Kej. 15:5-18; Fil. 3:20–4:1; Luk. 9:28b-36
Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, penginjil mencatat:”Kira-kira delapan hari sesudah segala pengajaran itu, Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Dan tampaklah dua orang berbicara dengan Dia, yaitu Musa dan Elia. Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem.” Yesus mengalami transfigurasi itu tatkala Dia sedang berdoa. Tatkala Dia sedang berdoa Petrus, Yohanes dan Yakobus justru tertidur lelap. Syukurlah, transfigurasi itu berlangsung lama sehingga mereka dapat menyaksikan peristiwa mulia itu setelah terbangun dari tidur mereka.
Peristiwa pemuliaan Yesus di hadapan tiga murid-Nya, adalah kemuliaan sorgawi dari Sang Bapa kepada Putra-Nya. Hal ini didapatkan Yesus takala Dia sedang berdoa. Yesus tidak saja berkeliling sambil berbuat baik, tetapi juga Dia mengambil waktu untuk ada bersama Yesus. Tempat yang selalu dipilih Yesus, adalah tempat sunyi: Padang gurun dan / atau bukit/gunung. Kali ini, di gunung Tabor, ia berkomunikasi dengan Bapa-Nya dalam keheningan. Ketika murid-murid-Nya tertidur, Dia justru berdoa. Menjalin keintiman yang mesra dengan Bapa-Nya. Bagi Yesus, doa adalah kekuatan-Nya. Dalam keheningan doa-Nya, datanglah kemuliaan bagi diri-Nya oleh Bapa-Nya. Rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Transfigurasi, pemuliaan Putra oleh Sang Bapa terjadi dalam keheningan di Gunung itu.
Begitu sadar dari tidurnya, Petrus, Yohanes dan Yakobus menyaksikan peristiwa agung-mulia itu. Petrus begitu terpesona. Ia sungguh kagum akan suasana penuh rahmat itu. Maka tak segan-segan ia berkata kepada Yesus:” Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”
Namun Yesus tidak terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh Petrus:” Penginjil mencatat:” Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya.”
Ketidaktahuan Petrus akan misi penebusan Yesus melalui jalan penderitaan ini, kemudian disadarkan melalui peristiwa yang luar biasa terjadi.
Injil mencatat:” Sementara ia berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka. Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia. “
Inilah Anak-Ku yang Ku-pilih, dengarkanlah Dia adalah maklumat atau pengumuman kepada para murid bahwa Yesus Putra Allah itu harus menderita di salib (Luk 9:31); Selain itu peristiwa ini sebagai pengesahan oleh Allah bahwa Yesus benar-benar Anak-Nya yang layak menebus umat manusia. Karena itu, Sang Bapa tidak mungkin meninggalkan putra-Nya dalam penderitaan-Nya. Ia akan selalu menyertai Putra-Nya hingga Putra-Nya tuntas sempurna melaksanakan misi-Nya.
Karena misi-Nya adalah penebusan dan penyelamatan manusia maka Yesus tidak boleh tinggal di atas kemuliaan Tabor. Dia tidak boleh berlama-lama di atas bukit. Dia harus segera turun. Turun dari bukit untuk melaksanakan misi penyelamatan-Nya menebus manusia melalui via dolorosa, jalan salib penebusan.
Saudara-saudaraku yang terkasih, dalam peristiwa pemuliaan Yesus itu, teridentifikasi dua nabi besar yang dikenal: Musa dan Elia. Musa dan Elia, adalah nabi Perjanjian Lama. Musa dikenal sebagai proklamator Hukum Allah bagi bangsa Israel. Sedangkan Elia dikenal sebagai salah satu nabi besar yang akhir kisah hidupnya terangkat ke surga (Bdk. II Raja-raja 2:11). Tentang Nabi Elia diberitakan bahwa ketika sedang mereka berjalan terus sambil berkata-kata, tiba-tiba datanglah kereta berapi dengan kuda berapi memisahkan keduanya, lalu naiklah Elia ke sorga dalam angin badai).
Kehadiran keduanya nabi besar ini dapat dilihat sebagai perjumpaan mereka dengan Yesus yang adalah Allah yang mereka layani pada masa Perjanjian Lama. Musa bertemu dengan Dia yang menetapkan hukum bagi Israel dan Elia juga bertemu dengan Dia yang menjawab doanya sehingga seorang anak dihidupkan kembali dari kematian dan Allah yang menyatakan kemahakuasaan-Nya di tengah nabi Baal (Bdk. I Raja-raja 18:36 ). Perjumpaan ini menyiratkan sebuah pesan penting bahwa PEMENUHAN SEGALA HUKUM DAN NUBUAT PARA NABI SUDAH NYATA DALAM DIRI YESUS KRISTUS. Yesus menjadi sumber segala hukum, yaitu hukum cinta kasih. Kasih seorang Allah yang memberikan nyawa-Nya bagi tebusan dosa kita umat manusia.
Yesus sudah mengajarkan kita bahwa puncak karya penebusan-Nya bukan berjumpa dengan dua nabi Perjanjian lama (Musa dan Elia) di puncak gunung dengan kemilauan cahaya, tetapi perjumpaan Yesus dengan dua penjahat (wakil umat manusia) di puncak bukit Kalvari dengan kemilauan darah penebusan. Kisah tragedi Kalvari akan menakar kemuridan kita. Apakah siap dan setia?
Petrus dan Yakobus justru tidak disebutkan dalam Injil apapun ketika Yesus ditinggikan/dimuliakan di atas salib. Pertanyaannya, dimanakah mereka? Mengapa mereka tidak disebutkan? Ternyata, pada peristiwa itu kedua murid itu menghindar dari jalan penderitaan guru mereka. Justru Petrus, dalam perjalanan salib gurunya, ia menyangkal dengan berkata:” Aku tidak kenal orang itu.” Jadi ia menyangkal kemuridannya sendiri.
Akhir kisah tragedy Kalvari justru menampakan kesetiaan kemuridan Maria dan Yohanes. Dua murid militan dalam segala situasi gurunya. Mereka setia mengikuti perjalanan salib Yesus hingga Yesus wafat di atas kayu salib. Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, peristiwa transfigurasi di bukit itu mustinya dipahami bahwa Yesus hari ini mengajak kita “turun dari bukit” kenyamanan diri kita, turun dari pengalaman rohani kita, turun dari untaian doa kita, untuk bersama Yesus ke Yerusalem, mengikuti dengan setia jalan salib kehidupan kita masing-masing.
Jadi transfigurasi Yesus sejatinya menjadi transformasi kemuridan kita. Transformasi kemuridan kita harus ditunjukkan dalam sikap: setia menjadi murid Yesus. Tidak boleh larut di dalam kemuliaan diri sendiri. Tidak boleh tinggal di dalam kenyamanan diri sendiri, tetapi dipanggil dan diutus untuk keluar “memecahkan” dan membagi diri kepada sesama, teristimewa yang sedang membutuhkan peduli kita. Untuk itu, mari kita bongkar tenda kenyamanan diri dan berjalan bersama Putra Allah menuju Kalvari dengan memikul salib hidup kita masing-masing di masa Prapaskah ini.