan, Jakarta memang menjadi pusat gratifikasi bisnis dan barometer politik di negeri ini, dan selalu menggoreskan “Kisah Cinta Sosial Politik” dari kehidupan yang selalu menjadi daya tarik bagi semua elemen masyarakat, baik dalam lingkup domestik di Tanah Air, maupun bagi kalangan mancanegara.
Meskipun demikian, fakta sejarah telah memperlihatkan bahwa, daya dukung atau carryng capacity dari Kota Jakarta itu sendiri telah melampaui ambang batas kemampuannya untuk dihuni oleh warganya sendiri secara aman dan damai, pada hari ini, maupun bagi generasi baru ke arah masa depan.
Dikatakan demikian, karena menurut Penelitian dari ITB (Institut Teknologi Bandung), dinyatakan bahwa, sebagian besar wilayah Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. Penurunan tanah yang terus terjadi di Jakarta membuat Kota Jakarta terancam akan tenggelam, dan diperkirakan pada tahun 2050, sebanyak 28 persen wilayah Jakarta akan berada di bawah permukaan laut.
Bahkan, atas dasar penelitian itu pula, dijelaskan bahwa, air laut di teluk Jakarta sudah masuk jauh ke daratan Jakarta di bawah area sekitar Monas (Monumen Nasional).
Sehubungan dengan itu maka, hal yang menjadi urgensi soal yang paling problematik hari ini, adalah terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke tempat yang baru, karena beberapa alasan utama yang berhubungan dengan tantangan lingkungan, masalah sosial, dan soal krusial terkait dengan situasi dan kondisi ekonomi.
Lebih lanjut dapat dijelaskan, misalnya terkait dengan masalah kemacetan yang semakin parah pada hampir setiap hari. Sudah menjadi semacam common sense bahwa, Jakarta dikenal sebagai sebuah kota metropolitan yang tingkat kemacetannya sangat tinggi, yang berdampak pada produktivitas masyarakat, serta selalu adanya peningkatkan polusi udara.
Dampak lebih lanjut dari kondisi yang demikian adalah, adanya beban Infrastruktur, dimana kondisi Jakarta tampak amat padat, dengan infrastruktur yang sudah overload, sehingga pembangunan dan perawatan infrastruktur memerlukan biaya yang sangat tinggi pula.
Oleh karena itu, pemindahan Ibu Kota Negara merupakan suatu keniscayaan yang realistis, agar terjadi pemerataan pembangunan, karena dengan memindahkan ibu kota ke daerah yang lebih strategis dapat mempercepat pemerataan pembangunan di luar Jawa, yang selama ini lebih terpusat di Pulau Jawa, tidak terkecuali di Jakarta.
Memindahkan Ibu Kota, Keputusan Asasi yang perlu Diapresiasi
Pemindahan suatu Ibu Kota Negara dari Ibu Kota yang Lama ke Ibu Kota yang Baru dapat terjadi di negara manapun di berbagai belahan dunia ini, dengan basis argumentasi yang bersifat postulatif karena “Cinta Tanah Air”, agar dapat menjadi simbol kebanggaan dan kesepakatan peradaban suatu bangsa.
Sehubungan dengan hal itu, maka sebut saja, di negara Brasil, pemindahan Ibukota dari Rio de Jeneiro ke Brasilia, negara Nigeria, dari Lagos ke Abuja, negara Pakistan, dari Karachi ke Islamabad, negara Kazakhstan, dari Almaty ke Astana, negara Korea Selatan, dari Seoul ke Chungu, lalu kembali lagi ke Seoul, dan negara tetangga kita Malaysia, dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya sebagai Pusat Pemerintahan.
Dengan demikian, maka sesungguhnya, pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke IKN di Penajam Paser Utara Propinsi Kalimantan Timur merupakan hal yang wajar dan biasa saja.
Apalagi, ide mengenai pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini, sudah digagas oleh Presiden Pertama Republik Indonesia
Soekarno, yang merencanakan pemindahan Ibukota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya di Propinsi Kalimantan Tengah.
Sebagaimana diketahui bahwa, ide visioner Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya bermula pada awal 1950-an. Pada saat itu, Jakarta mulai mengalami tekanan kepadatan penduduk, masalah infrastruktur, dan bencana alam (seperti banjir) dan kemungkinan potensi terjadinya gempa bumi.
Oleh karena itu, Presiden Soekarno menginginkan sebuah ibu kota baru yang terletak di tengah Indonesia agar lebih mudah diakses oleh seluruh wilayah negara, serta untuk mengurangi ketergantungan pada Jakarta yang semakin padat.
