Saat Ibu Pertiwi Tak Lagi Memeluk Tapi Menghukum: Refleksi Hari Ibu di Tengah Kepungan Bencana
Oleh : Domitius Pau, S.Sos., M.A
Dosen Program Studi Ilmu Sosiatri Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula, Pemerhati Masalah Sosial, Peneliti Masyarakat Adat
Pengantar
WARTA-NUSANTARA.COM– Hari ini, jutaan orang merayakan ‘Hari Ibu’ dengan bunga, pelukan, dan ucapan manis. Namun, di sudut lain negeri ini, perayaan itu terasa getir. Di tengah riuhnya ucapan selamat, trauma atas peristiwa air bah dan tanah longsor serta jerit tangis kehilangan nyawa masih terngiang di setiap telinga yang merasakan langsung peristiwa itu. Namun, banjir yang mengepung hampir seluruh wilayah Indonesia beberapa waktu lalu bukanlah sebuah kebetulan kalender. Ini adalah sebuah “pesan berdarah” dari sosok ibu yang selama ini kita abaikan: Ibu Pertiwi.




Bagi masyarakat adat di berbagai pelosok Nusantara, konsep ibu bukanlah sekadar hubungan biologis antara orang tua dan anak. Ibu juga simbol yang setara dengan bumi. Tanah adalah rahim tempat kehidupan bermula, hutan adalah air susu yang menghidupi, dan alam adalah dekapan yang memberi perlindungan. Namun, apa yang terjadi ketika sang ibu disakiti secara brutal dan terus-menerus? Ketidakmampuan kita membedakan antara “pemanfaatan” dan “penindasan” terhadap alam telah membawa kita pada krisis eksistensi yang nyata. Merayakan Hari Ibu tanpa menyadari penderitaan Bumi Pertiwi adalah sebuah ironi, kita memuliakan rahim biologis namun secara bersamaan menghancurkan rahim ekologis yang menyediakan segala sumber kehidupan bagi ibu kandung kita sendiri.



Luka di Rahim Ibu
Bila kita membayangkan seorang ibu yang tubuhnya dicabik-cabik, itulah gambaran bumi kita hari ini. Atas nama kemajuan, gunung-gunung dikeruk untuk tambang, hutan-hutan digunduli hingga botak untuk perkebunan monokultur, sungai-sungai dan laut dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah. Kita mengeksploitasi bumi tanpa henti, mengambil segalanya tanpa pernah berpikir untuk memberi kembali.


Ketika kita merusak bumi, kita sebenarnya sedang menyakiti ibu kita sendiri. Awalnya, bumi mungkin hanya “menangis”. Tangisannya berupa cuaca ekstrim dan tak menentu atau gagal panen, namun tangisan itu seringkali kita abaikan. Para perusak lingkungan, pengusaha serakah, dan pembuat kebijakan yang menutup mata tetap melangkah dengan angkuh. Karena tangisannya tak dihiraukan, maka bumi pun mulai marah dan bergejolak.


Banjir bandang, longsor, dan badai adalah manifestasi dari kemarahan itu. Pertanyaan yang sering muncul di tengah bencana adalah: “Mengapa mereka yang menjadi korban? Mengapa rakyat kecil yang tidak merusak hutan justru yang kehilangan harta benda dan nyawa, sementara para perusak duduk manis di rumah-rumah mewah?” Ini adalah gugatan keadilan yang sangat logis. Namun, jika kita menyelam lebih dalam ke dalam relung nurani dan spiritualitas, ada jawaban yang sangat menghentak: Bumi marah karena kita anak-anaknya telah membiarkan “orang luar” merusaknya tanpa perlawanan yang berarti. Luka yang menganga pada hutan dan sungai adalah cermin dari luka di hati seorang ibu yang dikhianati. Kita tidak bisa terus-menerus menuntut “keadilan” dari alam ketika kita sendiri telah melakukan “ketidakadilan” yang sistematis terhadapnya. Luka rahim bumi ini pada akhirnya akan menjadi luka kolektif bagi kemanusiaan yang tak mungkin bisa diobati hanya dengan bantuan sosial sesaat.


