Oleh : Rm. Eduardus Jebarus, Pr
Pengantar : Forum Perjuangan Pahlawan Nasional (Forpalnas) Menggelar Seminar Nasional Brigjen Pol (Purn) Drs. Anton Enga Tifaona dengan mengusung tema : Matahari Dari Timur Untuk Indonesia”. Seminar itu berlangsung di Aula Anton Enga Tifaona, Kantor Camat Nubatukan, Lewoleba, Kabupaten Lembata, Kamis, 25/8/2022. Romo Eduardus Jebarus, PR, Sekretaris Pastoral Keuskupan Larantuka, tampil sebagai Narasumber/Pembicara dengan menyajikan topik, : Satu-Dua Catatan Tentang Lembata Sebagai Pembuka”. Berikut Warta Nusantara menayangkan secara lengkap tulisan RM. Eduardus Jebarus sebagai sebuah catatan historis bermakna yang patut disimak. Catatan sejarah pendidikan dan masuknya agama Katolik pertama di Desa Lamalera tentu saja sangat penting karena telah membentuk karakter kepemimpinan dan Iman Kristiani yang tangguh bagi pribadi Anton Enga Tifaona.
- Baptisan Pertama
Pada tanggal 30 September 1881, orang Lamalera yang pertama, seorang gadis bernama Maria Lete, dibaptis di Larantuka oleh P. Jacobus Kraaijvanger, SJ. Maria Lete termasuk dalam kelompok gadis-gadis yang diasuh oleh para Suster Fransiskanes di Larantuka. Pada tahun 1884 Don Lorenzo DVG mengunjungi Lamalera di Pulau Lomblen dan Mengajar katekismus kepada penduduk di sana. Minat untuk ke Lamalera sudah Diungkapkan oleh P. Cornelius H. A. ten Brink, SJ dalam suratnya ke Batavia tahun 1884,
Berdasarkan beberapa fakta antara lain, dibaptisnya beberapa orang Lamalera di Larantuka dan sejumlah orang di Lamalera sudah mendapat pengajaran agama yang diberikan oleh Don Lorenzo DVG dalam kunjungan ke Lamalera. - Misionaris Perdana dan Sekolah Pertama.
Lamalera pertama kali dikunjungi oleh P. ten Brink, SJ bersama Visitator P. Johannes de Vries, SJ pada tanggal 8-9 Juni 1886, dalam pelayaran dari Timor ke Larantuka. Kedua misionaris itu membaptis 215 anak. Peristiwa ini diangkat sebagai tonggak awal sejarah Gereja Katolik di Lomblen. Kemudian terjadi beberapa kunjungan oleh antara lain:
P. Josef H. J. L. Hoeberechts, SJ, P. Hermanus H. O. Leemker, SJ dan P. Adrianus Joannes Asselbergs, SJ. Di Lamalera pulalah dibuka sekolah yang pertama untuk Lomblen pada Tahun 1913 oleh P. Hoeberechts, SJ menggunakan salah satu ruangan di pastoran.
Guru yang pertama adalah Petrus Boliona. Kemudian Kakang Lamalera Johanes Muran Kedang bersama rakyat membangun sebuah “rumah sekolah”, yang diberkati oleh P. Hoeberechts, SJ pada 31 Oktober 1915. - Flores-Soemba Contract/Regeling
Berdasarkan beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 31 Maret 1913 No. 44, Staatsblad No. 309 tanggal 6 April 1913 mengumumkan “Peraturan Pemberian Subsidi kepada Sekolah-Sekolah di Daerah Flores dan Sumba”, yang berlaku hingga tahun 1922. Peraturan Ini memberikan hak penyelenggaraan sekolah di Flores kepada Serikat Yesus, di Sumba kepada Zending. Berkenaan dengan pengalihan Misi di Flores, terjadi juga pengalihan penerima subsidi dari Yesuit kepada SVD dengan beslit tanggal 29 Desember 1914 No. 57 (Staatsblat No. 791). Peraturan ini diperbarui pada tahun 1915. Dua peraturan di atas biasa disebut Flores-Soemba Regeling atau Flores-Soemba Contract. Peraturan subsidi itu sangat membantu Gereja Katolik dan masyarakat di wilayah ini. Raja, Kapitan, Kakang dan Kepala Kampung ikut menentukan dalam inisiatif membuka
sekolah-sekolah yang baru. Misalnya, Kepala Adat dan Kepala Kampung Imulolong, Thomas Nuba Tifaona. - Misi Tetap
Pulau Lomblen mendapat pelayanan pastor tetap sejak tahun 1920. Pada 25 September 1920 P. Bernhard Bode, SVD bersama Br. Fransiscus Bakker, SVD dan 17 tukang tiba di Lamalera. Lamalera adalah stasi pertama di Lomblen. Dari Lamalera P. Bode menjelajahi hamper seluruh Lomblen, kecuali Kedang, yakni: Karangora, Lerek, Kalikasa, Bakan, Lewoleba, Waipukang, Lewotapo, Lamatuka dan Hadakewa. P. Eduard Hundler, SVD tiba pada tanggal 17 November 1921 dan bertugas di Lamalera hingga Maret 1922. P. Theodorus
