Oleh : Germanus S. Atawuwur
Am.8:4-7; 1Tim.2:1-8; Luk. 16:1-13
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari, saya sengaja mengutip kembali teks bacaan I tentang Peringatan terhadap orang yang mengisap sesamanya. Demi hanya untuk mengumpulkan harta, para pedagang di zaman Nabi Amos, terus menghitung waktu, kapan bulan baru berlalu. Bahkan bagi mereka hari Sabat dianggap sebagai “waktu” yang menghalangi kegiatan perdagangan mereka. Karena itu mereka juga berpikir:”bilakah hari Sabat berlalu?” Tubuh mereka ada di dalam rumah ibadat, tetapi hati mereka melekat pada harta.
Bahkan di dalam rumah Tuhan itu, mereka berpikir dan merancang kejahatan. Rancangan kejahatan dalam pikiran mereka adalah supaya mereka boleh menjual gandum berlalu, supaya kita boleh menawarkanterigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu,supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan.
Terhadap sikap mereka itu Tuhan, melalui nabi Amos mengingakan:” Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini. Untuk perbuatan mereka yang tercela itu Amos mengingatkan mereka sekali lagi:” TUHAN telah bersumpah demi kebanggaan Yakub bahwasanya Dia tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!

Penipuan, manipulasi dan kecurangan demi untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan orang lain, adalah bentuk ketidakadilan. Ketidakadilan inilah selalu dikritik oleh nabi Amos, karena ketidakadilan itu korbannya adalah orang-orang kecil, padahal orang-orang kecil itu seharusnya diperhatikan dan ditolong. Namun para pedagang itu tidak peduli dengan kritikan Amos, Bagi mereka, yang penting adalah harta harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya, apapun caranya. Cara mengumpulkan harta sebagaimana dalam bacaan I ini, adalah ciri khas orang-orang serakah. Praktek orang serakah itu memunculkan kata-kata sindiran seperti ini:” hari ini orang miskin berpikir apa yang harus dia makan sedangkan orang kaya berpikir, hari ini, siapa yang harus dia makan? Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, keserakahan yang digambarkan oleh Nabi Amos, terjadi juga pada zaman Yesus.
Yesus mengajarkan murid-murid-Nya tentang Bendahara yang tidak jujur. Kepada murid-murid-Nya Yesus mengajar mereka dengan mengambil conoh bendahara yang tidak jujur. Bendahara itu, tatkala mendengar tuannya hendak memecatnya, ia pun panggil satu demi satu orang yang berutang kepada tuannya. Kepada mereka dibuatnya surat utang baru. Ia menaikan utang-utangnya secara sepihak. Dia hendak mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, sehingga begitu dia dipecat tuannya, ia mempunyai harta yang limpah. Inilah cara berpikir dan cara kerja orang-orang serakah.
Karakter keserakahan bendahara inilah yang menjadi point pengajaran Yesus. Ajaran itu sebetulnya hendak menegaskan bahwa sekalipun hartamu setinggi langit, tokh tidak dapat menyelamatkan. Dengan kata lain, keselamatan kekal tidak diukur dari seberapa banyak harta kekayaan duniawi yang dimiliki. Malah harta kekayaan, – apalagi didapatkan dengan cara haram – ia bukan menjadi batu penjuru tetapi menjadi batu sandungan dalam memperoleh keselamatan.
Oleh karena harta duniawi itulah maka orang-orang Israel sekalipun sedang melaksanakan ibadanya pada hari Sabat ia terus-menerus memikirkan bagaimana mendapatkan dan mengumpulkan harta duniawi. Demikian pun halnya bendahara tadi. Mungkin saja ia melaksankan kewajiban agamanya secara ritual belaka, tetapinya kecemasannya mengusainya karena dia akan dipecat sehingga dia memikirkan cara bagaimana ia mengumpulkan harta duniawi. Karena itulah Yesus dengan tegas menasehati murid-murid-Nya dengan berkata:” Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain,atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Dari gambaran tentang tabiat orang-orang serakah, teristimewa bendahaa yang tidak jujur inilah, akhirnya dengan tegas Yesus menyampaikan kesimpulan dari ajaran-Nya kepada murid-murid-Nya bahwa kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.
Kata-kata Yesus ini sebenarnya mau mengatakan bahwa Yesus sebenarnya bukan tidak suka seseorang menjadi kaya. Yesus hanya ingin mengatakan kepada kita bahwa perlulah bersikap bijak: beribadatlah dengan baik dan benar ketika saatnya beribadat dan boleh memikirkan harta duniawi ketika sudah tidak berada di rumah ibadat. Maka seorang yang agamawan harus bijak mengatur waktu untuk selalu ada bersama Tuhan dan bijak untuk menjadi dermawan. Kita tidak boleh pelit dan kikir. Karena di dalam kekayaan itu, terkandung juga rezeki orang lain. Maksud kata-kata ini adalah bahwa kekayaan memiliki aspek social. Karena itu kepemilikan harta harus berdampak altruis. Harta perlu juga disedekakan, harta ada baiknya juga didermakan kepada orang-orang yang sungguh-sungguh membutuhkan. Maka dengan itu, harta tidak boleh membelenggu pemiliknya tetapi membuat sang pemilik lebih bebas untuk berbuat baik. Dengan harta itu kita akan berbuat baik. Memberikan bantuan kepada sesama yang membutuhkan.
Dengan harta itu kita banyak menolong orang-orang susah. Dengan harta yang kita miliki, kita perlu juga berlaku adil bagi sesama. Dengan itu maka kita tidak saja mengumpulkan harta duniawi tetapi juga harta surgawi. Harta surgawi yang kita kumpulkan melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukan sekarang ini, merupkan tiket untuk masuk ke dalam kerajaan surga. Untuk itu marilah kita selalu ingat kata-kata Yesus, agar semasa hidup kita, kita selalu berlaku jujur dan adil kepada sesama:” kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”