Dosa Pembiaran: Mengapa Ibu Menghukum Anaknya?
Secara spiritual, hubungan kita dengan alam adalah hubungan saling menjaga dan melindungi. Sebagai anak, kita memiliki mandat untuk melindungi ibu kita. Namun faktanya, kita seringkali menjadi penonton yang pasif. Kita melihat hutan di samping desa kita ditebang. Kita juga tahu sungai kita dicemari, tapi kita diam. Mungkin kita takut dibentak, takut dipenjara, atau bahkan takut kehilangan nyawa oleh mereka yang memiliki kuasa dan senjata.
Namun, di mata alam, diamnya kita adalah bentuk pengkhianatan terbesar. Bumi marah karena kita tidak serius menjaganya agar tidak diperlakukan secara buruk oleh orang lain. Ibarat seorang ibu yang merasa ditinggalkan oleh anak-anak kandungnya saat ia dianiaya oleh orang asing, ia akhirnya meledak dalam amarah. Tragisnya, amarah itu meluap menjadi bencana yang tidak lagi memilih sasaran, sehingga dalam kemarahannya, sang ibu seolah “membiarkan” dirinya menjadi pembunuh bagi anak-anaknya sendiri. Ini bukanlah pemikiran syirik atau klenik tetapi ini adalah hukum kausalitas (sebab-akibat) yang dibungkus dalam bahasa spiritualitas nurani. Jika benteng alam itu runtuh karena kita membiarkannya diruntuhkan, maka jangan salahkan jika air dan tanah itu berbalik menelan kita.
Dosa pembiaran adalah kejahatan moral yang halus namun mematikan. Ketika kita memilih untuk diam melihat eksploitasi di depan mata, sebenarnya kita sedang memberikan izin kepada kehancuran untuk datang menjemput kita. Ketakutan kita untuk membela ibu bumi telah berubah menjadi malapetaka yang jauh lebih menakutkan daripada ancaman penjara maupun bentakan penguasa.
Suara Pembelaan dari Pinggiran: Papua, Daya, Sumatera, dan Kebangkitan Kesadaran
Di tengah duka banjir di Sumatra dan Jawa, sebuah fajar kesadaran mulai menyingsing dari ufuk lain. Di tanah Papua, masyarakat adat bersuara lantang melindungi hutan mereka. Di Kalimantan, saudara-saudara Dayak berdiri kokoh menjaga tanah ulayat dari perampokan berkedok pembangunan. Di tanah Sumatera mobil yang bermuatan kayu gelondongan digulingkan dan dibakar. Mereka semua menyuarakan hal yang sama: “Jaga bumi, karena bumi adalah ibu kita.”
Mereka memahami satu hal yang dilupakan oleh masyarakat modern: pembangunan nasional tidak bisa dipaksakan hanya dengan kacamata ideologi liberal yang memuja pertumbuhan ekonomi semata. Pendekatan pembangunan yang hanya mengejar angka Produk Domestik Bruto (PDB) terbukti telah gagal total dalam menjaga martabat kemanusiaan dan keberlanjutan alam. Bahkan, sejak zaman dahulu, model pembangunan yang eksploitatif hanya menyisakan kesengsaraan bagi generasi berikutnya. Para pelaku pembangunan seringkali muncul dari hasil kolaborasi antara penguasa dan pengusaha, yang seakan berpacu dengan waktu untuk mengejar kemajuan dengan dalih “kesejahteraan bersama”. Namun, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Ruang hidup orang sederhana di desa-desa semakin sempit, akses mereka terhadap air bersih hilang, dan tanah tempat mereka menggantungkan hidup telah berpindah tangan menjadi milik korporasi.
