Oleh : Germanus Attawuwur,
Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemilu NTT




WARTA-NUSANTARA.COM–Pemilihan Kepala Daerah serentak telah usai. Kepala-kepala Daerah yang sudah dilantik tanggal 20 Februari 2025 sedang mengikuti kegiatan retret di Magelang. Sementara itu Kepala Daerah yang tersisa masih harus berjibaku dengan waktu untuk mengikuti proses sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkama Konstitusi. Proses sidang PHPU di MK hingga tulisan ini diturunkan, masih berlangsung.


Di antara sekian banyak sidang perselisahan hasil pemilihan umum, terdapat juga sidang PHPU Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).



Laporan yang disampaikan ke Mahkama Konstitusi adalah bahwa calon Wakil Bupati Nomor Urut 1 diduga tidak memenuhi syarat pencalonan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g jo Pasal 45 ayat (2) huruf b point 8. Pasal 7 ayat (2) huruf g mengatur bahwa Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.



Sedangkan Pasal 45 ayat (1) mengatur bahwa Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.
Pada ayat (2) huruf b point 2 dijelaskan tentang jenis-jenis dokumen, salah satunya adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai buktinya, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.


Sedangkan pada Pasal 45 ayat (2) huruf b point 4 diterangkan bahwa para calon tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i;
Pertanyaannya adalah, pelanggaran apakah yang dilakukan oleh Calon Wakil Bupati Kabupaten Belu sehingga dilaporkan ke Mahkama Konstitusi?
Mengapa kasus ini tidak diselesaikan di tingkat penyelenggara pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Belu pada saat proses pencalonan sehingga tidak merugikan pasangan calon dan terlebih-lebih merugikan masyarakat kabupaten Belu?



