Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Kej. 20:1-17; 1 Kor.1:22-25; Yoh. 2:13-25
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapak, ibu, saudara, saudari yang terkasih, Minggu yang lalu kita sudah mendengar kisah Transfigurasi Yesus sebagai pengumuman untuk sekali lagi kepada publik bahwa Yesus adalah Anak yang Dikasihi Bapa. Pasca Transfigurasi itu Yesus mengajak ketiga murid-Nya untuk kembali ke Yerusalem guna memulai perjalanan salib-Nya.
Sebelum memulai perjalanan salib itu, sebagaimana kebiasaan-Nya, Yesus pergi dahulu ke Bait Allah.Dia hendak berdoa di sana. Dia hendak memuliakan Bapa-Nya di Bait Suci. Namun sayang, apa yang dijumpai-Nya? “Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati,dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Sucidengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumahBapa-Ku menjadi tempat berjualan.”
Pertanyaannya adalah mengapa Yesus harus terlebih dahulu ke Bait Allah? Karena Bait Allah adalah Rumah Tuhan. Yesus hendak mengatakan kepada kita semua anak-anak Allah, bahwa Tuhan tidak hanya dijumpai di Padang Gurun; Tuhan tidak saja dijumpai di Gunung yang tinggi, tetapi juga, – lebih-lebih – Tuhan dijumpai di Bait-Nya yang Kudus.
Maka ketika Dia melihat bahwa para pedagang telah menjadikan Bait Suci sebagai tempat berjualan, Dia marah dan mengusir mereka keluar dari Bait Suci. Yesus mengecam pedagang itu karena mereka telah menyalahgunakan Bait Suci sebagai tempat untuk jual beli. Maka Upacara Paskah tidak dijadikan sebagai moment untuk mempersembahkan kurban melainkan djadikan sebagai moment untuk mencari keuntungan. Keuntungan bisa saja didapatkan secara haram. Dengan menipu dan mencurangi orang-orang yang berniat suci datang untuk beribadah dan membawa kurban persembahan. Atas nama kerohanian dan Tuhan, mereka telah menipu dan merampok umat mereka sendiri, yang kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang kecil, para janda dan yatim piatu. Rumah Tuhan benar-benar telah menjadi sarang penyamun. Inilah alasan mendasar Yesus marah terhadap para pedagang itu.
Kemarahan Yesus ini hendak menyadarkan orang Yahudi bahwa mustinya menggunakan tempat sesuai dengan fungsinya. Ketika hendak berjualan, tempatnya adalah di pasar, bukan di Bait Allah. Bait Allah itu adalah Rumah Tuhan. Rumah Doa. Tempat perjumpaan antara yang ilahi dan yang insani. Rumah untuk menguduskan Hari Tuhan, sebagaimana bunyi salah satu Firman Tuhan dalam sepuluh firman Tuhan. Jadi, tidak boleh menyalahgunakan tempat. Tidak boleh menganut prinsip mumpung ada kesempatan. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Amarah Yesus di Bait Allah terhadap para pedagang ini kemudian mengingatkan murid-murid Yesus akan apa yang pernah dikatakan oleh raja Daud dalam Kitab Mazmur:” Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.“ (Mzm. 69:10). Perikope itusebenarnya bercerita tentang Doa Daud di tengah-tengah kesesakan yang melandanya. Dan jika kita membaca ayat-ayatnya baik-baik, kita justru akan menemukan bahwa ayat itu bercerita tentang rasa sesak seseorang yang harus melewati aniaya karena Tuhan. “ Sebab oleh karena Engkaulah aku menanggung cela,
noda meliputi mukaku. Aku telah menjadi orang luar bagi saudara-saudaraku, orang asing bagi anak-anak ibuku;
sebab cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku,
dan kata-kata yang mencela Engkau telah menimpa aku.
(Mzr 69:8-10).
Saudara-saudaraku, dalam terjemahan asli Yohanes 2:17, Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku, diterjemahkan dengan kata semangat dan cemburu akan Rumah-Mu, telah menghanguskan, telah menelan aku sampai habis. Para ahli kitab suci menggunakan kata cinta dengan mengacu pada kata zēlos, zeal, yang berarti semangat yang berapi-api, dan jelousy atau cemburu seperti cemburu seorang laki-laki pada istrinya atau sebaliknya.
Dalam konteks kemarahan Yesus di Bait Allah, Yesus hendak menarik garis pembatas yang jelas antara cinta akan Tuhan dan rumah-Nya dengan cinta akan uang/materi. Karena seringkali tanpa disadari, karena uang, kita telah jatuh ke dalam berbagai pencobaan. Karena uang kita masuk ke dalam jerat dan ke dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan kita ke dalam keruntuhan dan kebinasaan, sebagaimana yang kita baca dalam 1 Timotius 6:9.10:” sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
Saudara-saudaraku, hari ini Yesus juga memarahi kita, bukan karena kita sedang berjualan di rumah-Nya tetapi ketika kita sedang bermain hand phone pada saat mengikuti Ekaristi Suci. Yesus pun mengertitik kita bahwa tubuh kita ada di dalam Gereja, tetapi pikiran kita mengelantur jauh. Yesus juga memarahi kita karena kita hanya memuji Bapa-Nya dengan bibir saja, tetapi tidak keluar dari hati yang tulus, karena hati kita sedang ada bersama harta kita. Di mana hartamu, di situ juga hatimu. Maka dengan kemarahan suci Yesus itu sebenarnya mau mengingatkan kita akan kata-kata penginjil Mateus: “Jikalau kita hendak sempurna, pergilah, juallah segala milik dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka kita akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Yesus.” (Mat.19:21).
Datang mengikuti Yesus artinya, bersedia menyangkal diri dan turut memanggul Salib-Nya. Seperti Simon dari Kirene, si petani tua yang membantu memikul salib Yesus. Semula ia merasa terpaksa karena salib menurut tradisi Yahudi adalah palang penghinaan. Penghinaan bagi penjahat-penjahat Yahudi yang paling hina, sementara dia merasa dirinya bukan penjahat. Namun, kesadaran dan keyakinan baru telah muncul dalam dirinya bahwa salib yang bantu dipikulnya itu bukan salib bagi si penjahat, tetapi salib untuk Yesus, Raja Penyelamat Manusia, sebagaimana selalu kita daraskan pada Jalan Salib setiap hari Jumat:” Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia.” Karena itu bagi Simon dari Kirene, salib itu adalah tanda kehormatan, tanda kemenangan. Dan bagi kita semua, Salib itu adalah jangkar harapan bagi keselamatan kita.
Maka marilah pada masa puasa ini, kita semua memaknai kemarahan suci Yesus sebagai ajakan untuk terus berkanjang dalam doa, berbelas kasih dengan berderma dan bermatiraga untuk berbelarasa. Dengan itu kita telah meringankan beban Yesus, tetapi serentak itu pula kita turut memuliakan nama Tuhan di dalam Bait-Nya yang Kudus.