Hal yang paling miris dari drama dan bencana ini adalah aksi “cuci tangan” massal. Banyak pejabat yang juga merangkap sebagai pengusaha di sektor-sektor yang merusak lingkungan, ketika banjir bandang datang dan mayat-mayat mulai berserakan, mereka dengan cepat melakukan gerakan ala Pilatus. Mereka dengan enteng pula menyalahkan curah hujan yang ekstrem, menyalahkan takdir, atau memberikan bantuan sembako sekadarnya sebagai pencitraan. Tindakan ini merupakan upaya untuk menjaga reputasi dan integritas perusahaan agar tetap tegak, tanpa mempedulikan nyawa manusia yang membusuk akibat dampak kebijakan mereka. Mereka lupa bahwa investasi sebesar apa pun tidak akan pernah bisa membeli kembali nyawa yang hilang atau memulihkan kembali ekosistem yang telah hancur. Di titik ini, tanggung jawab moral seolah menguap karena “mayat-mayat tak berdosa” hanya dianggap sebagai statistik dalam berita, sementara keuntungan perusahaan tetap dianggap sebagai keberhasilan pembangunan. Suara dari pinggiran bukanlah sekadar protes lokal, melainkan peringatan universal bahwa pembangunan tanpa etika adalah jalan pintas menuju bunuh diri massal. Kita harus berhenti mendewakan angka pertumbuhan jika harga yang harus dibayar adalah darah dan air mata rakyat kecil serta kehancuran rumah besar yang kita sebut Ibu Pertiwi.
Menghormati Ibu, Mengingat Bumi
Pada momen Hari Ibu ini, sudah saatnya kita memperluas makna kasih sayang kepada ibu. Selamat Hari Ibu bagi para ibu yang telah melahirkan kita, namun jangan lupa sampaikan juga: “Selamat Hari Ibu Pertiwi.” Kita harus mulai menyadari betapa besar jasa Bumi Pertiwi dalam membesarkan bangsa ini, sebab tanpa kesuburan tanahnya, tanpa kekayaan lautnya, dan tanpa perlindungan hutannya, bangsa Indonesia tidak akan mencapai titik kemajuan seperti hari ini. Kita telah “menyusu” pada kekayaan alam ini selama berabad-abad, namun mengapa kita justru membiarkannya diperkosa oleh keserakahan?
Mengingat ibu berarti mengingat bumi, sebab keduanya adalah sumber kehidupan. Jika kita mencintai ibu kandung kita, maka secara otomatis kita harus mencintai bumi yang menjadi tempat ibu kita berdiri dan hidup pertama kali. Menjaga bumi bukan sekadar urusan aktivis lingkungan atau kementerian terkait, melainkan tugas suci setiap anak manusia yang masih bernapas. Penghormatan tertinggi kepada seorang ibu bukanlah melalui seremoni satu hari dalam setahun, melainkan melalui komitmen seumur hidup untuk menjaga rahim kehidupan tetap utuh. Mencintai Ibu Pertiwi adalah wujud paling nyata dari pengabdian seorang anak kepada sumber asal-usulnya, sebelum kelak ia kembali ke pangkuannya.
Kembali ke Pelukan Ibu
Mari kita jadikan Hari Ibu kali ini sebagai titik balik. Sebuah komitmen untuk tidak lagi membiarkan orang luar merusak ruang hidup kita dengan berani bersuara terhadap pembangunan yang tidak berpihak pada keadilan ekologis. Kita harus menolak menjadi anak-anak yang penakut dan abai. Terima kasih kepada ibu kandung kita, dan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Pertiwi. Oleh rahim mereka kita dilahirkan, oleh asuhan mereka kita dibesarkan, dan kelak masuk ke dalam rahimnya ketika perjalanan kita di dunia ini usai, Ibu Pertiwilah yang akan kembali memeluk kita dalam istirahat yang panjang. Jangan biarkan pelukan terakhir itu adalah pelukan penuh amarah di tengah banjir dan lumpur, melainkan pelukan hangat seorang ibu yang bangga karena anak-anaknya telah menjaganya dengan setia.
Pada akhirnya, kita semua adalah anak-anak tanah yang akan kembali menjadi tanah. Biarlah kepulangan kita nanti disambut oleh bumi yang damai, bukan oleh tanah yang longsor karena amarah. Menjaga Ibu Pertiwi hari ini adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa generasi setelah kita masih memiliki pelukan hangat untuk tumbuh, bukan kehampaan untuk meratap. ***
Domitius Pau, S.Sos., M.A adalah Dosen Program Studi Ilmu Sosiatri Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula, Pemerhati Masalah Sosial, Peneliti Masyarakat Adat






