Oleh : Pius Rengka


WARTA NUSANTARA.COM – LANGIT politik Indonesia kelam nian. Bagaimana tidak. Media sosial disesaki saling hujat antarpara pendukung. Lalu, jika argumen akademis nihil, yang mengedepan justru caci maki. Caci maki, tentu saja, bukan pilihan sehat.

Andaikan, rejim demokrasi tidak kuat menopang beban sejarahnya sendiri, bukan mustahil inilah era pemilihan kepala daerah yang paling mengundang muak sosial. Caci maki, tipu daya, hoaks, tak terhindarkan. Semua elemen terjerembab dalam lorong gelap yang berpotensi konflik lintas sekat.

Salah satu tanda paling menonjol dalam politik Pilkada di Indonesia, paska rejim otoritarian, ialah lahirnya partai-partai lapar, dan jamaknya jumlah aktor-aktor partai yang serakah. Jika pada rejim otoritarian partisipasi massa diatur-atur, pada rejim reformasi partisipasi ditandai demonstrasi massif dan caci maki tak ada tabir adab. Jika pada rejim otoritarian kritik sosial diatur penguasa, pada rejim reformasi kritik bebas meski substansi kritik tak mengena. Asal berbeda dengan yang dikiritik untuk membedakan ciri perkauman.

Komplotan kaum berulah melampaui Negara. Terkesan Negara tunduk pada kelakuannya. Menyebut sejumlah tokoh pembuat berisik, misalnya, tak hanya serta merta memantulkan keberisikan politik, tetapi tingkah laku politik pun nyaris berseberangan dengan kekuatan-kekuatan sah Negara. Gejala ini muncul di sejumlah tempat, bahkan ada tanda pengkerdilan demokrasi substantif.

Paska pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) tensi keberisikan mengalir ke mana-mana. Ketegangan politik ditandai persekongkolan elit. Di level lokal sentimen etnik menajam. Pilkada tidak lagi sebagai ajang adu kekuatan program pembangunan, tetapi adu olok-olokan pengekang demokratisasi. Pada gejalanya, politik Pilkada tak lebih dari ajang adu sesat. Prestasi dan reputasi actor politik tidak mengesankan pro kesejahteraan rakyat, tetapi mereka tidak ragu menyebut diri aktor pro demokrasi.

Pilkada 2024 adalah ajang tarung partai lapar yang jelas-jelas diperalat oleh aktor partai serakah. Partai politik, bukan sebagai meditory body of democracy, melainkan sejenis Comanditer Venonschapen (CV) atau Perseroan Terbatas (PT) di tangan para gelojo itu. Kisah dagang cap atau bisnis stempel partai sangat lumrah. Bayar partai dan partai gemar dibayar pun tampil ke publik tanpa merasa bersalah dan tak secuil pun rasa malu ke panggung publik. Kelakuan mereka menjadi gossip wajar dari mulut ke mulut sampai juga di pondok penggembala sapi dan peternak unggas di kampung-kampung.
Bayar membayar demi mendapat kuasa dianggap lumrah, wajar dan bahkan terkesan seperti bagian dari ajaran moral. Rakyat di kampung tahu itu. Gejala itulah yang disebut ajang adu kebodohan, adu keserakahan. Sehingga mahar partai mencapai miliaran rupiah dianggap wajar.
Para aktor serakah ini memanfaatkan para supporter (useful idiot), karena para useful idiot menjadi topangan utama legitimasi politiknya. Para actor cenderung mendelegitimasi politik etik. Maka sempurnalah sudah politik di negara ini tidak lebih dari ajang baku tipu, baku fitnah dan bahkan mungkin baku pukul. Lalu, kesan barbarisme politik dibungkus topeng prodemokrasi. Akibatnya sejarah kontinuitas nilai-nilai demokrasi mengalami patahan sejarah yang berkeping-keping dan berwjah ganda.
Wajah pertama dipakai komunitas prodemokrasi sebagai penanda praktik nilai-nilai keluhuran demokrasi, tetapi di sebelahnya prosedur demokrasi dipakai para bandit untuk mempecundangi nilai-nilai demokrasi dengah ujaran kebencian, jual beli suara. Kekuasaan lalu diperoleh hasil jual beli. Biasanya kekuasaan yang diperoleh hasil pasar gelap melahirkan penguasa korup, miskin imajinasi, dan jauh dari urusan pembebasan rakyat.
Di level partai, para aktor politik tidak lebih dari debt colector suara. Serentak dengan itu, pemimpin partai politik ingin mencapai atau memaksimalkan kekuasaan partai dan kekuasaan dirinya pribadi di dalam partai. Maka imajinasi bipolar politik menuntun mereka bekerja dalam skema perolehan suara untuk memenuhi tuntutan berkuasa belaka.

Partai-partai cenderung nyaman pada koalisi tanpa bentuk atau tanpa basis ideologis. Intinya, yang penting syarat formal pencalonan terpenuhi, segala perkara lain diurus nanti. Di panggung media massa dan sosial ialah drama gonta ganti isu politik. Motif utama dari penyebaran isu politik etnik, agama dan ideologi dipompa sedemikian rupa, hanya untuk mendapatkan kesan. Sehingga pada gejalanya, aktor dari partai politik mendapatkan insentif politik dengan tidak mengganggu kemesraan koalisi tanpa basis ideologi. Akibatnya, imajinasi menempatkan profesional di level bupati, walikota atau gubernur patut ditunda. ***
(Pius Rengka SH MSc, alumnus UGM kini mahasiswa doktoral program studi pembangunan UKSW, Salatiga)