Akan tetapi, ide tersebut tidak pernah terlaksana sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena, beberapa faktor determinan penting dan dominan yang memengaruhi antara lain, keterbatasan anggaran dan kurangnya logistik, serta perbedaan politik yang menyebabkan rencana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya menjadi terhenti dan hanyalah tinggal ceritera.
Meskipun demikian, ide tersebut tetap menjadi bagian dari catatan sejarah dan percakapan publik mengenai pemindahan ibu kota, yang akhirnya terwujud pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan memindahkan bu kota baru di Nusantara, Kalimantan Timur, yang populer dengan sebutan IKN (Ibu Kota Nusantara).
Walaupun begitu, berdasarkan pengamatan dan perkiraan yang mendekati kebenaran, tampak nyata terasa bahwa, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang saat ini sedang berjalan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan dan pertimbangan yang fundamental antara lain,
masalah ekonomi: Dikatakan demikian karena, banyak pihak yang merasa bahwa, dana yang akan digelontorkan sebesar 466 Triliun dan digunakan untuk membangun IKN itu, akan jauh lebih baik dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur dan pelayanan publik di daerah-daerah yang sedang sangat kesulitan, terutama di luar Jakarta. Di samping itu, beberapa pihak berpandangan bahwa, pembangunan IKN akan membebani anggaran negara di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil dengan ruang fiskal yang sedang sangat terbatas.
Lebih lanjut, dapat dipahami pula bahwa, muncul kekhawatiran dimana proyek IKN ini akan lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, sementara masyarakat di daerah lain akan tetap tertinggal begitu saja seperti selama ini yang sedang terjadi di seantero Tanah Air.
Kecuali itu, ada faktor lain yang juga memengaruhi kondisi yang serupa yaitu, soal ketidakpastian dan ketidakjelasan akan nilai guna yang obyektif dari IKN itu sendiri. Hal ini disebabkan karena, beberapa masyarakat meragukan manfaat jangka panjang dari pemindahan IKN, dan kerap juga mempertanyakan apakah proyek tersebut benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
IKN dan “Cinta Kilat” Penuh Pengharapan
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sering kali terjadi kejutan keputusan politik yang muncul hampir selalu tak terduga, seperti rencana pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke IKN di Penajam Paser Utara Propinsi Kalimantan Timur.
Dikatakan demikian karena, seperti tak ada hujan dan tak ada angin, tapi rasanya seperti “Cinta Kilat” yang menyambar di siang bolong, muncul wacana dan gagasan untuk memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dari Jakarta ke IKN, tanpa dibicarakan sebelumnya secara matang dan terencana dalam komunikasi politik di lingkaran pusat kekuasaan, baik di wilayah eksekutif maupun di ranah legislatif.
Bahkan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun memberikan testimoni bahwa, dalam kebersamaannya memimpin pemerintahan, tidak pernah sedikit pun membicarakan mengenai rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke IKN.
Sehubungan dengan hal itu maka, dengan meminjam Habermas (1981), dalam
“Teori Tindakan Komunikatif” yang tertuang melalui karya akademik dalam bukunya The Theory of Conmunicative Action, menjelaskan bahwa, keputusan politik demi kepentingan masa depan suatu bangsa dan negara, perlu diambil dengan “tindakan komunikatif” yang diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama, dan tidak atas dasar keputusan sendiri demi kepentingan diri sendiri.
Oleh karena itu, sesungguhnya Presiden Joko Widodo sejak awal, sebaiknya menggunakan pendekatan “Tindakan Komunikatif” agar dapat membicarakan rencana Pembangunan IKN sebagai Ibu Kota Negara Indonesia yang didukung oleh semua pihak demi kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia.
Kemudian, seiring dengan perkembangan dan dinamika situasi politik yang terjadi, tampaknya banyak pihak justeru memberikan penafsiran yang beragam bahwa, pemindahan Ibu Kota Negara ke IKN merupakan upaya Presiden Joko Widodo untuk meninggalkan legacy yang cenderung bersifat personal agar dapat dikenang sepanjang masa.
Dengan demikian, dalam corak cara, dan bentuk gaya serta pola arah, melalui analogi “Cinta Kilat” dalam kenyataan maka, akan selalu muncul aneka citarasa yang menjelaskan bahwa, mengapa “Cinta Kilat” dalam segala aspek kehidupan selalu cenderung tidak dapat memberikan penghargaan dan kepastian akan suatu masa depan yang penuh pengharapan.