Terhadap pertanyaan pertama, menurut fakta-fakta persidangan di Mahkama Konstitusi yang diikuti penulis, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh calon wakil bupati kabupaten Belu adalah bahwa beliau adalah seorang mantan narapidana dengan kasus membawa lari anak di bawah umur.
Singkat cerita, kasus ini sudah memiliki kekuatan hukum tetap alias incrah dengan memvonis 11 bulan penjara kurungan. Jadi, calon wakil bupati pasangan nomor urut 1 berstatus sebagai mantan narapidana. Sebagai mantan pidana maka beliau diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (2) huruf g untuk mengumumkan dirinya kepada public melalui media cetak nasional atau media cetak local.
Perintah ini kuat dugaan tidak dipenuhi oleh calon bupati Belu. Maka dilaporkan oleh masyarakat sebagai pasangan yang tidak memenuhi syarat calon. Terhadap pertanyaan kedua, terhadap dugaan pelanggaran itu masyarakat sudah melaporkan kepada Bawaslu Kabupaten Belu.
Namun menurut pernyataan pihak Bawaslu Kabupaten Belu, yang bersangkutan dipanggil secara patut sebanyak tiga kali untuk melakukan klarifikasi namun sayang, beliau tidak memenuhi panggilan Bawaslu Belu.
Menebak Putusan: Moral dan Etika adalah Jiwa Hukum Positif.
Pemohon secara sadar mendaftarkan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bukan untuk mensengketakan hasilnya melainkan mensengketakan prosesnya. Terlihat sengketa ini tidak diadili hasilnya melainkan prosesnya. Jadi dalam kasus ini, panelis majelis hakim tidak mengadili hasil (keadilan procedural matematis) melainkan mengadili substansial dari demokrasi/pemilihan itu.
Karena yang diadili adalah hal yang bersifat substansial, maka para hakim menggali keterangan dari berbagai pihak untuk meyakinkan mereka dalam mengambil putusan. Maka kita dapat menyaksikan berbagai dinamika di dalam fakta persidangan itu.
Dari berbagai dalil hukum yang dikemukakan oleh berbagai orang dan saksi, saya justru tertarik dengan kesaksikan Saksi Ahli Termohon (Calon Wakil Bupati), Beliau membantah keterangan yang digunakan oleh Bawaslu sebagai dasar untuk memanggil kliennya. Dalil hukum yang digunakan Bawaslu adalah dugaan kekerasan seksual anak di bawah umur.
Padahal menurut amar putusan pengadilan yang memvonis kasus itu, bahwa yang bersangkutan dihukum penjara kurungan sebelas (11) bulan oleh karena membawa lari anak di bawah umur. Tentu dua perbuatan pidana yang berbeda. Bawaslu boleh salah dalam hal ini.
Namun substansinya adalah bahwa calon wakil bupati nomor urut 1 adalah seorang mantan napi. Sebagai seorang mantan napi peraturan mewajibkan agar secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana (Pasal 7 ayat 2 huruf g) ; dan ditegaskan model penyampaian kepada masyarakat yang diatur dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b point 4 : telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai buktinya, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g.
Jadi, calon wakil bupati Belu terpilih adalah mantan narapidana yang diduga tidak mengumumkan dirinya sebagai mantan napi kepada masyarakat melalui media massa local atau nasional.
Terhadap perbuatan kliennya ini saksi ahli mengatakan bahwa kejadian itu terjadi tahun 2014, di mana Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota baru diundangkan tahun 2016. Di republic ini undang-undang tidak berlaku surat. Hemat penulis (yang bukan orang yang belajar Ilmu Hukum), argumen hukum ini tentu masuk akal. Karena bagaimana mungkin undang-undang yang baru disahkan kemudian itu mengatur tindakan pidana yang sudah terjadi?
Tentu bukan saja aspek hukum postif yang menjadi bahan pertimbangan, tetapi ada aspek lainnya. Salah satunya adalah aspek Moral dan Etika. Ketika pertimbangannya pada aspek moral dan etika maka ada syarat lain yang diatur dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b point 4 yang engatur bahwa calon tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian. Artinya, dengan amar putusan hakim yang telah mengadili perkara itu, sudah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa beliau bersalah.
Karena itu dihukum penjara kurungan 11 bulan. Hukumannya sudah incrah. Karena itu dari aspek moral dan etika beliau telah melakukan perbuatan tercelah. Namun sayang, perbuatan itu tidak diumumkan secara terbuka dan jujur.
Pada titik inilah pada akhirnya kita berbicara tentang integritas seorang pemimpin. Pemimpin harus jujur dan adil, baik dalam perkataan maupun perbuatannya. Karena pemimpin akan menjadi teladan. Maka dari sisi moral dan etika, tidak mengenal yang namanya perbuatan tercela yang sudah kadaluwarsa. Karena moral dan etika itu menyangkut perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh seorang manusia pada waktu lampau, kini dan yang akan datang.
Jadi Moral dan etika itu bersifat universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Moral dan etika itu adalah jiwa dari hukum positif di dunia ini. Jika demikian, maka dapat kita tebak bahwa permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian, yakni demi untuk kebaikan umum, yang dibatalkan pemilihannya adalah calon wakil bupati sedangkan Bupati yang terpilih tetap diputuskan sebagai Bupati terpilih dengan mayoritas suara masyarakat Belu. Vox populi vox Dei. Jadi beliau menjadi Bupati terpilih tanpa wakil.
Terbitnya undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan agar setiap orang boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun harus benar-benar memenuhi syarat calon dan syarat pencalonan.
Faktanya di NTT sudah satu kali hasil pemilihan kepala daerah yang dibatalkan oleh Mahkama Konstitusi. Pembatalan ini tentu sangat merugikan masyarakat.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Maka untuk waktu yang akan datang, apabila ada putra-putri Negara ini yang hendak mencalonkan dan dicalonkan sebagai kepala daerah, pelajari dengan saksama syarat calon dan syarat pencalonan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Bila tidak memiliki waktu untuk mempelajari syarat-syarat itu, dapatlah berkonsultasi kepada penyelenggara pemilu atau dapat saja dikonsultasikan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LHB) Pemilu NTT. ***