Thoolen, SVD tiba pada 27 Februari 1924, bertugas hingga tanggal 24 Juli 1928. Pada tahun 1922 didirikan sekolah di Hadakewa, Lebala dan Kalikasa; di Ledoblolong tahun 1925. Pada 5 Juni 1924 tiba P. Joseph Preissler, SVD. Dalam kunjungan pastoral ke Lomblen pada tahun 1924, Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD menerimakan sakramen krisma kepada kira-kira 1.200 orang. Pada tahun 1926, P. Preissler, SVD beralih dari Lamalera dan membuka Stasi Lewoleba; Lewoleba berkembang menjadi pusat misi Lomblen. Pusat pemerintahan berpindah dari Hadakewa ke Lewoleba tahun 1962. - Sekolah Pintu Kemajuan
Dengan latar belakang situasi di Nusa Tenggara pada awal abad ke-20, pemerintah dan Misi mempunyai tujuan yang bersentuhan mengenai sekolah yakni, melenyapkan buta huruf, membuat orang bisa membaca, menulis dan berhitung menurut cara “barat”. Di samping itu pemerintah dan Misi mempunyai tujuan-tujuan khusus. Pemerintah mengharapkan bahwa
dengan bersekolah masyarakat meninggalkan praktik-praktik primitif dan ketenangan masyarakat dapat tercipta. Dengan sekolah, pemerintah bisa mendapat pegawai-pegawai rendah untuk kantor-kantor atau tugas-tugas pemerintahan. Untuk Gereja, lewat sekolah masyarakat dapat mengenal dan memperdalam agama Katolik. Dalam sekolah dan asrama, para siswa dibantu untuk mempelajari dan membiasakan diri dengan perilaku yang lebih baik.
Untuk itu pelajaran keterampilan dan kursus-kursus sangat bermanfaat. Kaum perempuan perlu mendapat perhatian khusus untuk membangun keluarga, jasmani dan rohani. Mereka dapat mempelajari aneka keterampilan misalnya; menjahit dan memasak serta membiasakan diri dengan kebersihan badan, rumah dan lingkungan. Para misionaris yakin bahwa penghayatan iman anak-anak perempuan di sekolah akan sangat membantu pembentukan
keluarga Kristen, apabila mereka kelak memasuki kehidupan keluarga. Untuk itu, semua pendidikan formal 3 sampai 5 tahun serta kursus-kursus dianggap memadai. Pemerintah dan Misi berusaha sedapat-dapatnya agar anak-anak pemuka masyarakat mendapat pendidikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dengan demikian orangtua anak yang adalah pemuka masyarakat itu, diikat untuk memperhatikan sekolah, mendorong orangtua lain untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan lagi anak-anak itu sendiri kelak
bisa menjadi pemimpin untuk urusan pemerintahan, agama dan masyarakat. Bagi Misi SVD, sekolah adalah sesuatu yang niscaya. Di wilayah Misi Nusa Tenggara, sekolah dan asrama mendapat perhatian yang besar dan dikelola dengan sungguh-sungguh. Menurut sejarahwan P. Fritz Bornemann, SVD,
“Di daerah-daerah Misi lain tidak terdapat cara yang lebih mudah dan berdaya guna seperti di Flores dan Timor, untuk sampai kepada khalayak luas, yakni dengan membangun sekolah-sekolah.”
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam Seminar Nasional tersebut menampilkan sejumlah Pembicara/Narasumber hebat yang sudah kerap tampil baik ditingkat Nasional dan Internasional. Yakni, Dolorosa Sinaga (Pematung/Seniman) dengan materi, “Seni dan Patung Sebagai Memorabilia, Patung Sebagai Titik Temu Perjumpaan Masa Lalu dan Masa Depan”. Yosep Adi Prasetyo (Pengamat Sosial Politik, Mantan Wakil Ketua Komisioner Komnas HAM dan Mantan Ketua Dewan Pers), dengan topik materi ” Pahlawan Nasional Sebagai Penggerak Pembangunan Lembata”. Romo Eduardus Jebarus (Sekretaris Pastoral Keuskupan Larantuka) dengan topik, “Pendidikan, Misi Gereja Lokal dan Sumbangannya Dalam Pembentukan Awam Katolik”. Brigjen Pol (Purn) Dr. Simanungkalit (Mantan bawahan BapakAnton Enga Tifaona di Kalimantan tahun 1977), menyajikan materi secara Online dengan topik, ” Anton Enga : Karier, Perjuangan, Prestasi dalam Institusi Kepolisian”.
Selain itu, ada pula Narasumber Tokoh Muda Lembata dan Jurnalis, Bona Beding (Direktur Eksekutif Institusi Kebudayaan Lembata-IKAL) dengan topik : “Tradisi, Adat-istiadat dan Kebudayaan Sebagai Pembentuk Karakter & Jatidiri Anton Enga Tifaona” Dan Seminar Nasional itu semakin menarik dipandu Sang Moderator, Bediona Philipus atau populer disapa, Ipi Bediona, Mantan Anggota DPRD Kabupaten Lembata dua periode. Hadir pula dalam Seminar Nasional tersebut, Putra Sulung Almahrum AET, Thomas Nuba Tifaona, sekaligus tampil sebagai Penata Zoom Meeting”, Pemaparan Materi secara Online dan Mikhael Kleden, Pemandu-MC Seminar. ***
(WN/Karolus Kia Burin)