Sementara itu, seolah seperti dua sisi dari satu mata uang, dimana proyek IKN kini, sedang menghadapi sejumlah tantangan yang menyebabkan kelambatan dan keterbatasan dukungan dari para investor, baik investor lokal dalam negeri, maupun investor dari luar negeri.
Pada hal, Presiden Joko Widodo telah berupaya untuk menebar “Cinta dan Harapan” kepada para investor dengan mengunjungi beberapa negara super power dan negeri kapitalis, antara lain, Jepang yang menjanjikan dukungan 100 Milyar US Dollar dari Soft Bank, negara-negara di Timur Tengah, Singapura, Australia, Eropa, Amerika dan negara China, bahkan sampai dua kali bertemu dengan Presiden China Xi Jinping, tetapi semuanya, bahkan satu pun tidak ada yang mendukung untuk investasi di IKN.
Dalam pada itu, maka dikerahkanlah para Investor di dalam negeri, termasuk “Sembilan Naga” untuk berinvestasi guna mendukung pembangunan IKN dengan melakukan Ground Breaking di IKN.
Tetapi, ada hal yang sangat mengejutkan secara paradoksal, dan terungkap dengan cara yang terbuka ke muka publik oleh salah seorang Investor Besar dalam negeri melalui Wawancara Majalah Tempo (26/11/24) yang menyatakan bahwa, “semua itu hanya untuk menjaga Muka Presiden”.
Lalu, muncul pertanyaan di benak publik, mengapa para investor tidak mendukung investasi untuk membangun IKN ?
Atas pertanyaan seperti ini, dan menurut perkiraan yang mendekati kebenaran, maka secara nalar, cukup logis untuk dipahami bahwa, terdapat beberapa alasan utama yang memengaruhi kelancaran pembangunan Proyek IKN antara lain, karena ketidakpastian Regulasi dan Kebijakan.
Hal ini disebabkan karena, meskipun sudah ada Undang-Undang yang mendasari pembangunan IKN, tetapi kebijakan yang lebih terperinci dan konsisten seringkali kurang jelas, padahal Investor membutuhkan stabilitas kebijakan untuk dapat membuat keputusan investasi yang besar, sehingga dengan demikian, ketidakpastian ini semakin menambah risiko yang mereka hadapi.
Selain itu, terkait dengan masalah pembiayaan, dimana proyek sebesar IKN memerlukan dana yang sangat besar. Sementara itu, pemerintah Indonesia berencana membiayai proyek ini sebagian besar melalui pendanaan publik dan kerja sama dengan sektor swasta. Namun demikian, adanya kesulitan dalam menarik investor swasta dapat disebabkan oleh karena persepsi akan risiko yang tinggi terkait dengan kestabilan politik dan prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Lebih daripada itu, Pembangunan IKN merupakan proyek yang Kompleks dan Ambisius dimana Pembangunan IKN merupakan proyek dengan berbagai tantangan teknis dan logistik. Ini disebabkan karena, proyek ini melibatkan pembangunan infrastruktur besar seperti jalan raya, jembatan, jaringan listrik, dan perumahan dengan model pendekatan dan Modus Operandi Smart City. Kerumitan ini bisa menjadi penghalang bagi investor yang lebih suka proyek dengan risiko yang lebih rendah dan lebih mudah untuk dapat diprediksi.
Kemudian, hal yang dapat menjadi sumber soal yang serius adalah terkait dengan persepsi akan risiko yang tinggi: Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa, dalam pandangan investor, proyek IKN mungkin dianggap memiliki risiko politik, sosial, dan ekonomi yang cukup besar, terutama terkait dengan perubahan pemerintahan, perubahan kebijakan, atau ketegangan politik yang dapat memengaruhi stabilitas investasi jangka panjang bagi para investor.
Oleh karena itu maka, melalui berbagai tantangan ini, proyek IKN memerlukan perencanaan yang matang dan kebijakan yang jelas dengan strategi yang tepat, agar dapat menarik banyak investor dan memastikan bahwa, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN merupakan “Kisah Cinta” yang didasari oleh “Kemurnian Hati Nurani dan Kebersihan Motivasi” untuk Kejayaan Bangsa dan Negara Indonesia, dan bukan sebagai Warisan atau Legacy Pribadi untuk kepentingan Dinasti Politik. ***
Catatan Redaksi Warta-Nusantara.Com : Opini Dr. Goris Lewoleba, M.Si, Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA telah dimuat di Kompasiana.Com, 10 Pebruari 2025.